Meriam Ibrahim Ishag, wanita yang dijatuhi hukuman mati di Sudan karena menolak melepaskan agama Katolik, tiba di Italia tanggal 24 Juli 2014 dan bertemu dengan Paus Fransiskus di Casa Santa Marta. Dalam pertemuan itu, Meriam suaminya Daniel Wani serta anaknya Martin yang berusia satu setengah tahun, dan Maya yang baru lahir di penjara dua bulan lalu.
Tanggal 11 Mei 2014, perempuan berusia 27 tahun itu didakwa dengan meninggalkan agama Islam menurut undang-undang Sudan. Karena ayahnya beragama Islam, Meriam secara resmi dianggap Muslim, meskipun ibunya membesarkan dia sebagai seorang Kristen Ortodoks setelah ayahnya meninggalkan keluarga itu saat dia berusia 6 tahun.
Menurut kepala Kantor Pers Vatikan, Pastor Federico Lombardi SJ, pertemuan antara Paus Fransiskus dan Meriam serta keluarganya terjadi dalam suasana “sangat tenang dan penuh kasih sayang” dan Paus Fransiskus berterima kasih kepada Meriam untuk “kesaksian yang berani dalam mempertahankan iman.” Meriam juga berterima kasih kepada untuk doa-doa Paus yang katanya memberikan dukungan dan dorongan yang besar, lanjut imam itu.
Pastor Lombardi mengatakan, Paus bertemu dengan keluarga Meriam untuk menunjukkan “kedekatan, perhatian dan doanya” bagi semua orang yang menderita karena iman mereka, terutama bagi orang Katolik yang menderita penganiayaan atau pembatasan kebebasan beragama.
Meskipun tekanan dan ancaman kematian di penjara, Meriam menolak melepaskan agama Katolik yang dianutnya sejak pernikahannya dengan Daniel dalam perayaan di gereja tahun 2011. Selain didakwa murtad, atau meninggalkan agama Islam, Meriam didakwa melakukan perzinahan, karena pernikahannya dengan Daniel tidak dianggap sah karena Meriam dianggap beragama Islam. Karena perzinahan dia akan menerima hukuman cambuk 100 kali dan karena murtad dia akan dihukum gantung.
Keuskupan Agung Khartoum telah mendesak pemerintah Sudan untuk meninjau kembali kasus hukum mati Meriam Ibrahim. “Faktanya adalah bahwa Meriam tidak meninggalkan agama Islam, sebaliknya sejak kecil dia sebetulnya tidak menganut agama Islam,” kata Vikaris Episkopal Khartoum, Pastor Mussa Timothy Kacho, tanggal 11 Juni.
Keuskupan agung itu, kata imam itu, sangat menyesal melihat penanganan kasus yang “mengabaikan keyakinan moral dan agama Meriam,” padahal konstitusi sementara Sudan menjamin kebebasan beragama.
Karena tekanan internasional, hukuman matinya dibatalkan oleh pengadilan Sudan 23 Juni 2014. Namun hari berikutnya, Meriam ditangkap kembali bersama suaminya di Bandara Khartoum atas tuduhan dokumen palsu. Seluruh keluarga itu lalu ditahan selama dua hari.
Kantor berita Italia Corriere della Sera melaporkan, keluarga itu tinggal di Kedutaan Italia, di ibu kota Sudan, Khartoum, sejak tanggal 26 Juni sampai mereka berangkat ke Roma bersama Wakil Menteri Luar Negeri Italia, Lapo Pistelli, yang telah mengikuti kasus perempuan itu. Perdana Menteri Italia Matteo Renzi menjemput keluarga itu di bandara. Setelah tinggal di Roma beberapa hari, menurut rencana keluarga itu akan berangkat ke New York.
Lapo Pistelli telah membantu negosiasi dan keberangkatan perempuan itu ke Italia untuk bertemu Paus. Dalam wawancara dengan Radio Vatikan setelah pertemuan dengan Paus, Pistelli berbicara tentang keberhasilan misi pemerintahannya, tentang sukacita dan kepuasan untuk semua yang membantu keberangkatan Meriam serta keluarganya dari Sudan dan pertemuan mereka dengan Paus Fransiskus.
Ketika berbicara dengan Menteri Luar Negeri Sudan, dia diberitahu bahwa pemerintah Khartoum sedang mempertimbangkan “pemikiran kembali” tentang hukum mereka dan bahwa undang-undang kemurtadan saat ini bisa “diubah atau dihapus.”(pcp, dari berbagai sumber)
Shalom,
Terima kasih untuk informasinya. Benar-benar menguatkan.
Saya berharap, semoga saya dan kita semua boleh meneladani iman dari saudari kita Meriam Ibrahim Ishag bersama keluarganya. Amin
Semoga Tuhan Yesus dan Bunda Maria senantiasa melindungi dan memberkati mereka, tetap teguh. Amin
Semoga kita juga melakukan hal yang sama. Jika ada umat beragama lain yang benar-benar memegang teguh imannya, kita juga harus menempatkan diri bagaimana kalau kita adalah saudara seiman dari mereka, sebagaimana Paus dan semua orang katolik terhadap Meriam. Bukan tidak mungkin di komunitas atau lingkungan tinggal kita yang mayoritas Katolik, ada umat laiin juga yang merasakan hal serupa dengan yang dialami Meriam. Apa boleh buat, di masyarakat yang sudah kadung tercemar dengan tendensi dikotomi ini, terkadang membela teman se-iman spontan langsung dirasakan sebagai penolakan terhadap saudara dari agama lain. Dominus nobiscum sit.
sy pikir bukan peristiwa yg fenomenal, urusan digantung dan mati habis itu selesai…lebih fenomenal lg adanya undang-undang di Indonesia, memaksa dg halus berpindah agama spt di Indonesia sehingga orng yang masih hidup seperti tak ber-ROH…mau berdoa dg cara lama takut sama pasangan, mau doa dg cara yg baru bertolak belakang dg hati nurani. Dan itu terjadi pd ribuan orang….