Pontianak, Pena Katolik | Sastra Kebudyaaan yang dirilis dalam mini album terbaru Aan Baget dengan judul “Nape Gajian”, “Bangok”, “Sorry Adi’a”, “Padi Poe’”, dan “Sunsakng Cagat”, diluncurkan secara resmi di acara yang penuh dengan nuansa santai dengan corak kebudayaan Dayak.
Pada malam yang penuh corak sastra itu, Sabtu 15 Maret 2025, Weng Coffee Pontianak jalan Reformasi menjadi saksi sebuah peristiwa penting dalam dunia musik sastra Dayak Kalimantan.
Dihadiri juga oleh rekan artis Dayak diantaranya ada Sari Basule, Eva Belisima dan Uwing bersamaan dengan undangan artis Dayak Generasi 3 dan rekan awak media partnernya.
Penampilan itu, tak hanya menjadi ajang perayaan karya-karya Aan Baget, acara tersebut juga menjadi tonggak sejarah bagi musik Dayak yang kian diperkenalkan ke khalayak lebih luas, bahkan hingga ke dunia internasional.
Aan Baget, musisi asal Dayak Kanayant juga merupakan dosen Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Landak (San Agustin), selama ini dikenal dengan karya-karya musik yang sangat mencerminkan kehidupan dan budaya masyarakat Dayak, kini semakin menunjukkan komitmennya dalam memperkenalkan kekayaan budaya Kalimantan kepada dunia.
Dalam acara tersebut, selain merilis mini album yang sudah lama dinantikan oleh para penggemarnya, Aan Baget dengan semangat Katolik juga turut memperkenalkan generasi penerus seni Dayak, yakni artis Dayak generasi keempat alias peserta TOP 15 artis Dayak Generation Sesion 4.
Top 15 artis tersebut dari Kabupaten Landak ada Jery Fernando, Praveta Sahara, Angga Albari, Epa Selpia Falentina dan Nomi.
Kemudian ada Yufita Nefi Anggie Kabupaten Sambas, Yohanes Topan Kabupaten Sekadau, Julyan Ananda Kabupaten Ketapang, Ozi Christiandi Kota Pontianak, Duo Buday Kabupaten Melawi, Oktapianus Ande Kabupaten Ketapang, Markurius Krismantoro Kabupaten Sanggau, Sofia Bagassidi Kabupaten Mempawah, Fransiskus Kabupaten Bengkayang dan Dominikus Roni Sianturi Kabupaten Putussibau.
Keberanian Aan Baget untuk menghadirkan wajah-wajah muda dalam dunia sastra musik tradisional itu semakin menegaskan bahwa seni dan budaya Dayak bukan hanya milik mereka yang lebih tua, tetapi juga milik generasi masa depan.

Peluncuran yang Menggugah
Acara peluncuran mini album yang berlangsung semalam (Sabtu 15 Maret 2025) di Weng Coffee Pontianak tampaknya mengundang banyak perhatian.
Sejumlah penggemar, penggiat musik, serta orang muda, baik di Pontianak dan orang muda luar daerah datang berbondong-bondong untuk menikmati penampilan dari musisi yang telah lama berkecimpung dalam dunia musik Dayak itu.
Terlebih lagi, mereka juga mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan penampilan istri Aan Baget, Syentia, seorang artis Dayak yang juga turut menyemarakkan acara tersebut dengan lagu-lagu khas Dayak Kanayatn.
Melalui mini album Aan Baget menunjukkan dengan jelas bahwa lagu-lagu Dayak dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan esensi dari identitas budaya itu sendiri.
Lagu-lagu dalam mini album ini tidak hanya menggambarkan kehidupan sehari-hari orang Dayak, tetapi juga mengangkat tema-tema sosial dan budaya yang relevan untuk seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu lagu yang paling mencuri perhatian adalah “Nape Gajian”, “Bangok”, “Sorry Adi’a”, “Padi Poe’”, dan “Sunsakng Cagat” yang berbicara tentang ‘manisfestasi’ renungan masyarakat kehidupan sehari-hari dengan sentuhan humor terutama kedekatan lirik dengan keseharian pendengar.
Selain itu, lagu-lagu lainnya seperti “Bangok,” yang selama ini banyak menjadi kontroversi di dunia Media Sosial ‘Tiktok’. Aan Baget menilai bahwa lagu tersebut merupakan satir, humor yang tak terlepas di-keakraban persahabatan maupun dapat menjadi sindiran untuk konteks tertentu.
Energi yang Menyatu dengan Musik
Tak hanya Aan Baget yang memikat perhatian penonton, tetapi juga kehadiran Syentia, sang istri yang tidak kalah berbakat.
Dia, yang dikenal sebagai salah satu artis Dayak, turut meramaikan acara dengan penampilan vokal yang penuh penghayatan. Syentia membawakan beberapa lagu yang mampu membuat suasana semakin hangat dan emosional. Keberadaan dia bukan hanya sebagai pendamping Aan Baget, tetapi juga sebagai kolaborator dalam memajukan musik Dayak.
Dalam setiap penampilannya, berhasil menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam lirik-lirik lagu Dayak dengan cara yang menyentuh hati para penonton.
Syentia sendiri mengungkapkan bahwa keberadaannya dalam dunia musik Dayak bukan hanya sekadar untuk tampil, tetapi juga untuk memperkenalkan budaya Dayak kepada generasi muda, dan melalui acara ini, mereka ingin memberikan motivasi bahwa setiap orang bisa berkarya, tidak peduli dari latar belakang mana pun.
Dalam wawancara setelah acara, Syentia mengatakan musik adalah bahasa universal yang bisa menyatukan setiap pendengarnya. Dia ingin menunjukkan bahwa musik Dayak itu tidak hanya milik Kalimantan, tetapi bisa dinikmati di seluruh Indonesia bahkan internasional.
Dalam kehidupan sehari-hari juga Syentia menganggap bahwa sikap dan perilaku untuk terbuka dengan masyarakat menjadi nilai pokok dan yang paling utama. Karena baginya, artis akan disebut artis jika ada yang menghargai dan mendengarkan musik mereka.
“Tanpa masyarakat, kami bukanlah apa-apa. Kami disebut artis karena mereka yang mengenal kami sebagai penyanyi Dayak, oleh karena itu jika berhadapan dengan masyarat kami sangat membuka diri untuk saling menghargai sebagaimana mestinya berinteraksi seperti biasa pada masyarakat,” kata Syentia dalam wawancara (15/03/2025).
Membangkitkan Kesadaran Kultural
Salah satu hal yang menarik perhatian dalam acara itu betapa Aan Baget sangat berkomitmen untuk menggunakan musik sebagai alat untuk menyuarakan kritik sosial dan budaya. Melalui lirik-lirik yang penuh dengan satir dan sindiran, Aan Baget berusaha memberikan refleksi atas masalah-masalah yang ada dalam kehidupan masyarakat, baik itu tentang tradisi yang terlupakan, isu sosial, ataupun kesadaran lingkungan.
Lirik-lirik dalam mini album ini tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga mengajak para pendengar untuk merenung dan membuka mata terhadap isu-isu yang selama ini terabaikan.
Salah satu contoh yang cukup menarik adalah lagu “Bangok,” yang menyampaikan sindiran tajam terhadap fenomena sosial tertentu dengan cara yang halus namun penuh makna.
Bagi mereka yang tidak memahami konteks budaya Dayak, lagu ini bisa jadi terasa kontroversial, tetapi bagi masyarakat Dayak, ini adalah bentuk ekspresi yang sangat relevan dan sesuai dengan realita yang mereka hadapi.
Aan Baget sendiri mengungkapkan bahwa musik merupakan media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
“Melalui musik, saya ingin orang-orang tidak hanya menikmati irama, tetapi juga merenungkan pesan yang ada di dalam liriknya. Musik Dayak bukan hanya tentang irama dan suara, tetapi juga tentang identitas kita, budaya kita, dan pesan-pesan sosial yang ingin kita sampaikan,” kata Aan Baget (15/03/2025).
Dia juga mengatakan bahwa ini kali pertamanya dilakukan launching resmi se-tanah Borneo terlebih bagi mereka yang ‘menyandang’ status ‘artis’ Dayak. Dia berterima kasih Weng Coffie Pontianak menyediakan panggung untuk membuat acara launching mini albumnya dan tampaknya ini baru satu-satunya kegiatan yang dilakukan oleh pengiat musik sastra Dayak.
Menyatukan Generasi Muda
Dalam acara peluncuran mini album ini, terlihat jelas semangat untuk melestarikan budaya Dayak yang juga disampaikan kepada generasi muda. Di tengah dominasi musik modern yang seringkali meninggalkan nilai-nilai tradisional, Aan Baget bersama dengan manajemen Kakondan Studio berusaha untuk menjaga agar musik Dayak tetap hidup dan berkembang.
Salah satu bentuk dukungannya adalah dengan memberikan kesempatan kepada artis Dayak generasi muda untuk turut tampil dan menunjukkan bahwa mereka siap untuk meneruskan tongkat estafet seni budaya Dayak.
Selain itu, acara ini juga menunjukkan bahwa musik Dayak mampu menembus batas wilayah dan dikenal lebih luas. Kehadiran ratusan anak muda di Weng Coffee menunjukkan bahwa musik Dayak kini mulai mendapatkan tempat di hati generasi milenial dan generasi Z, yang sebelumnya mungkin tidak terlalu familiar dengan alunan sastra musik tradisional itu.
Aan Baget dan Syentia berharap, dengan acara ini, mereka bisa menginspirasi para musisi muda untuk terus berkarya dan memperkenalkan kekayaan budaya mereka kepada dunia.
Melestarikan Warisan Budaya Dayak
Di balik setiap alunan musik yang dimainkan oleh Aan Baget dan Syentia, ada semangat untuk melestarikan warisan budaya Dayak yang sudah ada sejak lama. Karya-karya yang mereka ciptakan adalah sebuah pengingat bahwa meskipun dunia telah berubah, tetapi budaya dan bahasa Dayak tetap memiliki tempat di dunia seni Indonesia.
“Mini album yang kami luncurkan bukan hanya sekadar karya seni, tetapi juga upaya untuk mengenalkan kekayaan tradisi ini kepada generasi mendatang, sekaligus mengingatkan bahwa berkarya jangan dengan cara merendahkan karya orang,” kata Aan Baget (15/03/2025).
Dia juga menggarisbawahi, terutama bagi artis-artis muda pengiat musik Dayak, agar tidak saling menjatuhkan. Sebab baginya, untuk naik tingkat tidak perlu ‘menjelek-kan’ pihak lain, tetapi fokuslah pada karya. Karena hanya dengan karya, kualitas sesorang dapat dihargai, bukan karena sentimen dan sebagainya.
Melalui kolaborasi itu, Aan Baget, Syentia, dan manajemen Kakondan Studio berharap dapat memperkenalkan dan menjaga keberagaman budaya sastra Kalimantan terlebih khusus Bahasa Dayak Kanayatn agar orang muda dari sub suku apapun, dapat menghargai dan melestarikan budaya mereka.
Untuk itu, Launching mini album yang dilakukan ini sekaligus mengangkat anak-anak muda calon artis dayak berbagai daerah, lebih khusus berbagai kabupaten yang ada di Kalimantan Barat bisa dikenal dan memiliki semangat sebagai musisi dan pelestari budaya.
Mereka percaya bahwa seni adalah alat yang sangat kuat untuk menyuarakan harapan-harapan akan masa depan yang lebih baik.
Acara peluncuran mini album Aan Baget di Weng Coffee Pontianak malam tadi (Sabtu, 15 Maret 2025) telah sukses mencatatkan dirinya sebagai salah satu peristiwa penting dalam perjalanan musik Dayak. Tidak hanya memperkenalkan karya terbaru, tetapi juga membuktikan bahwa budaya Dayak tetap relevan dan siap bersaing di dunia musik nasional dan internasional. (Sam_Pena).