PALANGKA RAYA, Pena Katolik – Sebuah panggilan telepon berdering pada sabtu, 27 Januari 2001 di Biara Nazareth, Yogyakarta, rumah pada biarawan Misionaris Keluarga Kudus (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/MSF). Seseorang di ujung telepon itu adalah Nunsius Apostolik, Mgr. Renzo Fratini. Siang itu, ia mencari Romo Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, MSF. Intinya, Mgr. Renzo memintanya datang ke Kedutaan.
Dipanggil ke kedutaan adalah sesuatu yang tidak lazim bagi umumnya seorang imam. Sontak, Romo Sutrisnaatmaka pun heran, dalam hati, ia bergumam, ada apa ini. Ada urusan apa, ia dipanggil ke Kedutaan Vatikan?
Romo Sutrisnaatmaka pun menyanggupi untuk bertemu pada Sabtu, 29 Januari 2001, dua hari setelah telepon itu berdering. Setelah basa-basi singkat, Mgr, Renzo langsung merlihatkan surat dari Paus Yohanes Paulus II. Isinya Romo Sutrisnaatmaka ditunjuk sebagai Uskup Palangka Raya.
“Walau hati saya tidak karuan, tapi saya akhirnya menyatakan kesediaan,” kenang Mgr. Sutrisnaatmaka.
Pelayanan Lebih Besar
Ketika mengetahui penunjukkan itu, pikiran Romo Sutrisnoatmaka langsung melayang ke tempat yang bahkan masih menjadi misteri baginya. Meski sudah bolak-balik Kalimantan sejak tahun 1981, ia belum pernah ke Palangka Raya, bagaimana mungkin ia ditunjuk menjadi uskup di sana?
Awalnya, Romo Sutrisnoatmaka menyampaikan alasan untuk menolak, pada proses pemilihan uskup, kadang memang ada kemungkinan untuk menolak. Namun, Romo Sutrisnoatmaka ingat, semua alasan itu dipatahkan Mgr. Renzo.
“Saya mengajukan permohonan untuk boleh menunda jawaban agar bisa berkonsultasi dengan Uskup Banjarmasin, Mgr. F.X Rocharjanta Prajasuta, MSF. Tapi sepertinya Mgr. Prajasuta ikut terlibat dalam proses ini. Dalam konsultasi itu, Mgr. Prajasuta berpesan, memang rasanya tidak etis menolak tugas yang sudah dipercayakan oleh Paus,” kenang Mgr. Sutrisnaatmaka seperti yang diceritakan dalam Majalah Hidup.
Meski begitu, Pastor Sutrisnaatmaka tidak langsung menjawab, ia baru menyampaikan kesediaannya pada 2 Februari 2001. Ia lalu ditahbiskan pada 7 Mei 2001.
Saat tahbisan itu, situasi Palangka Raya mencekam. Sebelumnya, pada 18 Februari 2001, terjadi konflik etnis Madura-Dayak di Sampit yang menelan cukup banyak korban. Mgr. Sutrisnaatmaka mengenang, Palangka Raya seketika menjadi kota mati.
Oleh karenanya, program-program awalnya sebagai uskup adalah bertitik pada toleransi antarumat beragama. Ia saat itu menyerukan, agar umat “tetap hidup dalam kasih karunia Allah” (Permanere in Gratia Dei) sebagaimana moto episkopatnya.
Untuk menyatukan visi dan misi keuskupan, ia mengadakan rapat kerja keuskupan yang diikuti semua petugas Romoal baik kaum tertahbis maupun awam. Sebelum rapat itu terjadi, selama setahun ia mengadakan perjalanan keluar masuk kota dan desa untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan umat.

Terpanggil Karena Bola
Mgr. Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka, M.S.F. lahir pada tanggal 18 Mei 1953 di Pandhes, Wedi, Klaten, Jawa Tengah. Ia merupakan anak kelima dari delapan bersaudara dari Ignatius Gitusutrisno. Pendidikan TK dan SD ia jalani di Wedi, yakni di TK Santa Maria Wedi dan SD Kanisius Murukan 1. Setelahnya, ia melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Seminari Mertoyudan.
Suatu hati, Sutrisnaatmaka bermain bola bersama temannya di lapangan SD St. Maria. Tak disengaja, bola yang ditendang mengenai kaca ruang guru. Seorang temannya lalu dipanggil oleh guru dan dimarahi. Namun, guru itu malah bertanya, mereka ingin melanjutkan pendidikan ke mana setelah lulus.
Pertama temannya menjawab akan melanjutkan pendidikan ke SMP Seminari Mertoyudan. Satu jawaban yang tidak disusul dengan kemarahan guru itu. Setelah melihat situasi ini, Sutrisnaatmaka lalu ikuti menjawab akan melanjutkan pendidikan di Seminari Mertoyudan, agar tidak dimarahi gurunya.
Namun, akhirnya Sutrisnaatmaka melanjutkan ke SMP Seminari Mertoyudan hingga tamar dan memilih bergabung dengan Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus. Selesai novisiat, ia melanjutkan pendidikan di Institut Filsafat Teologi di Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta tahun 1973-1980.
Romo Sutrisnaatmaka ditahbiskan menjadi imam 6 Januari 1981 oleh Kardinal Justinus Darmojuwono di Yogyakarta. Setelah ditahbiskan menjadi Imam, beliau bertugas di Paroki St. Theresia, Balikpapan selama 1 tahun yaitu pada tahun 1981 hingga 1982.
Romo Sutrisnaatmaka menempuh sturi lanjut bidang misiologi dari Universitas Kepausan Gregoriana antara tahun 1982-1987. Selanjutnya selama 12 tahun, ia mengajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma sampai tahun 2001, ketika ia dipilih menjadi uskup dan ditahbiskan pada tanggal 7 Mei 2001 oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J.
Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka memiliki moto Ut permanerent in gratia Dei yang berarti Tetap Tinggal dalam Kasih Karunia Allah. Sangat jelas beliau menunjukkan keinginan untuk melayani sesama dan memuliakan tuhan dengan tinggal dalam kasih Karunia Allah.
Menjadi Pengikut Kristus
Sementara Gereja mengajarkan, menjadi Katolik berarti menyerahkan diri kepada Kristus. Mgr. Sutrisnaatmaka menghadirkan wajah baru Gereja lewat katekese. Para petugas pastoral dipaksa “mengencangkan sabuk” dalam memberi pemahaman iman kepada umat.
Hasil paling nyata adalah perubahan pada aspek perkawinan. Perkawinan “kontrak” lama kelamaan mulai hilang, demikian halnya dengan perkawinan sepupu. Orang mulai melihat nilai luhur dari perkawinan Kristiani sebagai Sakramen.
Peristiwa-peristiwa kehidupan seperti kelahiran dan kematian sudah dikaitkan dengan peranan Tuhan, dan diwujudkan dalam liturgi suci. Penataan ekonomi keluarga mulai berdampak pada kesejahteraan. Masyarakat Dayak tidak lagi berpikir tentang hari ini. Mereka mulai merancang masa depan mereka. Kehadiran credit union (CU, Koperasi Kredit) yang dipelopori Gereja menjadi sumbangan nyata untuk pengelolaan ekonomi umat.
Dunia pendidikan juga menjadi fokus pengembangannya. Gereja terlibat mendukung semboyan pemerintah: Kalteng Harati, yakni program pemerintah untuk mempercepat mutu pendidikan. Gereja menghadirkan sejumlah beasiswa untuk menunjang pendidikan. Sekolah Katolik menjadi mekar karena didukung penuh Gereja. Yayasan Siswarta dengan beberapa cabang yang menaungi puluhan sekolah dari TK hingga SMAK menjadi ikon di Palangka Raya. Total siswa tahun pelajaran 2018/2019 adalah 5.032.
Di keuskupan Palangka Raya juga memiliki Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Tahasa Danum Pembelum. STIPAS ini terakreditasi langsung dibawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Kementerian Agama Republik Indonesia. Sasaran utama STIPAS adalah menghasilkan guru agama Katolik dan katekis yang profesional; meningkatkan produktivitas penelitian dan pengembangan di bidang pastoral katekese; serta peningkatan daya saing program studi pendidikan agama Katolik di era globalisasi.