LABUAN BAJO, Pena Katolik – Sebuah momen hangat mewarnai pembukaan Festival Golo Koe 2025 di Waterfront City Labuan Bajo, Minggu 10 Agustus 2025. Di antara keramaian dan semarak stan pameran, seorang muslimah bernama Ika Wulandari memberikan browniesbite cokelat buatannya kepada Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus.
Gestur sederhana itu menjadi simbol indah bahwa perbedaan agama dan latar belakang bukanlah tembok pembatas, melainkan jembatan persaudaraan. Wulan, demikian ia disapa, tersenyum ramah saat menyerahkan kue tersebut kepada Mgr. Maksi. Stan miliknya, bertajuk Food Day, menjadi lapak pertama yang dikunjungi sang Uskup usai memotong pita tanda festival resmi dibuka.
Didampingi Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng, Sekda Fransiskus Sodo, Kapolres, Danramil, perwakilan TNI AL, serta sejumlah pejabat daerah, Mgr. Maksi pun mencicipi browniesbite tersebut dengan stik kecil. Sambil mengangguk, Weng ikut memuji cita rasa kue buatan Wulan.
“Awalnya saya agak gugup, tapi sangat senang. Suatu kehormatan bagi saya, stand sederhana ini dikunjungi Bapak Uskup,” ujar
Wisata sebagai ruang Kebersamaan
Festival Golo Koe 2025 kembali membuktikan bahwa pariwisata dan budaya dapat menjadi ruang kebersamaan, di mana sepotong kue cokelat pun mampu menghangatkan hati dan merajut persaudaraan di Labuan Bajo.
Mgr. Maksimus Regus, menegaskan bahwa pengembangan pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, harus berlandaskan prinsip keberlanjutan. Ia mengingatkan, orientasi semata pada keuntungan akan mengancam kelestarian alam dan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Hasrat pada akumulasi profit akan menggiring keindahan pariwisata Labuan Bajo sekadar sebagai arena kerakusan dan ketamakan, dan hal itu sulit menyisakan manfaat besar bagi komunitas lokal,” ujar Mgr. Maksi.
Menurutnya, pendekatan eksploitatif akan melukai makna keberlanjutan. Aspek ekologis, kata dia, harus menjadi bagian dari cara pandang industri pariwisata. “Keindahan Labuan Bajo adalah titipan generasi masa depan untuk dijaga dan dipakai seperlunya saja,” tegasnya.
Festival Golo Koe, yang digelar Keuskupan Labuan Bajo bersama Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, tahun ini mengusung tema “Keuskupan Labuan Bajo: Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif”. Sejak pertama kali diadakan pada 2022, festival ini memadukan unsur religiusitas, budaya, ekonomi, dan persaudaraan lintas iman.
Wakil Bupati Manggarai Barat, Yulianus Weng, menyebut festival ini sebagai wujud pariwisata berbasis budaya lokal. Ia menambahkan, kegiatan ini memberi dampak ekonomi bagi UMKM, pengrajin, petani, nelayan, dan seniman lokal, sekaligus menjadi cermin toleransi di Manggarai Barat.
“Wisatawan tidak hanya melihat keindahan, tapi juga merasakan denyut kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Festival berlangsung 10–15 Agustus dengan beragam kegiatan, seperti pameran UMKM, pentas seni budaya, karnaval budaya pada 12 Agustus, serta prosesi akbar Maria Assumpta Nusantara pada 14 Agustus yang mengarak patung Bunda Maria di laut Labuan Bajo menggunakan pinisi dan ketinting. Puncak perayaan akan ditutup dengan Misa Inkulturatif Maria Diangkat ke Surga pada 15 Agustus yang dipimpin langsung oleh Uskup Labuan Bajo.