Home OPINI Bekerja, Pensiun dan Pelayanan? Hati yang Membentuk Maknanya!

Bekerja, Pensiun dan Pelayanan? Hati yang Membentuk Maknanya!

0

Pontianak (PenaKatolik.com) – Selasa, 12 November 2024 saya bertemu Paulus Mashuri, S.Pd., M.Si. Beliau adalah Ketua Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Pontianak atau yang sering disebut dengan KOMSOS KAP yang sejak bulan lalu (Oktober 2024) pensiun dari pekerjaannya di KOMSOS KAP. Dia meniti karirnya sejak SMA, kuliah, hingga berkeluarga. Dan beliau masih tetap setia di KOMSOS KAP.

Pernah menjadi pelatih Sanggar Efata, menyiar dan memproduksi karya Radio Maria (waktu itu masih frekuensi AM), pernah menjadi Jurnalis di DUTA (sebuah majalah kategorial milik Keuskupan) yang masih eksis di online saat ini.

Beliau juga pernah menjadi Dosen Metodologi Penelitian di Universitas Widya Dharma Pontianak (yang dulu masih Sekolah Tinggi Widya Dharma), beliau juga sering memberikan pelatihan terkait kepenulisan (esai), jurnalistik, maupun dunia radio.

Dia juga pernah, menjadi guru sekaligus orang tua dari banyak anak-anak yang pernah menimba ilmu di KOMSOS KAP.

Tahun 2014 awalnya saya coba-coba menulis di Majalah DUTA, ternyata tulisan itu diterbitkan pada rubrik pemberitaan Majalah DUTA cetak. Mulai sejak itu saya ketagihan  perlahan menulis hingga memproduksi tulisan-tulisan sembari kuliah dan bekerja sebagai pembina Pramuka di SMP Agape.

Eh ternyata, beliau juga mengajar di Agape sebagai guru Bahasa Indonesia.

“Kamu Samuel yang menulis di DUTA itu ya?” tanya beliau pada saya yang tidak kenal sama sekali dengan beliau.

Saya jawab, “betul Pak, yang nulis itu saya dengan Bang Fransesco (kini frater Projo Ketapang).”

“Nah kebetulan, ini kita ada perayaan natal di Sekolah Agape dan besok ada kegiatan di Keuskupan. Ini kamera (Canon 1000D) bisa kamu pakai dan kamu bawa saja ya,” katanya, meskipun saya tidak tahu bahwa beliau sedang mencoba meng-oper job-nya.

Sejak itulah pertama kali saya mulai memegang kamera dengan penuh rasa haru dan bangga yang tak pernah saya sangka, ternyata saya mulai memegang kamera. Yah, walaupun asal jepret.

Tapi senangnya tak ketulungan, sepanjang malam belajar ‘jepret’ yang penting asal ter-jepret dan gambar tidak blur, menurut saya sudah sip.

Kamera Canon 1000D (2017)

Mulai ikut Sang Pekerja

Waktu itu, tidak tahu persis hari apa. Saya tiba-tiba diajak beliau untuk ikut ke Singkawang (lupa acara apa) momen itu masih hangat dalam ingatan.

“Sam, besok kamu bisa ikut saya? Kita liputan. Temani saya saja,” katanya.

Saya pikir hanya ikut-ikut saja, tau-tau diminta menjadi ‘kaki-tangan’nya dalam ‘akrobat’ di tengah keramaian manusia yang tak saya kenal sama sekali.

Beliau hanya berikan kisi-kisi dan trik sepanjang jalan bagaimana meliput dan wawancara.

Dia juga mengajarkan untuk membuat pertanyaan yang tak biasa dari wartawan lain. Ada juga ia mengajarkan tentang ber-kamuflase alias menyembunyikan atau menyamarkan diri dari yang lain dalam liputan.

Menghibur hati yang masih beku dalam memulai perjalanan, sobek-an kardus-pun menjadi alas dada.

“Ini cara orang pintar tetap bisa bekerja saat badai,” katanya sambil memasukan potongan kardus indomie itu di baju depannya.

Meskipun kening saya agak mengkerut, tapi sebagai pemula saya tetap ikuti apa kata  ‘the master’ saja deh.

Mulai perjalanan subuh yang masih gelap gulita dimana jalan hanya di sinari lampu, sampai matahari terbit ocehan kami tak terasa menghabiskan banyak cerita. Dari cerita mantannya, cara liputan, mencari sorotan berita yang unik, menulis deep news sampai trik jitu nembak wanita (kebetulan saat itu saya masih PDKT dengan Istri).

Semuanya ampuh dan joss. Saya perlahan diajarkannya menulis dengan mendalam. Namun semua jurus yang beliau ajarkan, satu hal yang benar-benar saya pahami mengapa begitu kecanduan untuk menulis. Tak lain dan tak bukan ilmu yang beliau ajarkan adalah melakukannya dengan ‘hati’.

Saya masih ingat dia pernah bercerita tentang pesan seorang Pastor Belanda pada saat beliau masih muda. Dia mengisahkan itu kembali persis waktu kami singgah di Warkop favorit Sungai Pinyuh.

“Sam, ada pesan Pastor Belanda yang pernah di KOMSOSKAP dan masih saya ingat sampai saat ini. Tau apa?” tanyanya saat saya sedang menyeruput kopi.

Begini, “Paulus, orang yang bekerja di KOMSOS, mereka dituntut untuk bisa melakukan semuanya. Mulai dari bersih-bersih, liputan, menulis, angkut-angkut barang, melakukan hal teknis, siaran, mengajar, mendengar, bahkan ada saatnya mereka seolah-olah tidak pernah dipandang. Tetapi saat dibutuhkan mereka selalu siap. Orang bekerja di KOMSOS haruslah mereka yang memiliki ‘hati’. Hanya kekuatan hati yang bisa melampaui semua keterbatasan bahkan keterbatasan kita saat sulit menerima perkara,” kata Pak Paulus, sejenak hal tersebut tercatat diingatan tanpa perlu saya mengeluarkan pena dan kertas ditangan.

Hal di atas merupakan secuplik singkat yang bisa saya ‘bagikan’ dari pesan beliau saat pertama saya belajar banyak tentang dunia ‘kewartawanan’.

Dari berangkat gelap hingga gelap sudah menjadi makanan kami berdua, sepanjang proses belajar dengan ‘kebermainan’ dalam peristiwa seolah mengajar dan membuka mata saya untuk melihat lebih banyak yang tak ter-sadari.

Pembersihan Gedung KOMSOS (2018)

Terima Kasih Bos

Rasanya dari ‘ingusan’ sampai ‘ingus’ menjadi karya, akhirnya saya menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Widya Dharma Pontianak.

Jujur, saat masuk kuliah saya mesti berpikir keras untuk bekerja sambil kuliah. Tetapi berkat menulis dan konsisten di Majalah DUTA, akhirnya beliau (Pak Paulus) dengan Ce Surianti waktu itu mengusahakan saya bayar SPP setiap semester sampai selesai kuliah.

Saya menggarisbawahi poin ini untuk saya ingat sampai seumur hidup. Saya pernah mengalami masa ‘ketidak-tauan’ dan di dalam itu saya menemukan ‘keterkejutan’ berkat yang boleh saya lalui hingga hari ini.

Di samping menulis saya juga bekerja di tempat lain, pernah di gudang Apotik Tanjung Raya hingga jadi sales, mengajar dan membina Pramuka di SMP Agape Siantan, menjadi penjaga Perpustakaan Widya Dharma, bekerja sebagai orang kebersihan dan penjaga di gedung Pusat Pastoral (PUSPAS), mengajar Sape’, dan membuka kedai kopi bersama orang tua asuh saya Roemah Tjawan Serdam, sebenarnya masih banyak lagi.

Setiap perpindahan kerja ini, tidak terlepas dari kebersamaan saya dengan si bos (Pak Paulus), mengajak melalang buana kemana-mana. Meskipun motor pernah mogok (tampaknya sudah dijual, ‘miris’), tapi gass terus.

Terima kasih Pak Paulus, salam hormat dari saya. Terima kasih sudah menjadi teman di motor, kamera, kertas, catatan, dan akhir-akhir ini menjadi saudara penghibur membawa sound setiap kali kita berpergian, meskipun saat anda bicara di atas motor dahulu mengundang hujan air ludah membasahi wajah, tapi tak masalah.

Basahnya wajah tak sebanding dengan ilmu yang saya peroleh. Thanks bos.

Eits, ini bukan berarti Pak Paulus sudah selesai lho, meskipun pensiun, bukannya mesti menuntaskan semangat pelayanan, sebagaimana yang Pak Paulus mau abdikan bersamaan dengan karya Bapa Uskup Agustinus dan Romo Andre yang telah banyak membantu kita?!

Tenang, saya akan lanjutkan semangat ‘hati’ itu (meskipun mesti berjuang, hee). Tapi jangan buru-buru mau pensiun ye… Happy sekali sepertinya.. Hemm….

Salam…. Boss…. Masih banyak arsip foto-foto lama dengan saya, hehe. 

By. Samuel – Anak didik dari Kampung.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version