ROMA, Pena Katolik – Perdebatan mengenai penanggalan kitab-kitab Injil selalu menjadi topik hangat di kalangan para ahli Kitab Suci. Para pemikir biblika sering kali terlibat dalam diskusi panjang tentang kapan sebenarnya Injil ditulis, siapa yang menuliskannya terlebih dahulu, atau yang pertama kali menulis Kitab Suci.
Meski tidak ada kepastian mutlak, para ahli berupaya menafsirkan bukti-bukti yang ada dan kemudian menyusunnya menjadi hipotesis terbaik tentang kebenaran sejarah di balik penulisan Injil.
Sebagian besar pemikir modern berpendapat bahwa Injil Markus adalah Injil pertama yang ditulis, sekitar tahun 50–70 Masehi.
Pendapat ini berbeda dengan keyakinan para Bapa Gereja Perdana, yang justru meyakini bahwa Injil Matius adalah Injil pertama. Urutan Injil dalam Perjanjian Baru—Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes—mencerminkan tradisi Gereja awal tersebut. Namun, di sisi lain, hampir semua pihak sepakat bahwa Injil Yohanes adalah yang terakhir ditulis, meskipun urutan penulisan ketiga Injil lainnya masih terus diperdebatkan.
Santo Agustinus pada abad ke-4 dalam karyanya The Harmony of the Gospels menegaskan bahwa ada makna spiritual di balik empat Injil. Ia menulis bahwa keempat Injil ini seolah-olah merepresentasikan empat penjuru dunia, sehingga melalui tulisan mereka, Gereja Kristus meluas ke seluruh penjuru bumi. Menurutnya, Injil Matius ditulis pertama, kemudian Markus, lalu Lukas, dan terakhir Yohanes. Agustinus menekankan bahwa urutan pewartaan Injil secara lisan berbeda dengan urutan penyusunan dalam bentuk tulisan.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Origenes pada abad ke-3 dalam Komentar atas Injil Matius. Ia menegaskan bahwa tradisi yang ia terima menyebut Injil Matius ditulis pertama dalam bahasa Ibrani, ditujukan bagi orang-orang Yahudi yang bertobat. Injil Markus, menurut Origenes, ditulis berdasarkan ajaran Rasul Petrus, sedangkan Injil Lukas ditulis bagi orang-orang non-Yahudi dan dipuji oleh Rasul Paulus. Injil Yohanes, yang penuh kedalaman teologis, ditulis terakhir.
Namun, pada kenyataannya, tidak ada kepastian absolut mengenai siapa yang pertama kali menuliskan Injil. Hal ini semakin rumit karena kisah-kisah Yesus awalnya diwariskan secara lisan, jauh sebelum dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, Injil lahir dari tradisi yang hidup di tengah jemaat Kristen perdana, bukan sekadar karya sastra individual.
Lalu, pertanyaan penting muncul: apakah urutan penulisan Injil benar-benar penting bagi iman kita? Dari sudut pandang rohani, jawabannya bisa jadi tidak. Yang lebih penting adalah isi dari Injil itu sendiri—pewartaan tentang Yesus Kristus, Putra Allah yang menyelamatkan manusia. Roh Kuduslah yang menuntun para penulis Injil sehingga setiap kata yang kita baca bukan sekadar sejarah, melainkan Sabda yang diilhami Allah.
Pada akhirnya, meskipun kita tidak bisa mengetahui secara pasti bagaimana proses penulisan Injil terjadi dua ribu tahun lalu, kita dapat tenang karena yakin bahwa Allah sendirilah yang bekerja di balik semuanya. Yang terutama bagi kita bukanlah “siapa lebih dahulu,” melainkan bagaimana Injil mengubah hidup kita dan menuntun kita semakin dekat kepada Kristus. Sebagaimana Yesus memandang Matius dengan tatapan penuh belas kasih, demikian juga Ia memandang kita dengan kasih-Nya yang tak berkesudahan.