Home BERITA TERKINI 100 Hari Paus Leo XIV: Kepemimpinan yang Menenangkan

100 Hari Paus Leo XIV: Kepemimpinan yang Menenangkan

0

JAKARTA, Pena Katolik – Dalam seratus hari pertamanya sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Leo XIV telah menunjukkan gaya kepemimpinan yang unik. Terlihat, ia memimpin dengan ketenangan, keteguhan, dan kesadaran mendalam akan simbol dan jabatan apostolik yang diembannya. Ia tidak terburu-buru dalam membuat keputusan besar. Namun, dalam “penundaan” itulah tampak suatu bentuk hikmat: stabilitas sebagai strategi.

Kepemipinannya seperti “kurang Robert, dan lebih banyak Petrus”. Ia seperti tidak terlalu memimpin sebagai Kardinal Robert Francis Prevost OSA, namun menyadari akan martabatnya sebagai pengganti Petrus. Barangkali ini menjadi semacam benang merah yang menjelaskan kepausan Paus Leo XIV.

Paus Leo XIV memahami, sebagai Paus ia menanggalkan “latar belakang pribadi”. Ia menjadi simbol utama dari kesatuan dan kontinuitas Gereja, sang Petrus zaman ini.

Berbeda dengan Paus Fransiskus yang langsung muncul dengan gebrakannya, Paus Leo XIV tidak tergesa-gesa. Namun, Leo XIV jelas tidak meninggalkan kontinuitas kepausannya dengan Fransiskus. Di awal masa kepausan jelas Leo XIV memberi penekanan ini. Laudato Si’ sebagai ensiklik raksasa sepanjang kepausan Fransiskus akan terus menjadi pedoman, terutama dalam menjawab perubahan iklim. Jelas, Leo XIV tidak mengambil posisi sebaliknya disbanding Fransiskus.

Leo XIV lebih menjadi “seorang penstabil”. Ini bukan berarti ia lepas dari kepribadian atau visi, tetapi ia sadar akan batas-batas yang dituntut oleh jabatannya. Ia untuk memastikan, bahwa kesakralan dan wibawa jabatan kepausan tetap utuh.

Dalam era digital yang sangat reaktif dan mudah tersulut oleh keputusan apapun dari Vatikan, kebijaksanaan Leo tampak dalam ketidaktergesaannya. Pendekatannya yang hati-hati. Ia tidak tergesa-gesa merombak pejabat tinggi Vatikan. Sinode Sinodalitas juga tetap berlanjut sebagai warisan Fransiskus yang belum usai. Ia menambahkan beberapa pertanyaan refleksi, namun menahan diri untuk intervensi dalam proses sinode ini. Terkait dengan Liturgi Latin Tradisional, Leo XIV masih belum memberikan tanggapannya.

Kepausan yang “tidak terburu-buru” ini sepertinya akan menjadi gaya kepausannya. Gestur ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan. Pilihan simbolik yang ia ambil, seperti mengenakan mozzetta, ia telah “memulihkan” beberapa praktik kepausan yang sudah lama tak dilakukan di era Fransiskus.

Leo XIV memberi kontinuitas yang kuat, sesuatu yang sangat juga dibutuhkan oleh umat Katolik untuk memahami martabat seorang Paus sebagai pemimpin Gereja. Simbol ini adalah sarana komunikasi teologis dan pastoral. Paus Leo tampaknya sangat paham akan hal ini.

Paus Leo XIV telah meletakkan dasar (arah) kepausannya di era Artificial Intelligence. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaiamana Gereja akan berubah di era ini? Paus Leo XIV akan menjadi penuntun terdepan yang mengarahkan Gereja memasuki era ini. Cepat atau lambat, keputusan-keputusannya akan menjadi penuntun di era baru ini. Penunjukan uskup, reformasi keuangan, arah sinode, dan bahkan pengelolaan isu-isu geopolitik akan menjadi medan di mana gaya “penstabil” ini akan diuji.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version