JEMBER, Pena Katolik – Rumpun S. ingat saat pertama kali memasang alat pengukur curah hujan, ia menganggapnya sepele. Apakah benar, alat semacam ini akan menolongnya meningkatkan hasil panen cabai di lahan miliknya?
Sebagai petani di desa, Rumpun sudah sangat yakin dengan caranya bertaninya selama ini. Asal ada cukup air, maka tanaman di lahannya akan tumbuh dengan baik. Ia juga sudah hafal, kapan dia akan memberi pupuk untuk tanaman cabai miliknya.
Itu semua cerita di masa lalu. Rumpun nyatanya tidak sadar, ada banyak perubahan terjadi di alam sekitarnya. Curah hujan kadang tinggi dan kadang rendah. Padalah, setiap tanaman memerlukan asupan air yang berbeda-beda. Cabai ketika terkena hujan dengan intensitas tinggi, maka buahnya sangat rawan menjadi busuk. Lalu apa yang harus dilakukan Rumpun?
Warung Ilmiah Lapangan
Jawaban atas pertanyaan Rumpun, ia dapatkan ketika Tim Program Caritas Keuskupan Malang hadir di Ds. Oro-oro Ombo, Kec. Pronojiwo, Kab. Lumajang, tempat ia tinggal. Tim Caritas Keuskupan Malang menawarkan Program Warung Ilmiah Lapangan (WIL). Program ini merupakan kerja sama antara Caritas Keuskupan Malang dan Caritas Indonesia, yang didukung peneliti dari Universitas Indonesia.
Program WIL yang ditawarkan kepada Rumpun menawarkan kepada petani dukungan untuk membangun sistem pertanian komunitas yang mandiri dan berkelanjutan. Program WIL ini menyasar peningkatan kapasitas petani dalam menghadapi perubahan iklim. Sasaran ini dicapai melalui beberapa kegiatan, yang berfokus pada peningkatan akses terhadap pengetahuan dan teknologi pertanian yang berkelanjutan.
Staf Caritas Keuskupan Malang, Fransiskus Xaverius Tri Wahyu Krisdianto mengatakan, inti dari WIL adalah mengajarkan petani tentang “Agrometeorologi yang berbasis partisipasi. Ia menyampaikan, selama program WIL, petani belajar cara mengukur curah hujan dan memprediksi informasi cuaca dan iklim untuk membuat keputusan terkait varietas dan pola tanam yang lebih baik.
“Pendekatan partisipatif dilakukan untuk memberi ruang bahwa pengetahuan yang diberikan relevan dengan kondisi dan kebutuhan komunitas lokal,” ujar Frans.
Tahun ini, Program WIL di Pronojiwo telah berjalan selama setahun. Frans menceritakan, awalnya petani mengalami kesulitan dalam mempelajari teknik “membaca cuaca” ini. Ia juga mengakui, lambat laun, berkat kesabaran dan ketekunan mereka dapat belajar banyak dari proses ini.
“Mereka awalnya kesulitan, namun belakangan mereka belajar tentang teknik pertanian yang tahan iklim,” ujarnya.
Frans mengatakan, selama pembelajaran setahun ini, ia mengakui belum banyak capaian yang diraih selama program. Hal ini dikarenakan penerapan Agrometeorologi dalam pertanian diakuinya memerlukan waktu yang tidak cukup hanya setahun. Namun, Frans melihat ada banyak pembelajaran yang sudah didapatkan para petani yang menjadi peserta program.
Selama setahun ini, petani diajarkan tentang teknologi pertanian yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim, termasuk juga tentang teknik irigasi yang efektif dan hemat air. Satu pembelajaran penting dalam Program WIL ini adalah petani dapat memilih varietas pertanian yang tahan cuaca ekstrem. Terakhir, petani juga semakin mendalami praktik pertanian organik.
Rumpun mengakui, selama setahun ini, ia mulai belajar untuk mengumpulkan data-data cuaca dan mengenali jenis hama pada kondisi cuaca tertentu. Dengan data ini, ia dapat memiliki pengetahuan untuk memilih varietas tanam yang sesuai dengan situasi cuaca dan curah hujan.
“Dengan pemahaman akan curah hujan dan mengenali jenis-jenis hama ini, saya bisa menentukan pilihan tanaman yang tahan terhadap hama pada kondisi itu,” ujarnya.
Dari Kimia ke Organik
Sejak awal program, Caritas Keuskupan Malang menjalankan Program WIL di dua Lokasi, selain di Pronojiwo, program ini juga dijalankan di Sukoreno, Umbulsari, Jember. Di Pronojiwo ada 30 petani yang tergabung dalam kelompok Petani Tanggap Perubahan Iklim (PPTPI) Gelendang Semeru yang menjadi peserta program. Di daerah ini, komoditas yang umumnya ditanam petani adalah padi dan cabai. Selain cuaca yang perlu “dibaca ulang” karena pengaruh perubahan iklim, tantangan di lokasi ini adalah erupsi Gunung Semeru yang mengancam. Lokasi ini menjadi salah satu yang terdampak saat gunung ini erupsi pada Desember tahun 2022.
Sementara itu di Sukoreno, 20 orang yang tergabung dalam PPTPI Sukoreno terlibat dalam program. Di sini, petani umumnya menanam jeruk, alpukat, kelengkeng, cabe rawit, padi, dan jagung. Tantangan di wilayah ini adalah banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrim.
Salah satu anggota Kelompok Tani Maju, Widiatmoko mengatakan, “petani dilatih untuk memahami data iklim dan curah hujan, sehingga mereka dapat menyesuaikan waktu tanam dan pengelolaan lahan untuk menghadapi cuaca ekstrem.”
Pembelajaran lain adalah praktik pertanian organik yang kemudian menjadi “habitus” baru dalam cara bertani di Sukoreno. “Petani juga mulai terdorong untuk tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Sebaliknya, berani menggunakan metode ramah lingkungan dan pengendalian hama terpadu, pestisida nabati. Bersama Caritas, kami berani bereksperimen,” lanjutnya.
Widiatmoko mengatakan, ia dan petani lain belajar, bahwa dengan pemanfaatan pupuk alami, hal ini dapat mengurangi biaya produksi secara nyata. Ini diakuinya menjadi pembelajaran penting, mengingat selama ini petani sering mengeluh biaya produksi mahal, ketika menggunakan pupuk kimia.
“Bagi kami, pertanian organik menjadi sarana murah untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.
Menuju Kemandirian Pertanian
Meski baru berjalan setahun, namun telah terbangun kesadaran “ketahanan iklim” dalam komunitas petani yang didampingi Caritas di Sukoreno dan Oro-Oro Ombo. Prof. Dr. Yunita Triwardani Winarto mengatakan, petani semakin memperkuat kemandirian mereka. Ia mengatakan, dengan Program WIL ini, petani semakin menjadi “petani merdeka” yang memutuskan secara mandiri, bagaimana mereka akan menanam.
“Mereka memiliki rasa memiliki program ini, mereka berani memutuskan bagaimana mereka akan memulai masa tanam ini.
Prof. Yunita, Guru Besar Antropologi dari Universitas Indonesia ini mendampingi para petani dari sejak awal program. Ia bersama timnya dari Universitas Indonesia, menjadi fasilitator yang melatih petani untuk menjadi petani yang paham dan tahan iklim.
Selama setahun, komunitas petani di kedua lokasi program semakin diperkuat melalui aneka pelatihan yang akhirnya membuat kesadaran berorganisasi semakin meningkat.
“Petani tidak lagi bekerja individual, namun semakin mau berbagi,” ujarnya.
Dengan demikian, Program WIL ini tidak saja memberikan “pengetahuan ketahanan iklim” namun juga membangun komunitas. Prof. Yunita mengatakan, “kebersamaan ini sangat bernilai, ketika para petani dapat saling belajar tentang pengetahuan-pengetahuan baru, dan belajar teknik pertanian yang tahan iklim”.
Direktur Caritas Keuskupan Malang, Romo Paulus Fajar Arywiyatno, Pr mengatakan, Program WIL ini adalah bentuk nyata membangun “ketahanan iklim” yang selama ini diserukan dalam ensiklik Laudato Si’.
Diakui Romo Fajar, program “ketahanan iklim” untuk petani ini berusaha mencetak petani yang bisa menjadi “agen perubahan” di komunitas yang berorientasi pada hasil nyata, praktis, dan partisipatif melalui eksperimen pertanian. Menurutnya, ketahanan iklim semacam inilah yang dimimpikan Laudato Si’.
“Saya berharap, program ini dapat semakin mampu menghadirkan Gereja di Tengah masyarakat, dan memberi solusi nyata bagi perubahan iklim,” ujarnya.
