Home BERITA TERKINI Kelahiran Lingkungan: Komunitas Terkecil dalam Gereja Indonesia

Kelahiran Lingkungan: Komunitas Terkecil dalam Gereja Indonesia

0

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Saat ini, umat Katolik di Indonesia akan langsung paham ketika mendengar istilah “Lingkungan”. Lingkungan adalah komunitas terkecil dalam Gereja Katolik, di mana di situ berkumpul sejumlah kecil kemunitas umat Katolik.

Dari mana asal muasal istilah Lingkungan, dan siapa yang “menciptakan”? Untuk mengetahuinya kita akan menengok ke belakang sekitar tahun 1918. Penggagas pertama kali “Lingkungan” ini adalah Romo Fransiskus Strater, SJ di Yogyakarta (1918). Kring semakin berkembang sebagai strategi pastoral saat Mgr. Albertus Soegijapranata SJ diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang.

“Kring” berasal dari kata dalam bahasa Belanda yang berarti ‘lingkaran’. Istilah ini berarti sekumpulan kecil umat Katolik, yang di dalamnya mereka dapat berkumpul, berdoa bersama dan saling menguatkan sebagai sesame umat.

Romo Strater mengawali misinya di Yogyakarta dengan mulai melayani umat Katolik di Kotabaru, Yogyakarta tahun 1918. Awalnya, istilah Kring digunakan untuk mengorganisir calon umat yang akan dibaptis Katolik melalui pembinaan iman (Wulangan/katekumen).

Perkembangan umat Katolik ketika itu tidak hanya terjadi di kota namun masuk ke dusun di wilayah Yogyakarta. Romo Strater kemudian membentuk Kring di banyak dusun yang ia layani. Lambat laun, terbentuk banyak Kring di wilayah-wilayah pedusunan di pinggiran Yogyakarta.

Selanjutnya, Kring ini diberi nama sesuai dengan desanya, misalnya Kring Temon mengacu pada komunitas yang dibentuk di Dusun Temon. Demikian nama Kring-Kring dinamai sesuai dengan wilayah pelayanannya.

Awalnya di dalam Kring dilakukan kegiatannya adalah “wulangan”, yaitu kegiatan pembinaan iman untuk umat yang akan dipersiapkan untuk baptisan dewasa. Dengan strategi ini, pembinaan umat dapat dilakukan dengan efektir. Di dalam kelompok kecil, pembinaan iman dapat semakin mendalam.

Menumbuhkan Jiwa Kekatolikan

Kring lambat laun menjadi strategi pewartaan yang digunakan para imam Serikat Yesus. Di antara yang memakai strategi ini adalah Romo Albertus Soegijapranata SJ. Setelah ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 1931, Romo Soegija berkarya di Paroki Kidul Loji. Ia mendampingi Romo P. van Driessche SJ. Di paroki ini, ia bekerja kurang lebih hingga tahun 1934 ketika Gereja St. Yoseph di Bintaran mulai dibuka. Saat itulah, ia mulai melayani untuk umat Katolik di sekitar Bintaran.

Saat itu, kebanyakan umat Katolik di Bintaran adalah masyarakat pribumi, berbeda dengan umat di Kidul Loji yang terdiri dari banyak orang Belanda. Ketika mulai melayani di Bintaran inilah, Romo Soegija memikirkan sebuah strategi untuk memperkuat iman dan kekatolikan di kalangan umat yang tergolong “baru” menjadi Katolik.

Romo Soegija membagi komunitas umat Katolik di Gereja Bintaran ke dalam Kring. Di dalam kelompok ini, beberapa keluarga Katolik berkumpul dan rutin mengadakan doa bersama. Lambat-laun, interaksi dalam komunitas ini tidak hanya untuk urusan rohani, namun persaudaraan mereka justru semakin luas dan diperkaya dengan interaksi mereka sebagai sesame umat Allah.

Kring dengan singkat menjadi model penggembalaan baru khas, yang bahkan tidak ada dalam komunitas Katolik di manapun saat itu. Di dalam Kring, umat Katolik dapat berkumpul menjadi satuan kecil. Umat Katolik ini juga dapat berkiprah di masyarakat. Interaksi di dalam Kring tidak hanya sebatas aktivitas rohani, namun mencakup bidang kemasyarakatan yang lain.

Saat itu, Romo Soegija membentuk komunitas-komunitas kecil di Paroki Bintaran, Yogyakarta. Tujuannya, melalui komunitas kecil itu, ia ingin membentuk rasa kekatolikan di antara umat, yang menurutnya dapat terwujud apabila ada hubungan yang kuat antar-keluarga Katolik. Lewat Kring ini, Romo Soegija berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam diri umat di parokinya.

Semakin Menyebar

Wilayah pastoral di sekitar Jawa bagian Tengah berubah dengan pendirian Vikariat Apostolik Semarang pada tanggal 25 Juni 1940, memisahkan diri dari Vikariat Apostolik Batavia. Tak lama kemudian, secara mengejutkan, Paus Pius XII menunjuk Mgr. Albertus Soegijapranata SJ sebagai Vikaris Apostolik Semarang. Dengan penunjukan ini, ia menjadi uskup pribumi pertama di Indonesia.

Beberapa bulan setelah ditetapkan, Mgr. Sogija ditahbiskan sebagai Vikaris Apostolik Semarang pada tanggal 6 Oktober 1940 oleh Mgr. PJ. Willekens SJ di Gereja Gedangan Semarang. Sesudah pentahbisannya, Mgr. Soegija berpindah dari Paroki Bintaran ke Semarang. Ia menetap di Paroki Santo Yusuf Gedangan.

Ketika menjadi Vikaris Apostolik ini, maka strategi penggembalaan yang di lakukan di Bintaran, kemudian oleh Mgr. Sogija “disebarkan” ke komunitas-komunitas Gereja Katolik lain di wilayah Vikariat Apostolik Semarang.

Sejak itu, Kring dibentuk di paroki-paroki di wiyalah Vikariat Apostolik Semarang. Semangat untuk membentuk ikatan yang kuat antar-keluarga Katolik menyebar ke seluruh wilayah pastoral Gereja Katolik di Semarang. Dari Bintaran, Kring-Kring terbentuk di semua wilayah pastoral Vikariat Apostolik Semarang.

Menghadapi Tantangan

Bersamaan dengan perpindahan pusat Pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta, Mgr. Soegija juga memindahkan pusat vikariat dari Semarang ke Yogyakarta. Mgr. Soegija  ingin menunjukkan solidaritas dan semangat nasionalisme umat Katolik sebagai bagian dari bangsa Indonesia, yang sedang berada dalam situasi sulit.

Perang Kemerdekaan yang berlangsung antara tahun 1945-1949, seakan menjadi tantangan dan ujian untuk umat Katolik. Saat itu, Mgr. Soegija menyerukan semangat kekatolikan dan nasionalisme kepada umat Katolik. Ia menanamkan semangat “100% Katolik, 100% Indonesia” di kalangan umat Katolik. Pusat vikariat kembali ke Semarang pada tanggal 25 Agustus 1949 ketika situasi tenang dan perang berakhir.

Dalam masa sulit ini, Kring menjadi strategi yang jitu untuk menyatukan umat. Kektika berkumpul di dalam Kring, umat Katolik tidak serta-merta terpisah, tetap ada ikatan yang kuat di antara umat. Bisa dikatakan, antara Kring satu dengan yang lain, tetap ada semangat saling mendukung baik di dalam iman maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan ikatan ini pula, Mgr. Soegija menjadi mudah untuk memobilisasi umat dalam situasi-situasi sulit ketika itu.

Kring dengan demikian menjelma sebagai strategi pastoral yang berjasa menyuburkan iman, sekaligus menguatkan semangat kebangsaan ketika itu. Mgr. Soegija berjasa, dalam melahirkan strategi untuk menyatukan dan menguatkan kesadaran antar umat Katolik.

Vikariat Apostolik Semarang berubah status menjadi Keuskupan Agung Semarang pada 3 Januari 1961 dengan kelahiran hierarki di Indonesia. Mgr. Soegija pun menjadi Uskup Agung Semarang yang pertama.

Kelahiran hierarki di Indonesia ini tertuang dalam Constitutio Apostolica Quod Christus Adorandus yang diterbitkan Paus Yohanes XXIII. Mgr. Soegija sangat berjasa dalam peningkatan status ini.

Selanjutnya Mgr. Soegija mendirikan empat kevikepan di: Kevikepan Semarang, 7 Oktober 1966 dengan Vikep Romo Johanes Obrus Hardjana Padmasepoetra Pr; Kevikepan Yogyakarta, 7 Oktober 1966, dengan Vikep Romo A. Djajasiswaja; Kevikepan Surakarta, 7 Oktober 1966, dengan Vikep Romo E. Hardjawardaja Pr; dan Kevikepan Semarang Kedu, 18 Agustus 1967, dengan Vikep Rm. A. Martadihardja SJ.

Transformasi Menjadi Lingkungan

Saat ini, seiring dengan perkembangan umat Katolik di Indonesia, maka istilah Kring pun bertransformasi menjadi “Lingkungan”. Selain juga ada istilah Stasi, yang merupakan gabungan dari beberapa Kring. Kemudian ada juga Wilayah, yang merupakan gabungan beberapa Lingkungan. Semua ini berada di bawah naungan paroki. Istilah Kring masih popular di kalangan umat di Keuskupan Agung Semarang sampai pada tahun 1990-an.

Pada tahun 1974, Romo C.A.W. Rommens SJ menerbitkan sebuah tulisan berjudul “Lingkungan:  Menuju Gereja Yang Lain “[1974]. Karya ini menjadi salah satu penanda perubahan istilah dari Kring menjadi Lingkungan. Kring dan Lingkungan mengacu pada komunitas terkecil dalam paroki.

Pembagian umat Katolik dalam Kring dan Lingkungan ini kemudian menyebar sebagai strategi pastoral di seluruh Indonesia. Dengan semakin banyaknya umat, kemudian dikenalkan juga istilah Stasi dan Wilayah yang merupakan gabungan dari beberapa Kring atau Lingkungan.

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo pernah mengatakan, bahwa lingkungan menjadi ciri khas Gereja Indonesia.

“Itu artinya ‘lingkungan’ menjadi salah satu ciri khas dari Gereja ‘Pribumi,’ ciri khas Gereja Indonesia.”

Sistem Lingkungan, menurut Kardinal Suharyo menjadi sarana agar umat berkumpul di tengah-tengah masyarakat. Ia mengakui, ide yang diawali tahun 1918 dan dipolulerkan Mgr. Soegija pada tahun 1934 itu sangat jauh ke depan. Pada saat Konsili Vatikan II, 30 tahun sejak lahirnya Kring, komunitas kecil Gereja ini dirumuskan dan menjadi bentuk pastoral yang diterima di seluruh dunia.

“Romo Soegijapranata melihat begitu jauh ke depan bahwa Gereja Indonesia tidak mungkin hidup, tidak mungkin dapat berkembang, kalau tidak hadir di tengah-tengah masyarakat.”

Kardinal Suharyo mengatakan, orang-orang Katolik berkumpul juga di lingkungan-lingkungan kecil, bukan hanya sekedar berkumpul tetapi berdoa dan berbicara bersama-sama, mengenai keadaan masyarakat lingkungan.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version