VATIKAN, Pena Katolik – Dokumen Gereja, Nostra Aetate, tahun ini genap berusia 60 tahun. Pada momen ini, Paus Leo XIV menegaskan kembali urgensi dan daya hidup pesan Nostra Aetate, Deklarasi Konsili Vatikan II tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen.
Dalam perayaan bertajuk “Walking Together in Hope” di Aula Paulus VI, Paus memimpin pertemuan yang dihadiri para tokoh lintas agama, termasuk Menteri Agama Republik Indonesia, K.H. Nasarudin Umar korps diplomatik, serta pejabat Takhta Suci yang terlibat dalam dialog antaragama.
“Enam puluh tahun lalu,” ujar Paus, “melalui Nostra aetate, Konsili Vatikan II menanam benih harapan untuk dialog antaragama. Hari ini, kehadiran kalian adalah bukti bahwa benih itu telah tumbuh menjadi pohon besar, dengan cabang-cabang yang menjulur luas, memberikan naungan serta menghasilkan buah-buah pengertian, persahabatan, kerja sama, dan perdamaian.”
Dalam pesannya, Paus Leo menegaskan bahwa Nostra Aetate “membuka mata Gereja terhadap satu prinsip sederhana namun mendalam: dialog bukan taktik atau alat, melainkan cara hidup, sebuah perjalanan hati yang mengubah setiap orang yang terlibat, baik yang mendengar maupun yang berbicara.
Paus menekankan bahwa perjalanan bersama ini tidak menuntut kompromi atas iman, melainkan kesetiaan pada keyakinan masing-masing.
“Dialog sejati tidak dimulai dari kompromi, tetapi dari keyakinan yang mendalam, akar iman kita yang memberi kekuatan untuk menjangkau sesama dalam kasih,” tuturnya.
Paus juga mengingatkan, bahwa harapan dan peziarahan adalah realitas yang hadir dalam semua tradisi keagamaan.
Mengenang Para “Martir Dialog”
Di awal pidatonya, Paus Leo mengenang banyak tokoh lintas iman yang dalam enam dekade terakhir telah menghidupkan semangat Nostra Aetate, bahkan sampai menyerahkan nyawa mereka.
“Mereka adalah martir dialog, orang-orang yang berdiri melawan kekerasan dan kebencian. Kita berada di titik ini karena keberanian, keringat, dan pengorbanan mereka,” katanya.
Paus Leo menegaskan bahwa pesan Nostra Aetate tetap sangat relevan di zaman ini. Ia mengingatkan ajaran Konsili Vatikan II, bahwa umat manusia semakin saling terhubung dan bahwa semua orang berasal dari satu asal dan menuju satu tujuan yang sama. Semua agama, lanjutnya, berusaha menjawab “kegelisahan hati manusia,” dan Gereja Katolik “tidak menolak apa pun yang benar dan suci dalam agama-agama lain.”
Paus juga menyinggung asal-usul deklarasi tersebut, yang bermula dari keinginan untuk memperbarui hubungan antara Gereja dan Yudaisme. Keinginan itu diwujudkan dalam bab keempat Nostra Aetate, yang disebut Paus sebagai “jantung dan sumber daya hidup dari seluruh dokumen.” Dari sana mengalir ajaran penting.
“Kita tidak dapat sungguh memanggil Allah sebagai Bapa semua orang, bila kita menolak memperlakukan siapa pun, pria atau Wanita, sebagai saudara dan saudari kita, ciptaan Allah yang segambar dengan-Nya.”
Dalam bagian akhir pidatonya, Paus Leo XIV mengingatkan bahwa para pemimpin agama memiliki tanggung jawab suci untuk menolong umat mereka membebaskan diri dari rantai prasangka, amarah, dan kebencian; mengatasi egoisme; serta melawan keserakahan yang merusak manusia dan bumi.
“Dengan cara ini, kita dapat menuntun umat menjadi nabi bagi zaman ini, suara yang menentang kekerasan dan ketidakadilan, yang menyembuhkan perpecahan, dan yang mewartakan damai bagi semua saudara dan saudari kita.”
Paus Leo XIV menutup pesannya dengan mengutip kata-kata Santo Yohanes Paulus II dalam pertemuan lintas agama di Assisi tahun 1986: “Jika dunia ingin bertahan, manusia tidak dapat hidup tanpa doa.”
Sebelum menutup acara dengan hening sejenak, Paus Leo XIV mengundang seluruh hadirin untuk berdoa dalam diam, seraya berdoa: “Semoga damai turun atas kita dan memenuhi hati kita.”
