FUZHOU, Pena Katolik – Uskup Pembantu Fuzhou, Mgr. Giuseppe Lin Yuntuan secara resmi diakui oleh Pemerintah Tiongkok, Pada tanggal 11 Juni 2025. Sebelumnya, Mgr. Lin disebut sebagai uskup “bawah tanah” yang melayani tanpa persetujuan Bejing. Sebelumnya, ia ditahbiskan menjadi imam dan kemudian secara diam-diam juga sudah ditahbiskan menjadi uskup.
Pada perayaan liturgi St. Barnabas, Gereja di Tiongkok menandai pengangkatan uskup pertama di Tiongkok di bawah kepausan Leo XIV. Langkah ini sontak ditafsirkan sebagai tanda optimisme, dalam kerangka perjanjian Sino-Vatikan yang terutama mengatur tentang pengangkatan uskup di Negeri Tirai Bambu.
Pelayanan Berbahaya
Selama beberapa dekade, Mgr. Lin telah menjelajahi medan kehidupan gerejawi yang berbahaya di Tiongkok. Ia melayani secara diam-diam dalam realitas ganda yang kompleks. Sebagai Gereja “bawah tanah” umat yang dilayani Mgr. Link setia kepada Vatikan, namun tidak diakui oleh negara Tiongkok.
Pengakuannya sebagai uskup pembantu tidak hanya menandai sebuah transisi, tetapi juga konvergensi simbolis dua pemerintah ini.
Vatikan mengonfirmasi pengangkatan Lin pada tanggal 5 Juni 2025. Menurut Takhta Suci, pengangkatan tersebut dilakukan dalam konteks dialog, mengenai penerapan Perjanjian Sementara antara Takhta Suci dan Republik Rakyat Tiongkok.
Pada Misa pelantikan ini, Mgr. Lin membuat pernyataan kesetiaan kepada konstitusi Tiongkok dan menyatakan keinginannya untuk membantu membina keharmonisan antara Gereja dan negara.
Kata-katanya sangat sesuai dengan kebijakan Tiongkok tentang “sinisasi”, yang berupaya menyelaraskan praktik keagamaan lebih dekat dengan budaya nasional dan cita-cita politik Tiongkok. Namun, bagi mereka yang memahami implikasi yang lebih dalam, pesan tersebut juga menunjukkan adanya gerakan hati-hati antara kesetiaan kepada Roma dan kepatuhan terhadap norma-norma Tiongkok.
Mgr. Lin, yang kini berusia 73 tahun, telah melayani Gereja di Fujian selama lebih dari empat dekade. Setelah memulai studi di seminari, tak lama setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan, ia ditahbiskan pada tahun 1984. Ia lalu menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai imam paroki, dosen di seminari, dan administrator keuskupan.
Penahbisan episkopalnya dilakukan secara diam-diam pada tahun 2017. Tahbisan ini telah lama tidak diakui oleh otoritas negara hingga pengakuan baru-baru ini.
Dalam upacara resmi ini, yang dilaksanakan dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Agung Fuzhou, Mgr. Giuseppe Cai Bingrui, yang baru-baru ini mengambil alih kepemimpinan penuh keuskupan itu setelah pemindahannya dari Keuskupan Xiamen pada bulan Januari 2025.
Langkah Maju
Baik Keuskupan Xiamen maupun Keuskupan Agung Fuzhou adalah dua keuskupan besar di sepanjang pantai tenggara Tiongkok. Perombakan kepemimpinan di dalamnya mencerminkan perencanaan strategis Vatikan dan pematangan bertahap negosiasinya dengan otoritas Tiongkok.
Mgr. Cai telah menerima pengakuan ganda, Vatikan dan Tiongkok. Dengan demikian, pemindahannya semakin menunjukkan perkembangan positif dalam perjanjian Vatikan-Tiongkok.
Sejak awal perjanjian tahun 2028, sering terjadi pengakuan oleh kedua otoritas, Vatikan dan Tiongkok, dalam pengangkatan uskup, meski harus diakui, tidak semua kesepakatan berjalan mulus.
Hingga ini, ketentuan lengkap perjanjian tersebut masih dirahasiakan. Perjanjian itu memungkinkan Paus untuk memiliki keputusan akhir tentang pengangkatan uskup, sementara pemerintah Tiongkok tetap memegang peran kunci dalam proses pencalonan.
Para kritikus berpendapat, pakta tersebut memberikan terlalu banyak kewenangan kepada Beijing. Namun, para pendukung melihatnya sebagai jalan maju dari perpecahan, ambiguitas, dan penganiayaan selama puluhan tahun.
Juru bicara Vatikan, Matteo Bruni menyambut baik pengakuan Mgr. Lin sebagai hasil nyata dari dialog yang sedang berlangsung.
“Ini adalah hasil lebih lanjut dari upaya antara Takhta Suci dan otoritas Tiongkok dan merupakan langkah signifikan menuju persekutuan gerejawi penuh di keuskupan Fuzhou,” katanya.
Sementara itu, di Beijing, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyampaikan nada positif yang serupa. Menanggapi pertanyaan tentang pelantikan tersebut, juru bicara kementerian Lin Jian menekankan “dialog konstruktif” antara kedua negara dan menyatakan kesiapan Beijing “untuk terus meningkatkan hubungan Tiongkok-Vatikan.”
Harapan ke Depan
Hingga kini, optimisme yang menyelimuti acara tersebut diredam oleh sifat kehidupan Gereja yang rapuh di Tiongkok, di mana ketegangan antara kesetiaan kepada Roma dan kesetiaan kepada Partai Komunis belum hilang sepenuhnya, meski diakui semakin cair.
Pengakuan publik terhadap para uskup seperti Mgr. Lin dapat membantu menjembatani kesenjangan, banyak pada imam dan umat beriman yang masih hidup dalam bayang-bayang, kewaspadaan terhadap perubahan arah politik.
Bagi komunitas Katolik di Fujian, pengakuan Mgr. Lin merupakan momen kelegaan sekaligus harapan. Setelah puluhan tahun pelayanan “semi-rahasia”, uskup mereka kini sepenuhnya menjadi pembawa berkat dari Roma dan memiliki kedudukan hukum sah di Tiongkok. Ia dapat melayani tanpa rasa takut lagi.
Dampak yang lebih luas dari pengakuan ini masih harus dilihat, tetapi ini dapat menandai dimulainya masa depan yang lebih stabil untuk persatuan Gereja di Tiongkok di masa depan, di mana “Gereja bawah tanah” tidak lagi berarti tak terlihat.
Ketika Paus Fransiskus meninggal pada hari Senin, pemerintah di seluruh dunia dengan cepat memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang pemimpin Katolik dan kepala negara Vatikan tersebut. Namun, satu negara besar menunda tanggapannya hingga Selasa malam.