HAMBURG, Pena Katolik – Nama harum Indonesia yang telah dibangun harus dilanjutkan oleh diaspora Indonesia. Langkah yang harus diambil adalah, memprosmosikan Indonesia sebagai negara yang bersahabat dengan siapapun meski tetap berpegang teguh pada kepentingan nasional dan berpijak pada nilai geopolitiknya dan pada saatnya bisa berkontribusi bagi kepentingan bangsa dan negara dimanapun berada. Demikian ditegaskan oleh anggota Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Muliawan Margadana, dihadapan Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia (KMKI) di Hamburg, Jerman, Jumat (15/09/2023).
Muliawan Margadana menjelaskan, tahun 2024 Indonesia akan memasuki Tahun Politik yang salah satunya ditandai dengan pemilihan presiden. Pilpres 2024 merupakan momentum strategis karena memilih presiden baru Indonesia yang sekaligus pimpinan nasional yang akan melanjutkan capaian kinerja Presiden Joko Widodo yang juga diakui oleh dunia Internasional
Dalam konteks ini, siapapun presiden yang terpilih, harus diyakinkan bahwa capaian itu akan dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan. Melalui keketuaan Indonesia di G20 dan Asean, Indonesia telah menunjukkan sebagai negara yang bersahabat bagi siapa saja dan sekaligus menujukan martabatnya sebagai negara yang berdaulat. Sekalipun demikian, Indonesia tetap berpegang teguh pada kepentingan nasional dalam mengambil keputusan masa depannya, hal mana disemangati oleh roh Konferensi Asia-Afrika, spirit Bandung pada 1955,” jelas Muliawan.
Konferensi Asia Afrika (KAA) muncul saat dunia dalam masa perubahan yakni pasca Perang Dunia II, munculnya perang dingin, banyaknya negara-negara baru yang merdeka di berbagai belahan dunia pasca kolonialisme dan tantangan ke depan. Pada saat itu, KAA menekankan, solidaritas, soliditas, dan kerja sama antarnegara berkembang.
Menurut Muliawan, kewibawaan Indonesia harus dilanjutkan, menjaga bersama-sama agar politik identitas tidak terjadi dan ini sangat tergantung pada penerus Joko Widodo yang baru. Kewibaaan itu akan membangun kedaulatan, kedaulatan, kesetaraan sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
“Sikap tegas Indonesia yang menolak tekanan dari Eropa atupun Amerika menjelaskan posisi strategis Indonesia di masa depan. Dan masa depan Indonesia ditentukan dan bergantung pada warga negaranya. Dan diaspora Indonesia yang berjumlah delapan juta orang hendaknya menjadi kekuatan bagi Indonesia dalam berdiplomasi dengan negara lain terutama yang kuat secara ekonomi, senjata dan pengaruh,” ujar Muliawan Margadana yang juga Penasehat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).
Diurai lebih lanjut, Indonesia akan menghadapi berbagai ancaman, tantangan dan tekanan dari negara hegemoni. Hal ini mengingat kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia secara nyata, energi, sumberdaya alam dan air. Jika pemerintah Indonesia dan rakyatnya tidak melakukan tindakan antisipasi, generasi muda sekarang tidak memiliki apa-apa di masa depan.
Muliawan juga menekankan arti penting pemuda sekarang yakni yang para mahasiswa untuk mempersiapkan diri. Karena merekalah yang akan menjadi pemimpin negara pada tahun 2045, saat Indonesia memasuki tahun emas kemerdekaan. Di masa depan, tidak cukup hanya menjadi orang pandai, tetapi Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkarakter. Menjadi pemimpin berkarakter tidak dapat diperoleh secara instan tetapi harus melalui proses.
„Sungguh mengkhawatirkan dan memperihatinkan jika para pemuda sekarang tidak menyadari berbagai ancaman yang dihadapinya saat ini. termasuk lagi ancaman-ancaman yang tak terlihat tapi ada di tengah-tengah seperti perubahan perilaku, atau sikap permisif terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila, sebagai pemersatu bangsa , perlu diwaspadai juga upaya pemecah belah persatuan bangsa melalui media sosial,” tegas Muliawan.
Oleh karena itu, mereka yang studi di luar negeri hendaknya belajar secara sungguh-sungguh yang bertumpu pada masa depan Indonesia, memang memersiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan sekaligus membuat jejaring yang akan digunakan saat mereka menjadi pemimpin negara.