Home OPINI Kurangnya istirahat bersama keluarga dan bertemu Tuhan meretakkan keluarga

Kurangnya istirahat bersama keluarga dan bertemu Tuhan meretakkan keluarga

0

Mary-Film-The-Holy-Family

Setelah bekerja setahun, banyak orang Katolik cuti menjelang Natal hingga Tahun Baru. Itulah kesempatan mereka untuk beristirahat, berlibur dan berpesta dalam hari-hari keluarga, agar keluarga-keluarga dipulihkan.

Namun, demi persaingan pasar dan untung sebesar-besarnya, banyak perusahaan tidak memberikan waktu istirahat atau meminimalisir waktu libur, sehingga banyak karyawan tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari kepenatan dan kelelahan bekerja, menikmati istirahat bersama keluarga, dan bertemu dengan Tuhan.

Kedua faktor itu, kata Paus Benediktus XVI dalam Pertemuan Keluarga se-Dunia ketujuh di Milan, Italia, 30 Mei-3 Juni 2012, “memperbesar keretakan keluarga dan komunitas dan menyebarkan gaya hidup individualistis.” Pertemuan keluarga yang dicanangkan Beato Yohanes Paulus II itu dilaksanakan setiap tiga tahun, yang pertama di Roma, 1994.

Tema pertemuan di Milan Family: Work and Celebration (Keluarga: Pekerjaan dan Perayaan) masih pantas dibicarakan tahun ini, apalagi saat kita diajak beristirahat bersama keluarga dan bertemu dengan Tuhan pada Perayaan Natal 2013. Paus Benediktus XVI sengaja memilih tema itu karena prihatin melihat ketidakseimbangan waktu bekerja dan beristirahat dalam beberapa dekade terakhir. Ini mungkin tantangan yang membuat bangunan hidup keluarga tidak kuat di zaman yang kian edan ini.

Dalam surat kepada Kardinal Ennio Antonelli, Presiden Dewan Kepausan untuk Keluarga saat itu, Paus Emeritus itu mengatakan bahwa pertemuan keluarga adalah “kesempatan istimewa untuk merenungkan kembali makna pekerjaan dan perayaan dalam perspektif kesatuan keluarga,” dan Kitab Suci (bdk. Kej. 1-2) mengajarkan bahwa “keluarga, pekerjaan dan perayaan adalah anugerah dan berkat Allah untuk membantu kita menghayati eksistensi manusiawi sepenuhnya.”

Manusia tidak bisa dipisahkan dari unsur “karya atau pekerjaan,” karena bekerja itu adalah panggilan Tuhan, yang memerintahkan manusia untuk “beranakcuculah dan bertambah banyak …” dan yang menempatkan manusia “dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”

Manusia dipilih Allah untuk bekerja karena mempunyai kemampuan berpikir. Sayangnya makna dan tujuan kerja sebagai panggilan Allah dan ekspresi jatidiri berubah akibat “nuansa pasar: jual-beli, untung-rugi, ada uang ada barang” yang mengakibatkan gaya hidup konsumerisme serta berbagai krisis.

Atas nama ‘kesejahteraan keluarga’ orang kini rela menghabiskan waktu untuk pekerjaan dan mengabaikan faktor kehidupan lain, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Padahal, pekerjaan tidak bisa dipisahkan dari istirahat, atau “pesta” atau berhenti sejenak dari pekerjaan, bersantai dan bergembira. Setelah menyelesaikan pekerjaan-Nya, pada hari ketujuh Allah memberkati dan menguduskan hari itu dan Ia beristirahat (Kej. 2:3; Kel. 31:17). Selesai melayani banyak orang, Yesus pun mengajak para murid, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” (Mrk. 6:31).

Istirahat bukan buang-buang waktu, tetapi membuat manusia memiliki keseimbangan, sehingga lebih mudah meningkatkan kualitas kerjanya. Pesta adalah waktu kegembiraan dan sukacita yang membuat manusia mendapatkan semangat dan kekuatan baru, bahkan menjadi pengalaman komunitas, karena pesta hanya bisa dilakukan bersama orang lain, keluarga, kelompok, sahabat, komunitas religius atau lingkungan masyarakat. Pesta bukan sekedar makan dan minum dan tertawa bebas, tetapi saat berbagi kebaikan diri agar orang lain gembira dan sukacita.

Pesta dilakukan dalam keluarga atau rumah. Rumah adalah tempat ideal untuk pesta-perayaan-istirahat, dan untuk bergembira dalam kebersamaan. Itu terlukis dalam cerita Injil tentang perkawinan anak raja, serta pesta untuk anak hilang, dirham yang hilang, dan domba yang hilang.

Beberapa keluarga kehilangan suasana pesta dalam rumah tangga. Waktu dan kebersamaan “terampas” oleh target pekerjaan. Bisakah Natal 2013 menjadi saat mereka kembali pada makna pekerjaan dan pesta-perayaan seturut kehendak Allah?

Pekerjaan dan pesta-perayaan-istirahat saling mengisi dan melengkapi. Dewasa ini berapa banyak keluarga mengalami krisis ekonomi, relasi, budaya, dan iman akibat kepincangan waktu kerja dan pesta. Mereka kehilangan makna panggilan Allah untuk bekerja dan undangan untuk berpesta.***

Tulisan yang muncul di Majalah Arue edisi Desember 2013-Januari 2014 ini ditulis oleh wartawan Arue sekaligus PEN@ Indonesia berdasarkan Buletin Keluarga Komisi Keluarga KWI, Edisi Khusus 2013. PEN@ Indonesia mengangkat tuilisan ini untuk memperingati Pesta Keluarga Kudus 29 Desember 2013.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version