26.5 C
Jakarta
Saturday, May 4, 2024

Dari Dibakar Bukunya, Hingga kesukaannya naik Gunung, sudah 20 kali Mendaki Gunung Gede dan 13 Kali Gunung Merapi

BERITA LAIN

More
    Romo Frans Magnis Suseno SJ di atas Vespa yang setiap hari menemaninya saat pergi dan pulang mengajar di STF Driyarkara. Dok HIDUP

    JAKARTA, Pena Katolik – Salah satu yang dikenal dari Romo Frans Magnis Suseno SJ adalah beberapa bukunya yang terkesan “kiri”. Tak jarang, banyak yang salah sangka kepada pemikiran-pemikirannya. Sering ia dikira sebagai seorang komunis, karena pemikirannya. Padahal, sebagai seorang Yesuit dan imam Gereja Katolik, sudah tentu ia anti komunis. Atas kiprahnya dalam pendalaman komunisme, ia pernah berujar, “Saya ini Yesuit. Yesuit punya motto ‘Harus tahu bagaimana lawan berpikir’. Komunisme kami anggap lawan dan paling serius juga lawan Gereja Katolik. Saya sangat anti komunis dan karena itu kami atau saya mempelajarinya,” jelasnya.

    Tahun 2001, sebuah aksi aliansi anti-komunis membakar bukunya tentang Karl Marx. Saat itu, Romo Magnis menilai lucu apa yang diperbuat aksi itu. Mereka tidak tahu, bahwa yang mereka bakar sebenarnya berisi tentang kritik pada ajaran Karl Marx. Namun, Romo Magnis merasa menikmati aksi aliansi komunis yang membakar bukunya itu.

    “Saya anggap lucu bahwa mereka membakar buku yang sebetulnya mengeritik Marx. Jadi ini peristiwa paling lucu. Mereka tidak bisa membedakan antara orang kiri dan orang yang menulis tentang kiri,” ujar Romo Magnis.

    Sudah sejak masa pendidikannya, Romo Magnis mendalami komunisme untuk mengetahui dan menemukan alasan mengapa Komunisme harus dilawan. Satu kali, pimpinan aliansi itu pernah datang ke kantor Romo Magnis. Di situ, Romo Magnis berbicara dengan mereka.

    “Saya memberikan mereka masing-masing satu eksemplar buku dengan tandatangan saya sambil berpesan, ‘buku ini bisa dipakai untuk bungkus nasi, atau untuk api-api atau bisa juga untuk dibaca. Mereka bilang, kami akan baca. Saya lalu bilang syukur alhamdulillah. Tapi kalau mau bakar juga boleh,” kata Romo Magnis.

    Tentu, bagi Romo Magnis membakar buku tidak berarti “membakar” isi buku itu. Pemikiran yang ia tuangkan dalam buku tetap menjadi satu catatan kritis untuk gerakan komunime dan ajaran-ajarannya.

    Nilai Tinggi Presiden Habibie

    Meski Romo Magnis mengalami enam presiden Indonesia, namun tidak semua presiden pernah ia jumpai secara langsung.

    “Yang sangat pasti, saya tidak pernah bertemu langsung dengan Bung Karno. Tapi saya banyak mendengar tentang beliau,” akunya.

    Romo Magnis paling banyak berjumpa dengan Gus Dur. Dengan B.J. Habibie ia mengaku pernah berkenalan namun tidak pernah bertemu saat mantan Menristek zaman Orba itu menjadi Presiden. “Namun saya punya penilaian tinggi terhadap Pak Habibie,” aku Romo Magnis.

    Di mata Romo Magnis, sebagai presiden, B.J. Habibie memiliki beberapa jasa yang luar biasa. Yang pertama, meskipun dianggap tokoh khas Orba, dalam waktu singkat Habibie membuka kran demokrasi. Ia juga yang membebaskan para tahan politik. Hanya selang waktu satu minggu kekuasaannya ia telah membebaskan para tahanan politik. Sensor pers dibubarkan dan membuka kesempatan berdirinya partai politik yang baru.

    “Saya pernah tanya kepada Pak Habibie, kenapa bisa begitu? Dia bilang, saya harus cepat-cepat. Kalau tidak, perlawanan akan terlalu besar”. Dia begitu cepat sehingga militer tidak bisa menghentikannya.

    Kedua, kesediaan untuk memberikan kemerdekaan kepada Timor Timur. Romo Magnis nilai sebagai sikap legowo.

    “Klaim bahwa kita berhak atas Timor-Timur adalah salah satu kebohongan Orba,” jelasnya.

    Ketiga, Habibie turun tahta in style, artinya ia memberi contoh bagaimana seorang penguasa berhenti apabila waktunya sudah datang. Dia tidak mengerutu.

    “Hal ini yang paling saya hargai,” tegas Romo Magnis.

    Keempat, meski dia ketua ICMI dan dalam kabinet Habibie banyak orang ICMI, namun kebijakan politiknya tidak anti minoritas atau anti kristiani. “Dan sebetulnya di bawah Habibie ketegangan antara ICMI dan minoritas berkurang. Ini karena Habibie terbuka.

    Lanjutnya, memang banyak serangan kepada Habibie karena dianggap masih Orba dan mau disapu bersih tapi sebetulnya dia membawa diri secara excellent. Dia punya karakter. Dia orang berkuasa di bawah Pak Harto tapi tidak haus kuasa. Dia presiden ketiga republik ini yang bagus,” aku penulis  lebih dari 40 buah buku dan 700-an artikel yang tersebar di berbagai media baik di dalam maupun luar negeri.

    Buku-buku Romo Magnis antara lain adalah Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kuasa dan Moral, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, 13 Model Pendekatan Etika, Mencari Makna Kebangsaan, Filsafat Kebudayaan Politik, Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka.

    Ketika diajak berbicara tentang pengalaman uniknya sebagai seorang bule di Indonesia, Romo Magnis bercerita bahwa masih ada orang bertanya, “How long you have been in Indonesia atau can you speak Indonesian?” padanya. Biasanya orang lain yang sudah mengenalnya langsung tertawa lebih dahulu dengan suara keras sambil mengatakan, “Ini orang lebih lama di Indonesia dari saya,” ungkap pria yang pada bulan Mei nanti genap berusia 87 tahun ini sambil tertawa menirukan.

    Naik Gunung

    Salah satu hobi Romo Magnis adalah naik gunung.  Sudah lebih dari 150 kali ia mendaki gunung di Indonesia. Gunung Gede misalnya dia daki sebanyak 20 kali, Merapi 13 kali. Dia bahkan mengaku bisa menjadi penunjuk jalan di Merapi. Dia juga menyebut sejumlah nama gunung yang sama sekali belum familiar di masyarakat, seperti gunung Cikorai di Jawa barat.

    Dalam urusan mendaki gunung, Pastor kelahiran 26 Mei 1936 ini memiliki beberapa cerita lucu. Pada pertengahan 1990 ia mendaki gunung Gede seorang diri pada malam hari. Malam itu gelap gulita.

    Dari kejauhan Romo Magnis melihat ada sinar senter. Artinya, ada juga orang lain yang mendaki. Dia lalu berjalan menuju senter tersebut.

    “Begitu mendekat, mereka memanggil siapa? Siapa? Saya diam saja. Karena kalau saya bicara, saya kehabisan tenaga. Napas saya pendek soalnya. Saya hanya berjalan mendekati mereka. Melihat saya yang tinggi besar di tengah kegelapan, ada yang berteriak histeris ketakutan. Mungkin mereka pikir hantu atau gendruwo,” ujarnya sambil tertawa lepas. (Eman Dapa Loka)

    *Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tulisan berjudul “Romo Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, Podium Mahkamah Konstitusi dan Enam Puluh Tiga Tahun Mengindonesia” yang sebelumnya terbit di www.tempusdei.id. Tulisan ini diterbitkan ulang dengan izin dari www.tempusdei.id dengan sedikit penambahan.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI