Pena Katolik – Di banyak tempat di Indonesia, ada beberapa tempat dan jalan yang diberi nama Adi Adisoetjipto. Bandara di Yogyakarta misalnya, diberi nama dengan nama pahlawan ini.
Nama lengkapnya adalah Agustinus Adi Adisoetjipto. Nama depannya menjadi penanda bahwa ia adalah seorang Katolik. Berkat keberanianya yang heroik, ia dikenal hingga kini sebagai patron TNI Angkatan Udara.
Adisutjipto sendiri adalah satu diantara beberapa Pahlawan Nasional yang beragama Katolik. Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 3 Juli 1916, Adisutjipto yang akrab dipanggil Cip. Ia menyandang gelar terakhir Marsekal Muda (Anumerta). Ketika berusia 31, pada saat Agresi Militer Belanda I, Adisujipto dan Abdulrahman Saleh diperintahkan terbang ke India menggunakan pesawat Dakota VT-CLA.
Cip berhasil menerobos blokade udara Belanda dan langsung bertolak ke India dan Pakistan. Sebelum pulang ke Indonesia, mereka singgah di Singapura untuk mengangkut bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya.
Sementara itu, di Lanud Maguwo, Kepala Staf S. Suryadarma telah menunggu kedatangan pesawat ini. Ia sudah memerintahkan agar pesawat tidak perlu berputar-putar sebelum mendarat. Ini untuk menghindari kemungkinan serangan udara dan juga dikarenakan ada dua tokoh penting AURI di sana, yakni Cip dan Abdulrachman Saleh.
Namun, saat telah mendekati Lanud Maguwo pesawat ini tetap berputar untuk bersiap mendarat. Tak disangka, tiba-tiba dari arah utara, muncul dua pesawat Kittyhawk milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens.
Pesawat ini langsung memberondong pesawat yang dikemudikan Cip. Pesawat pun hilang kendali dan pesawat jatuh di perbatasan Desa Ngoto dan Wojo. Enam orang di pesawat meninggal dunia, termasuk Cip, sang pilot pemberani. Dalam peristiwa itu, hanya A. Gani Handonocokro yang berhasil selamat.
Pendidikan
Cip mengenyam pendidikan di Geneeskundige Hoge School (GHS), ‘Sekolah Tinggi Kedokteran’. Ia juga lulusan Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati, Subang. Pada tanggal 15 November 1945, Adisoetjipto mendirikan Sekolah Penerbang di Yogyakarta, tepatnya di Lapangan Udara Maguwo.
Ia dimakamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, dan kemudian pada tanggal 14 Juli 2000, dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI AU di Ngoto, Bangunharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Untuk menghormati jasa dan keberaniannya, Lapangan Udara Maguwo kemudian diganti namanya menjadi Bandara Adisutjipto.
Cip yang belakangan oleh rekan-rekannya dipanggil Pak Adi merupakan putra pertama dari lima bersaudara buah perkawinan Roewidodarmo dan Latifatun. Adisutjipto, kelahiran Salatiga sebuah kota yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Semarang. Di masa kecilnya, ia sangat gemar bermain sepakbola, naik gunung, tenis dan catur.
Intelektualitasnya terasah lewat hobinya membaca buku-buku kemiliteran dan filsafat. Pribadinya dikenal pendiam, namun sangat reaktif bila harga dirinya terinjak. Ketika Jepang mendarat Maret 1942, peta penerbangan Hindia Belanda berubah. Adisutjipto yang ketika PD II pecah ditempatkan di skadron intai di Jawa tidak pernah lagi terbang. Semua yang berbau Belanda dimusnahkan. Untuk mengisi kekosongan, Cip bekerja di perusahaan angkutan bus milik Jepang.
Sejak pekik kemerdekaan berkumandang 17 Agustus 1945, satu demi satu muncul berbagai tuntutan. Termasuk penerbangan militer. Suryadarma bertindak cepat. Para eks penerbang AU Hindia Belanda, seperti Adisutjipto, dipanggilnya. Berbagai langkah konsolidasi, mulai dari mengumpulkan ratusan pesawat sampai mengupayakan perbaikan pesawat-pesawat peninggalan Jepang, diambil.
Adisutjipto berhasil menerbangkan pesawat Nishikoren dari Cibereum ke Maguwo, 10 Oktober 1945. Peristiwa ini tercatat sebagai penerbangan pertama di wilayah RI merdeka oleh awak Indonesia. Tujuhbelas hari kemudian, kembali Adisutjipto membakar semangat perjuangan dengan menerbangkan pesawat Cureng bertanda merah putih. Peristiwa ini mengukir lagi catatan sejarah, sebagai penerbangan berbendera merah putih pertama di tanah air.
Antonius E. Sugiyanto