31.9 C
Jakarta
Tuesday, April 30, 2024

Buku Baru Romo Magnis: Iman di Hadapan Tantangan Sekularisasi

BERITA LAIN

More
    Romo Frans Magnis Suseno pada saat penerbitan buku terbarunya. IST

    JAKARTA, Pena Katolik – Iman masih relevan di masa sekarang. Namun, Agama bisa miliki masalah besar, karena agama adalah kumpulan orang yang sama imannya, dan di situ muncul selalu masalah.  Kalau ada kekuasaan, di dalam agama akan muncul penyalahgynana kekuasaan, muncul legitimasi. Demikian diungkapkan Romo Frans Magnis Suseno SJ saat memberi komentar pada seminar dan peluncuran buku Iman dalam Tantangan, Apa Kita Masih Dapat Percaya pada “Yang di Seberang”? yang ia tulis.

    “Agama hanya akan punya masa depan, kalau terus transparan pada apa mereka imani, yaitu pada Tuhan.

    Romo Magnis menceritakan relasinya dengan beberapa orang ateis di Jerman. Ia menyampaikan dalam ajaran Gereja pasca Konsili Vatikan II, ketika seseorang, bahkan kalau ia ateis, namun mengikuti hati nuraninya, ia tidak akan ditolak Tuhan.

    “Orang yang tidak dibaptis dan tidak pecaya pada Tuhan namun hidup mengikuti suara hati, bukan orang yang lebih buruk dibanding orang yang percaya kepada Tuhan.

    Diskusi ini diselenggarakan kerja sama Penerbit Buku Kompas (PBK) bersama Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) pada hari Jum’at 27 Oktober 2023 di Gedung Kompas Institute, Jakarta. Hadir pula dalam kesempatan itu kelima pembicara, antara lain Romo Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP), Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera (Tokoh Buddhis), Dr. Phil. Fitzerald Kennedy Sitorus (Pengajar Filsafat), Feby Indirani (Penulis), dan Maria Margaretha Hartiningsih (Wartawan Senior Harian Kompas).

    Romo Benny Susetyo yang didaulat menjadi pembicara pertama menarik relevansi buku pada pengamalan Pancasila. Menurutnya, kelima tantangan amat serius abad ke-21 yang diangkat dalam buku menuntut kita memikirkan bagaimana Pancasila bisa menjadi acuan jawaban. Selanjutnya ia menganjurkan para elit politik membaca buku yang menurutnya sangat reflektif dan membuka hati orang tersebut.

    “Selain teman-teman disini, para elit politik harusnya membaca buku ini, supaya mereka memiliki hati yang terbuka agar Pancasila benar bisa dan mampu membangun peradaban. Elit politik dapat kemudian mendorong bahwa Pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tetapi menjadi nafas dan tata cara kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia,” tandas Benny.

    Sementara F. K. Sitorus untuk menyampaikan tanggapan filosofis atas isi buku. Tanpa basa-basi, alumni STF Driyarkara dan murid Romo Magnis ini membentangkan tiga tanggapan kritis serius terhadap isi buku. Sitorus menegaskan bahwa penulis dalam membela hipotesis Tuhan di hadapan sekularisme masih menempuh strategi Kantian bahwa pengetahuan itu terbatas dan perkara Tuhan berada di luar ranah ilmu (teori evolusi dan astrofisika tidak mengatakan apa-apa tentang Tuhan/perkara ketuhanan masih terbuka).

    Menurut Sitorus, argumen penulis bahwa proses-proses astrofisis, evolusi biologis, dan sebagainya yang diklaim penulis tidak menjelaskan seluruh pertanyaan tentang alam semesta yang amat improbabel ini dan bahwa masuknya yang Ilahi dalam kerangka pemahaman kita akan membuat segalanya menjadi mudah dimengerti, belum memuaskan.

    Sitorus mempertanyakan campur tangan atau intervensi Yang Ilahi yang dimaksud penulis. Apakah campur tangan atau intervensi yang dimaksud membatalkan hukum alam atau justru terlaksana melalui hukum alam. Dan, jika melalui hukum alam, apa alasan mengatakan itu intervensi Ilahi? Menurut Sitorus, penulis dalam buku tersebut tidak menjelaskan pertanyaan ini dengan sangat meyakinkan.

    Sitorus membidik tesis bahwa agama akan survive jika tampil positif bagi semua orang. Sitorus tidak yakin bahwa hal itu saja mampu mendorong orang untuk beragama sehingga agama itu sendiri survive.

    Pembicara ketiga, Maria Margaretha Hartiningsih mengajak peserta diskusi membawa isi buku pada pengalaman hidup nyata yang personal. Ia berkisah perihal bagaimana iman itu ia hayati secara pribadi, sebagai sesuatu yang menurutnya sangat subtil, tidak selalu mudah dijelaskan, dan tidak terwakilkan.

    Bhikkhu Dhammasubho Mahāthera. Bhikkhu Dhammasubho membacakan puisi untuk Romo Franz Magnis-Suseno. Ia juga mengapresiasi Magnis sebagai guru yang sederhana, tidak menyulitkan orang lain, dan tokoh spiritual yang tegas secara prinsip, tetapi tidak keras. 

    Acara lalu ditutup dengan tanggapan singkat dari penulis sendiri Romo Franz Magnis-Suseno. Magnis dalam kesempatan itu menegaskan kembali masalah yang ia angkat dalam bukunya, yakni apakah di masa sekarang agama masih relevan dan jawabannya jelas, bahwa agama justru makin otentik sebab di hadapan gempuran tantangan-tantangan seperti sekularisme agama menjadi “opsi”, bahwa daripada sekadar warisan, ia menjadi keyakinan atas kesadaran yang sungguh reflektif.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI