VATIKAN, Pena Katolik – Dalam sebuah pernyataan, perwakilan Vatikan Mgr. David Putzer menegaskan kembali sikap Vatikan yang mengutuk penodaan Al-Quran dan bentuk penodaan simbol-simbol agama lainnya. Mgr. Putzer menegaskan, bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menghina orang lain.
Takhta Suci mengutuk keras penodaan, penghancuran, atau penghinaan terhadap objek, simbol, dan tempat ibadah keagamaan. Vatikan menegaskan kembali bahwa tindakan ini merupakan penyalahgunaan karunia kebebasan berekspresi. Lebih jauh, Vatikan menilai Tindakan ini memupuk kebencian, intoleransi, dan menciptakan polarisasi yang lebih besar dalam masyarakat.
Berbicara awal pekan ini di sesi biasa ke-53 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Kuasa Usaha Misi Tetap Takhta Suci untuk PBB dan Organisasi Internasional Lainnya di Jenewa, Mgr. Putzer, mengatakan bahwa dengan sengaja menghina keyakinan agama, tradisi atau benda-benda suci merupakan serangan terhadap martabat manusia orang percaya. Sesi tersebut memperdebatkan penodaan Al-Quran yang berulang di beberapa negara Eropa. Mgr. Putzer menyampaikan sikap Vatikan yang menyetujui resolusi yang mendesak negara-negara anggota untuk secara tegas menuntut tindakan antagonisme berbasis agama.
Vatikan merujuk pada insiden di Stockholm, Swedia, pada 28 Juni 2023, ketika seorang pria melakukan pembakaran halaman kitab suci umat Islam di luar masjid. Tindakan ini memicu kecaman di seluruh dunia, termasuk Gereja Kristen. Resolusi PBB menyerukan agar para pelaku dimintai pertanggungjawaban, sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.
Sebelumnya, dalam wawancara yang diterbitkan pada 3 Juli, Paus mengatakan dia “marah dan muak” dengan penodaan itu. Paus menegaskan, bahwa buku apapun yang dianggap suci oleh umat agama tertentu haruslah dihormati.
“Buku apa pun yang dianggap suci oleh umatnya harus dihormati untuk menghormati para pemeluknya, dan kebebasan berekspresi tidak boleh diabaikan. digunakan sebagai alasan untuk merendahkan orang lain, dan untuk membiarkan ini, harus ditolak.”
Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang disahkan pada 12 Juli menyerukan negara-negara anggota untuk memeriksa undang-undang, kebijakan, dan kerangka kerja penegakan hukum nasional mereka. PBB mendesak anggotanya untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kesenjangan yang dapat menghambat pencegahan dan penuntutan tindakan dan advokasi kebencian agama. Pada sesi voting, resolusi ini disetujui dengan 28 suara mendukung dan 12 menentang.
Resulusi ini didukung oleh Organisasi Kerjasama Islam, tetapi ditentang oleh delegasi Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, termasuk Prancis dan Jerman, dengan alasan kebebasan berekspresi.