Ende, pada awalnya bukanlah tempat yang ramah bagi Soekarno. Kota ini tak seperti di Bandung yang keindahannya sering diagungkan Soekarno. Namun, di kota ini, Soekarno diasingkan pada tanggal 28 Desember 1933 oleh Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, De Jonge. Soekarno diasingkan atau dibuang ke Ende karena kegiatan politiknya membahayakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Soekarno dan keluarganya bertolak dari Surabaya menuju Flores dengan kapal barang KM van Riebeeck. Setelah berlayar selama delapan hari, ia tiba di Pelabuhan Ende dan langsung melaporkan kedatangannya ke kantor polisi. Mereka lalu dibawa ke rumah pengasingan yang terletak di Kampung Ambugaga, Kelurahan Kotaraja. Di rumah pengasingan inilah Ir. Soekarno beserta istrinya, Inggit Garnasih; mertuanya, Amsi; dan kedua anak angkatnya, Ratna Juami dan Kartika menghabiskan waktu mereka selama empat tahun berikutnya.
Ada sebuah pohon sukun di depan kediamannya di Ende. Di bawah pohon ini, antara tahun 1934-1938 Soekarno sering menghabiskan waktu merenung di bawahnya. Di sinilah, ia menggali pemikiran tentang dasar Negara Indonesia, yang kemudian dirumuskan oleh Panitia Sembilan menjadi Pancasila pada tahun 1945.
“Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan di mana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya berbingkah-bingkah batu,” tulis Soekarno dalam buku hariannya.
Sebagai pejuang, kondisi di Ende nyatanya sempat membuat Soekarno ciut. Ia nyaris putus asa. Untunglah, Inggit Garnasih, istrinya, juga mertuanya, selalu menyemangati. Inggit bahkan berinisiatif merekrut seorang remaja setempat bernama Riwu Ga untuk menemani Sukarno jalan ke mana saja. Lamat-lamat Sukarno pun mulai akrab dengan warga setempat.
Tokoh Katolik
Tak jauh dari kediaman Soekarno di Ende. Berdiri sebuah biara milik Kongregasi Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD. Rumah itu dikenal dengan nama Biara St. Yosef. Siapa sangka, di tengah keterasingan dari dunia pergerakan, Biara St. Yosef menjadi sangat berarti bagi Sukarno. Di perpustakaan biara ini, Sukarno banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku.
Soekarno mengingat kunjungan perdananya di Biara St. Yosef. Ia berjumpa dengan seorang imam, Pater Gerardus Huijtink SVD dan meminta untuk diizinkan membaca buku-buku di perpustakaan itu. Nyatanya, perpustakaan itu menjadi “jendela” selama masa pengasingan Soekarno.
“Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” begitu sambutan seorang biarawan ketika Sukarno baru pertama kali datang.
Sejak kunjungan itu, Soekarno bersahabat dengan Pater Huijtink. Dalam perjumpaan pertama itu, Pater Huijtink bertanya kepada Soekarno, tentang perjuangannya.
“Saya selalu mengikuti perjuangan Anda selama di Jawa. Sebagai Pelayan Tuhan, saya menyetujui apa yang Anda lakukan. Tuhan tidak merestui eksploitasi terhadap negara dan manusia. Dan apa arti kemerdekaan bagi Anda?” tanya Pater Huijtink.
Tentu, Soekarno merasa heran. Ada seorang Belanda, imam Katolik, yang peduli pada perjuangannya. Ia tidak melihat orang di hadapannya itu sebagai “orang lain”. Ia menganggap Pater Huijtink sebagai salah satu pendukung perjuangannya.
“Bapa yang baik. Kemerdekaan adalah dasar teramat penting bagi negara di mana pun. Bangsa kami telah mengalami banyak penderitaan dan kesedihan. Bangsa Belanda tidak sadar jika penderitaan membuat manusia semakin kuat. Dari tempaan kesengsaraan tersebut, maka kemerdekaan akan dicapai melalui persatuan rakyat Indonesia menjadi satu negara,” kata Soekarno kepada Pater Huijtink.
Sejak pertemuan itu, Sukarno bersahabat dekat dengan Pater Huijtink, juga dengan orang-orang Katolik di Ende. Di Biara St. Yosef ini, para imam SVD memfasilitasi tempat latihan dan panggung pementasan teater garapan Sukarno. Tercatat ada 12 naskah karya Sukarno di Kelimoetoe Toneel Club, sebuah grup teater beranggotakan masyarakat setempat. Salah satu naskahnya yang misterius berjudul Indonesia 45.
Rahim Pancasila
Dari perpustakaan di Biara St. Yosef dan waktunya saat merenung di bawah sukun di depan rumahnya, Soekarno mulai merajut ide tentang Pancasila. Selanjutnya, ide kebangsaan Soekarno tentang “Bhineka Tunggal Ika” akhirnya memang diterima dunia. Ia menggali kembali nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang sudah ada sejak jaman dulu kala. Hasil kontemplasi itu kemudian dibacakan dalam pidato monumentalnya di depan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Pidato itu dikenal sebagai pidato lahirnya Pancasila.
Suatu kali, Soekarno pergi ke Danau Kalimutu bersama Pater Huijtink. Soekarno apakah Pater Huijtink sering pergi ke danau itu. Sambil menjelaskan bahwa, ia sering ke danau itu, Pater Huijtink meminta Soekarno berjalan di sebelah kanannya.
“Presiden Indonesia sebaiknya berjalan di sebelah kanan saya,” ujar Pater Huijtink.
Soekarno seketika heran setelah apa yang ia dengar. Imam itu memanggilnya dengan sebutan presiden. “Bagaimana bisa, Bapa?” Soekarno tertawa ringan. Mendengar jawaban dari Soekarno, Pater Huijtink mengatakan, bahwa ini intuisinya. “Saya tidak merasa pasti. Tapi sebut saja intuisi. Tuan Sukarno. Jika suatu saat Tuan kembali lagi ke Ende, Tuan akan datang sebagai presiden Indonesia.”
Setelah Indonesia merdeka, Vatikan menjadi salah satu negara paling awal yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Dari Negara Vatikan, Sukarno tercatat menerima tiga medali kehormatan tertinggi dari Vatikan. Medali pertama diterima pada 13 Agustus 1956 dari Paus Pius XII. Yang kedua dari Paus Yohanes XXIII, pada 14 Mei 1959. Ketiga kalinya, pada 12 Oktober 1964, Paus Paulus VI yang menyelamatkannya. Pada kunjungan terakhirnya ke Vatikan Sukarno bahkan dibuatkan perangko khusus dan dihadiahi lukisan mosaik Castel san Angelo Vatikan.
Ketika sudah menjadi Presiden dan berkunjung di Ende, Soekarno bertemu lagi dengan Pater Huijtink. Ia bertanya kepada Pater Huijtink apa yang ia inginkan dari seorang Presiden Republik Indonesia.
“Dulu, aku datang ke Ende sebagai tahanan dan orang buangan dan Pater Huijtink banyak sekali membantuku. Sekarang, aku kembali ke Ende sebagai presiden. Apa yang Pater Huijtink minta dari presiden?” kata Sukarno.
Huijtink menjawab cepat, “Tuan Presiden, saya tidak meminta apa pun yang lain. Saya hanya punya satu keinginan: menjadi warga negara Indonesia.”
Sukarno spontan menanggapi permintaan Huijtink, sejak saat ini Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk memberikan kewarganegaraan kepada Pater Huijtink.
Antonius E. Sugiyanto