JAKARTA, Pena Katolik – Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memperingati hari lahirnya yang ke-100. Pada momen ini, para uskup seluruh Indonesia menandainya dengan peresmian Gedung Baru KWI di Jl. Cut Mutia, Jakarta Pusat, 15 Mei 2024.
Peresmian ini ditandai dengan pembukaan tirai prasasti Nunsius Apostolik Indonesia, Mgr. Piero Pioppo, dan pemberkatan prasasti oleh Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, SJ. Tidak ada tanda tangan di atas prasasti dalam peresmian gedung baru ini, sebagai gantinya, pada prasasti itu tertulis semua nama prelatus (uskup) dan administrator diosesan yang pada momen peringatan ini masih hidup.
Sementara itu, Misa Puncak peringatan 100 tahun KWI dipimpin Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo. Ia didampingi 14 uskup dari seluruh Indonesia dan Mgr. Pioppo.
Dalam renungan yang disampaikan Ketua KWI, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin OSC aspek kolegialitas para uskup ditekankan. Ia menyampaikan, meski ada 37 uskup bertemu, namun selalu ada satu pesan yang disampaikan.
“Hal itu terjadi karena ada kolegialitas di antara para uskup. Sekalipun mempunyai pendapat dan pandangan berbeda-beda, namun semiliki semangat yang sama. Kolegialitas merupakan persekutuan dalam kebersamaa, dan kebersamaan dalam persaudaraan semartabat,” ujar Mgr. Anton.
Sinergitas para uskup adalah relasi saling memperkaya dan memberdayakan satu sama lain. Kebersamaan ini, lanjut Mgr. Anton, akan menjadi kekuatan yang lebih besar dalam gerakan moral, sosial, kultural, dan spiritual. Mgr. Bunjamin juga menggarisbawahi pentingnya sinodalitas, seraya mengutip pernyataan Paus Fransiskus, yang mengatakan bahwa hakikat Gereja adalah berjalan bersama.
“Sinodalitas ini mutlak untuk membangkitkan semangat misioner umat Allah dan komitmen ekumenis menuju kesatuan murid-murid Kristus.’ Sinodalitas membuka ruang bagi terwujudnya kesatuan dalam keberagaman, juga keberagaman kami,” ujarnya.
Sejarah Awal
Para uskup di Bumi Nusantara pertama kali mengadakan siding pada tanggal 15-16 Mei 1924 di Jakarta. Inilah yang disebut sebagai awal berdirinya Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI). Kisah ini tercantum di antaranya dalam Dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia, jilid 3b, yang diterbitkan oleh Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Waligereja Indonesia yang terbit tahun 1974.
Sebelum pertemuan para uskup ini, tahun 1913 lahirlah Nadere Regeling yang berisi pengakuan oleh Pemerintah Belanda terhadap semua Vikaris Apostolik dan semua Prefek Apostolik di Nusantara, pada saat itu sebagai negara Indonesia belum terbentuk. Pemerintah Belanda mengakui para uskup sebagai pemimpin jemaat Katolik di dalam wilayah Vikariat dan Prefektur masing-masing.
Sebelumnya, terjadi perundingan antara Internunsius dengan Menteri Urusan Koloni Pemerintah Belanda yang dilakukan di Den Haag. Setelah keluar pengakuan itu, semua Vikaris dan Prefek Apostolik merasa perlu untuk memiliki forum dialog bersama. Pertemuan ini untuk mencapai kesatuan sikap terhadap pemerintah dalam banyak persoalan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, saat penahbisan Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia pada tanggal 13 Mei 1924, para waligereja di Nusantara berkumpul di Jakarta. Pada kesempatan inilah, mereka mengadakan sidang pertama yang diselenggarakan tanggal 15-16 Mei 1924 di Pastoran Katedral Batavia.
Sidang pertama yang diketuai Mgr. van Velsen itulah menjadi cikal bakal tanggal dan sampai saat ini menjadi patokan waktu berdirinya MAWI yang saat ini dikenal sebagai Konferensi Waligereja Indonesia.
Pembangunan Gedung KWI
Mgr. Anton menyebut bahwa Gedung KWI yang baru ini akan lebih tepat disebut sebagai Balai KWI. Sebutan ini mengandaikan bahwa tempat ini sebagai rumah karya. Dari bangunan ini, para uskup merencanakan dan mewujudkan karya dalam membangun Gereja dan bangsa.
Gedung KWI ini dibangun di atas tanah gedung lama. Peletakan batu pertama dilakukan pada 2018. Saat itu, seorang pengusaha, Henry Soetio menawarkan dukungan untuk pembangunan ini. Dua tahun setelah berjalan pembangunan, Henry Soetio meninggal dunia. Pembangunan terus berlanjut dengan beraneka tantangan dan hambatan. Nama Henry Soetio kemudian diabadikan untuk nama aula di Gedung KWI ini.
Melanie Tjendara, istri dari mendiang Henry Soetio, menyampaikan terima kasih kepada semua pihak. Ia bersyukur karana setelah kepergian Henry, kerja keras suaminay ini ada yang meneruskan.
“Awal pertama kali suami saya membantu. Ia tergerak hatinya untuk berkontribusi terutama untuk Gereja, karena almarhum sungguh seorang yang sangat religius. Ia sangat bersyukur atas segala berkat yang telah almarhum terima,” kenangnya.
Sementara itu, Mgr. Pioppo menyampaikan syukur atas rumah yang baru untuk para uskup di Indonesia. Selanjutnya, ia mendorong para uskup untuk bekerja dengan baik. Pertama, ia mendorong para uskup untuk mengasihi gedung yang bagus ini. Mengakhiri sambutannya, ia meminta para uskup untuk membuat doa singkat menyambut kedatangan Paus Fransiskus mendatang. (AES)