Home BERITA TERKINI Bagaimana Mukjizat Diakui sebagai Alasan Beatifikasi atau Kanonisasi?

Bagaimana Mukjizat Diakui sebagai Alasan Beatifikasi atau Kanonisasi?

0

VATIKAN, Pena Katolik – Prosedur klasik untuk beatifikasi dan kanonisasi ditetapkan oleh Paus Benediktus XIV pada abad ke-18. Ketetapan ini masih menjadi standar hingga saat ini. Namun, ada beberapa pengecualian, yakni untuk para martir.

Pada prinsipnya, Gereja tidak mengakui orang yang diberkati atau orang suci, kecuali jika ada mukjizat fisik. Sementara mukjizat terkait penyakit psikologis atau neurologis tidak menjadi pertimbangan yang dikaitkan dengan mukjizat calon para kudus.

Memang, untuk membeatifikasi atau mengkanonisasi orang yang dibaptis, “tidak cukup hanya memiliki berkas yang disusun dengan baik, harus ada tanda yang datang dari Tuhan. Tanda ini menjadi sebuah konfirmasi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia.

Romo Bernard Ardura adalah Presiden Emeritus Komite Kepausan untuk Ilmu Sejarah dan pemohon penyebab kanonisasi St. Charles de Foucauld. Ia menjelaskan, dalam perjalanan panjang menuju pengakuan mukjizat, pertama-tama harus menemukan suatu peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Ia menjelaskan, bahkan jika ada mukjizat “teknis”, seperti “lolos dari bahaya”, hal ini perlu dilihat sejauh mana unsur mukjizatnya. Ia menuturkan, mukjizat penyebuhan menjadi sangat berarti sebagai tanda kekudusan.

Investigasi keuskupan

Tahap pertama dari prosedur resmi investigasi kanonik dimulai di keuskupan tempat. Di tahap ini, dugaan mukjizat pertama kali diteliti dan dilaporkan. Uskup setempat harus membentuk pengadilan informatif, yang terdiri dari uskup atau yang didelegasikan, promotor (pengusul), notaris, juru tulis, dan dokter.

Kelompok ini akan mengumpulkan semua dokumentasi. Dua dokter ditunjuk untuk memeriksa secara independen orang yang menerima “dugaan mukjizat”. Kesaksian mereka kemudian akan didengar oleh pengadilan keuskupan.

Tujuan proses ini adalah untuk menetapkan, bahwa pemulihan itu lengkap, langgeng, dan tanpa kekambuhan. Mukjizat terjadi setelah prognosis menyatakan “tidak ada harapan” setelah intervensi medis apa pun. Saksi-saksi atas peristiwa tersebut juga didengar, serta saksi-saksi atas doa-doa yang ditujukan secara khusus kepada yang terhormat atau yang diberkati ini.

Namun, elemen ilmiah saja tidak cukup. Hal ini karena mukjizat adalah kategori teologis. Mukjizat hanya dapat terjadi jika diminta. Setelah semua orang didengar, berkasnya dikirim ke Roma.

Tahap-tahap di Roma

Pertama, Dikasteri Penggelaran Kudus kan memverifikasi semua dokumen dalam kasus tersebut untuk mengeluarkan keputusan tentang keabsahan secara Hukum Gereja. Setelah dokumen ini diperoleh, pemohon harus menyiapkan bagian pertama dari “posisi”, tesis yang berisi fakta dan kesaksian. Proses ini dilakukan untuk membuktikan bahwa ini adalah fakta yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, yang dapat dikualifikasikan sebagai mukjizat.

Kedua, bagian “teknis medis” itu pertama-tama diperiksa oleh dua ilmuwan independen. Jika kedua orang ini sepakat, maka kasus tersebut dapat diteruskan ke “konsultasi medis”. Tahap ini melibatkan komisi yang terdiri dari tujuh dokter, yang harus memutuskan kasus tersebut.

“Tim ini menginginkan suara bulat, tetapi juga menerima bahwa mungkin ada satu atau dua suara yang tidak sepenuhnya sependapat dengan yang lain,” jelas Romo Ardura.

Ketiga, jika fakta itu diakui sebagai “tidak dapat dijelaskan,” maka akan berlanjut pada tahao untuk meneliti aspek keagamaan dari kasus tersebut, di mana yang dicermati adalah kesaksian doa, permintaan syafaat, dan rekomendasi spiritual apa pun.

Proses ini akan melibatkan sembilan konsultan yang diisi para teolog. Mereka harus memutuskan apakah itu adalah mukjizat Tuhan yang diperoleh melalui syafaat orang suci yang terhormat atau yang diberkati.

Sampai ke Paus

Disposisi yang berisi hasil dari semua komisi kemudian diserahkan kepada para kardinal dan uskup yang menjadi anggota Dikasteri Penggelaran Kudus. Mefekalah yang akan memberikan pendapat akhir.

Pendapat inilah yang akhirnya disampaikan kepada Paus dalam sebuah pertemuan yang disebut konsistori biasa. Pada kesempatan ini, Prefek Dikasteri Penggelaran kudus, di mana saat ini adalah Kardinal Marcello Semeraro, akan menlaporkan usulan penggelaran kudus ini.

Selanjutnya, Paus akan memutuskan untuk menyetujui penerbitan dekrit yang membuktikan mukjizat tersebut. Langkah selanjutnya, seseorang yang diusulkan untuk diakui sebagai beato/beata/santo/santa ini dapat dibeatifikasi atau dikanonisasi.

Secara umum, proses di keuskupan akan memakan waktu beberapa bulan. Selanjutnya untuk tahapan di Vatikan dapat memakan waktu antara dua hingga empat tahun.

Gereja bersikap hati-hati terhadap pengakuan mukjizat ini. Gereja hanya akan mengakui kekudusan seseorang setelah prosedur yang ketat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version