JAKARTA, Pena Katolik – Dalam ensiklik Spe Salvi (Diselamatkan dalam Pengharapan), Paus Benediktus XVI mengajak umat beriman untuk merenungkan makna penghakiman Allah bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sumber harapan. Dalam delapan paragraf yang membahas tema penghakiman, beliau menekankan bahwa penghakiman ilahi adalah bentuk kasih yang menyelamatkan, karena mengandung keadilan dan rahmat sekaligus.
Salah satu ilustrasi yang sangat menyentuh dalam bagian ini adalah tentang api penyucian. Paus Benediktus XVI, yang dikenal sebagai teolog Jerman yang mendalam, menulis bahwa penghakiman Allah adalah harapan karena di dalamnya terdapat proses pemurnian yang memungkinkan jiwa-jiwa yang belum sepenuhnya bersih dari dosa ringan untuk dipersiapkan masuk ke dalam kebahagiaan kekal. Dalam api penyucian, jiwa tidak dihukum, melainkan dimurnikan oleh kasih Allah yang membakar segala yang tidak layak untuk berada di hadirat-Nya.
Ia menulis “Penghakiman Allah adalah harapan, baik karena merupakan keadilan maupun karena merupakan rahmat.”
Dalam konteks Hari Raya Arwah, kutipan dari empat paragraf dalam bagian ini menjadi bahan refleksi yang sangat kuat. Paus Benediktus menggambarkan bagaimana penghakiman bukanlah akhir yang menakutkan, tetapi awal dari pemulihan dan pemurnian, di mana jiwa-jiwa yang telah meninggal dalam kasih karunia Allah namun belum sepenuhnya disucikan, mengalami kasih Allah yang menyembuhkan.
Refleksi ini mengajak kita untuk mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian, bukan dengan rasa takut, tetapi dengan penuh harapan. Kita percaya bahwa mereka sedang menjalani proses pemurnian yang penuh kasih, dan bahwa doa-doa kita dapat menjadi bagian dari karya penyelamatan itu. Dalam terang Spe Salvi, Hari Raya Arwah bukan hanya mengenang mereka yang telah pergi, tetapi juga memperbarui harapan kita akan kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah yang adil dan penuh rahmat.
Berikut ini empat paragraf dari Spe Salvi yang menjadi ajaran Paus Benediktus XVI tentang “Api Penyucian”:
45. Gambaran Awal Yahudi tentang Keadaan Peralihan dan Ajaran Gereja tentang Api Penyucian
“Gambaran awal dalam tradisi Yahudi mengenai keadaan peralihan setelah kematian mencakup pandangan bahwa jiwa-jiwa tidak hanya berada dalam penahanan sementara, tetapi sudah mengalami hukuman—seperti digambarkan dalam perumpamaan tentang orang kaya—atau sebaliknya, telah menerima bentuk-bentuk kebahagiaan sementara.
Akhirnya, berkembang pula pendapat bahwa keadaan ini mencakup proses permurnian dan penyembuhan, yang mempersiapkan jiwa-jiwa untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Gereja Perdana mengambil pemikiran-pemikiran ini, dan dari sanalah secara bertahap di Gereja Barat berkembang ajaran tentang api penyucian.
Di sini kita tidak perlu membahas secara rinci perjalanan historis yang kompleks dari perkembangan ajaran tersebut. Cukuplah kita bertanya: apa sebenarnya yang dimaksudkan?
Dengan kematian, pilihan hidup manusia menjadi definitif—hidupnya berhadapan langsung dengan Sang Hakim. Pilihan yang diambil sepanjang hidup akan membentuk suatu arah tertentu, dan arah ini bisa beragam.
Ada orang-orang yang dalam dirinya telah menghancurkan sama sekali keinginan akan kebenaran dan kesediaan untuk mengasihi. Dalam diri mereka, segalanya adalah kebohongan. Mereka hidup penuh kebencian dan menekan kasih di dalam dirinya sendiri. Pandangan ini memang mengerikan, namun dalam sejarah kita, ada pribadi-pribadi tertentu yang secara mengejutkan menunjukkan diri sebagai bagian dari golongan semacam itu.
Dalam diri orang-orang seperti ini, tidak terdapat lagi sesuatu yang bisa disembuhkan. Kehancuran dari apa yang baik menjadi tak terelakkan. Inilah yang dimaksud dengan kata neraka.
Sebaliknya, terdapat pula orang-orang yang sungguh murni, yang sepenuhnya diresapi oleh Allah dan karenanya terbuka terhadap sesamanya. Mereka adalah pribadi-pribadi yang persekutuannya dengan Allah telah mengarahkan seluruh keberadaan mereka. Perjalanan mereka menuju Allah bukan lagi proses penyembuhan, melainkan pemenuhan akan siapa mereka sebenarnya.
46. Api Penyucian dan Penghakiman Allah dalam Terang Pengalaman Manusia
Namun, menurut pengalaman kita sendiri, kedua kasus ekstrem yang telah disebutkan sebelumnya—jiwa yang sepenuhnya murni dan jiwa yang sepenuhnya menolak kasih—bukanlah keadaan normal hidup manusia. Bagi sebagian besar orang, sebagaimana kita pahami, di kedalaman batin mereka terdapat keterbukaan akhir terhadap kebenaran, terhadap kasih, terhadap Allah.
Namun dalam pilihan-pilihan hidup yang konkret, sering kali terdapat kompromi-kompromi baru dengan kejahatan. Banyak kekotoran menutupi kemurnian, tetapi rasa haus akan kemurnian tetap ada, terus muncul kembali dari segala kerendahan hati dan tetap hadir dalam jiwa.
Lalu, apa yang terjadi dengan orang-orang semacam ini ketika mereka berhadapan dengan Sang Hakim? Apakah semua kecemaran yang terkumpul sepanjang hidup akan dianggap bukan kesalahan? Ataukah ada sesuatu yang lain yang akan terjadi?
Santo Paulus, dalam Surat Pertamanya kepada umat di Korintus, menunjukkan kepada kita bahwa pengadilan Allah memiliki dampak yang berbeda sesuai dengan keadaan pribadi masing-masing. Ia menggunakan gambaran-gambaran yang, meskipun tidak sepenuhnya dapat kita pahami, mengungkapkan sesuatu yang tidak kelihatan—karena kita tidak dapat melihat dunia sesudah kematian atau memiliki pengalaman langsung tentangnya.
Paulus mengatakan bahwa kehidupan Kristiani dibangun di atas satu landasan yang sama: Yesus Kristus. Landasan ini tetap bertahan selamanya. Jika kita berdiri kokoh di atas landasan ini dan membangun hidup kita di atasnya, maka kita tahu bahwa bahkan dalam kematian, landasan ini tidak akan diambil dari kita.
Kemudian Paulus melanjutkan: “Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab Ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (1Kor 3:12–15)
Dari teks ini, jelas bahwa penyelamatan manusia dapat mengambil pelbagai bentuk. Apa yang telah dibangun dalam hidup bisa saja terbakar kembali. Namun agar diselamatkan, seseorang harus melewati “api”—proses pemurnian—sehingga akhirnya mampu menjadi milik Allah dan mengambil tempat di meja perjamuan perkawinan abadi.
47. Kristus sebagai Api yang Membakar dan Menyelamatkan
Beberapa ahli teologi kontemporer berpendapat bahwa api yang membakar sekaligus menyelamatkan adalah Kristus sendiri, Sang Hakim dan Penyelamat. Perjumpaan dengan Dia merupakan tindakan penghakiman yang menentukan. Di hadapan pandangan-Nya, lenyaplah segala kebohongan. Perjumpaan dengan-Nya membakar, mengubah, dan membebaskan kita, sehingga kita benar-benar menjadi diri kita yang sejati.
Segala sesuatu yang kita bangun sepanjang hidup—kesombongan, pencapaian yang sia-sia—hanyalah seperti jerami kering yang dapat runtuh. Namun, dalam kesedihan yang menyertai perjumpaan ini, ketika kecemaran dan penderitaan hidup kita menjadi jelas, terdapat keselamatan. Pandangan-Nya dan sentuhan hati-Nya menyembuhkan kita melalui suatu perubahan yang pasti menyakitkan, “bagaikan melewati api.”
Namun, rasa sakit ini menggembirakan, sebab di dalamnya kekuatan suci kasih-Nya membakar kita seperti nyala api, memampukan kita menjadi diri kita sepenuhnya dan dengan demikian menjadi milik Allah sepenuhnya.
Dengan demikian, hubungan erat antara keadilan dan rahmat tampak jelas. Cara kita menjalani hidup tidaklah acuh tak acuh, tetapi kecemaran-kecemaran hidup kita tidak menodai kita selamanya, selama kita terus mengarahkan diri kepada Kristus, kepada kebenaran dan kasih.
Sebab kekotoran kita telah terbakar habis dalam penderitaan Kristus. Pada saat pengadilan, kita mengalami dan menerima kekuatan luar biasa kasih-Nya atas semua kejahatan yang ada di dunia dan di dalam diri kita sendiri. Rasa sakit dari kasih menjadi keselamatan dan kegembiraan kita.
Waktu Ilahi dan Harapan yang Teguh
Jelaslah bahwa “lamanya” pembakaran yang mengubah ini tidak dapat diukur dengan waktu duniawi. “Saat” perubahan perjumpaan ini menghindari perhitungan waktu manusiawi; ia adalah saat hati, saat peralihan ke dalam persekutuan dengan Allah dalam Tubuh Kristus.
Pengadilan Allah adalah harapan, sebab ia adalah keadilan sekaligus rahmat. Seandainya harapan itu hanya rahmat, maka segala hal duniawi menjadi tidak penting, dan Allah seakan berhutang jawaban atas pertanyaan tentang keadilan—pertanyaan penting tentang sejarah dan tentang Allah sendiri.
Sebaliknya, seandainya pengadilan itu hanya keadilan, maka pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketakutan. Namun, inkarnasi Allah dalam Kristus menyatukan keduanya—pengadilan dan rahmat—sehingga keadilan ditegakkan dengan kuat, dan kita semua mengharapkan keselamatan “dengan takut dan gentar” (Flp 2:12).
Tetapi rahmat memberikan kepada kita harapan besar, sehingga kita dapat pergi dengan penuh percaya diri menghadap Sang Hakim, yang kita kenal sebagai Advokat, Parakletos kita (bdk. 1 Yoh 2:1).
48. Harapan Kristiani dan Doa bagi Jiwa-jiwa yang Telah Meninggal
Poin selanjutnya ini penting untuk disebutkan, karena sangat relevan dalam menghayati harapan Kristiani. Dalam tradisi Yahudi kuno, terdapat keyakinan bahwa orang-orang yang telah meninggal dalam keadaan peralihan dapat ditolong melalui doa (lihat 2Mak 12:38–45; abad I sebelum Kristus). Umat Kristiani kemudian mengadopsi praktik ini, baik di Gereja Timur maupun Gereja Barat.
Gereja Timur tidak mengenal penderitaan jiwa-jiwa sebagai bentuk pemurnian atau penyilihan “dalam hidup masa depan sesudah yang sekarang.” Namun, mereka mengenal adanya tingkat-tingkat kebahagiaan atau penderitaan dalam keadaan peralihan. Jiwa-jiwa orang yang telah meninggal diyakini dapat menerima “penyegaran dan penyejukan” melalui Ekaristi, doa, dan derma.
Kepercayaan bahwa kasih dapat menjangkau hingga masa sesudah kematian, dan bahwa saling memberi serta menerima tetap mungkin terjadi—yakni bahwa kita tetap terhubung satu sama lain melalui ikatan kasih yang melampaui batas-batas kematian—merupakan keyakinan dasar umat Kristiani sepanjang segala abad. Keyakinan ini juga tetap menjadi sumber penghiburan bagi banyak orang hingga saat ini.
Siapa yang tidak pernah merasakan kebutuhan untuk menyampaikan tanda kebaikan, ucapan terima kasih, atau bahkan permintaan maaf kepada orang-orang terkasih yang telah mendahului kita ke alam baka?
Kini, orang mungkin bertanya: jika “api penyucian” adalah pemurnian melalui api dalam perjumpaan dengan Tuhan, Hakim dan Penyelamat, bagaimana mungkin orang ketiga dapat turut campur, meskipun ia sangat dekat dengan jiwa yang dimurnikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus yakin bahwa tidak ada manusia yang hidup sendiri, sebagai entitas tertutup. Keberadaan kita saling terjalin dan berkaitan satu sama lain melalui berbagai interaksi timbal balik. Tiada seorang pun hidup sendirian. Tiada seorang pun berdosa sendirian. Tiada seorang pun diselamatkan sendirian.
Kehidupan orang lain terus-menerus masuk ke dalam hidupku—dalam hal-hal yang kupikirkan, kukatakan, kulakukan, dan kucapai. Sebaliknya, hidupku pun memasuki hidup orang lain, untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Dengan demikian, doaku bagi orang lain bukanlah sesuatu yang asing atau eksternal, bahkan setelah kematian. Karena adanya keterjalinan keberadaan satu sama lain, rasa terima kasihku kepadanya, doaku baginya, bisa menjadi bagian kecil dari pemurnian dirinya.
Dalam hal ini, kita tidak perlu mengubah waktu dunia menjadi waktu Allah. Dalam persekutuan jiwa-jiwa, waktu dunia diatasi. Tidak pernah terlambat untuk menyentuh hati orang lain, dan tidak ada yang pernah sia-sia.
Dengan demikian, unsur penting dalam konsep Kristiani tentang harapan menjadi semakin jelas: harapan kita secara hakiki juga selalu merupakan harapan bagi orang lain. Hanya dengan cara itu, harapan itu juga menjadi harapan bagi diriku sendiri.
Sebagai umat Kristiani, kita tidak pernah hanya bertanya: bagaimana aku dapat menyelamatkan diriku? Kita juga harus bertanya: apa yang dapat kulakukan agar sesamaku diselamatkan, dan agar bagi sesamaku bintang harapan juga bisa timbul?
Dengan demikian, aku pun telah berusaha sebaik mungkin untuk keselamatanku pribadi.”
