Panca artinya lima. Sila artinya dasar. Pancasila berarti Lima Dasar.
Sambil mempelajari defenisi yang tertulis dalam KBBI, tentang dasar, Penulis merumuskan dua arti penting dari kata dasar.
Dasar berarti bagian atau lapisan terbawah. Karena terbawah, maka manfaatnya ialah menjadi pijakan atau tempat berpijak. Nah, tempat berpijak dalam arti ini, jelas menunjuk pada sesuatu yang merupakan pokok, yang darinya terkandung informasi, inspirasi, arahan, pedoman, penuntun bagi suatu cara berpikir, berkata, bersikap dan bertindak.
Kita sampai pada apa yang ingin dikatakan, yakni nilai-nilai dalam Pancasila, yang kita sebut sebagai dasar.
Yang Pertama; Nilai Ketuhanan
Refleksi kritis mendasar bagi NKRI perspektif poin ini ialah Indonesia bukan negara agama. NKRI tidak berpaham pada ajaran agama tertentu. Artinya; sila ini tidak mengizinkan siapapun untuk menjadikan paham keagamaannya sebagai paham negara.
Ciri Ketuhanan yang dimaksudkan dalam Sila ini, tidak menunjuk secara spesifik kepada Tuhannya siapa dalam agama mana atau agamanya siapa, melainkan justru menunjuk pada ciri partikular bahwa masing-masing agama beriman dan berkepercayaan terhadap Tuhannya masing-masing, sebagaimana diajarkan dalam agamanya.
Maka tidak dapat dibenarkan, dan menyalahi Dasar Bangsa ini, jika ada pihak tertentu yang berupaya menjadikan Bangsa ini berpaham menurut agama tertentu, dan apalagi berarah menurut kehendak sekelompok orang.
Dengan adanya Pancasila dan melalui penghayatan mendalam terhadapnya, semestinya orang sadar bahwa penempatan filosofi Ketuhanan dalam Sila Pertama, memberi arah refleksi yang sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang selalu bermuara pada prinsip antisipasi sembari antusias, bahwa dengan bersatu, kita teguh, dan justeru kita runtuh jika bercerai. Itulah sebabnya mengapa dikatakan, biar berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat, atau yang akrab disapa Gusdur, tentang bagaimana membangun kerukunan beragama dengan berdasarkan prinsip ketuhanan, pernah mengatakan demikian;
“Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca Al-Quran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Quran. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”.
Apa yang dikatakan Gusdur di atas, sesungguhnya ingin menegaskan bahwa Yang Tertinggi, yang diimani dalam tiap agama, tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk membangun konflik perpecahan, apalagi berakibat pada korban nyawa.
Terlalu fulgar nilainya; untuk Tuhan didemonstrasikan dengan cara yang sangat bertentangan menurut hakikatNya sebagai Yang Damai, Yang Baik dan Yang Rukun.
Yang Kedua ; Nilai Kemanusiaan
Manusia adalah Subyek, yang eksistensinya membuatnya terarah pada esensinya dengan suatu Penggerak. Sebagai manusia, seringkali ia disebut sebagai Aku. Rumusan Filsafat Manusia mengatakan; Aku adalah yang Membadan dan yang Menjiwa.
Benar, Manusia adalah Jiwa-Badan. Ia merohani melalui jiwa dan menjasmani melalui badan. Maka keadilan bagi manusia pertama-tama merupakan keadilan rohani dan keadilan jasmani.
Keadilan Rohani ialah ketika jiwa mengalami kebebasan dalam berekspresi, entah sebagai umat beriman maupun sebagai warga negara. Sementara keadilan jasmani ialah ketika kondisi subjek-subjek dalam segala aspek jasmaninya mengalami keamanan dan pemenuhan sandang, pangan, papan, finansial secara merata menjadi konsentrasi dan tindakan semua orang dan dalam totalitas kebijakan publik.
Sampai titik ini, Saya ingat akan dua model keadilan yang ditawarkan Yesus dalam perumpamaanNya di dalam Kitab Suci.
Yang pertama : Dalam Kisah Matius 20:1-16; Perumpamaan Pekerja di Kebun Anggur Tuhan. Kisah ini sesungguhnya ingin menegaskan tentang keadilan komutatif Allah.
Dikisahkan bahwa para Pekerja itu bekerja dari pukul 9 pagi sampai dengan malam hari. Keputusan Yesus memberi upah yang sama yakni satu dinar, menuai protes dari mereka. Mengapa? karena nampaknya Yesus bertindak tidak adil karena upah yang diberikan, tidak sesuai dengan jasa dan lamanya waktu bekerja.
Perumpamaan di atas sebenarnya merupakan respon terhadap pertanyaan Petrus. Dalam Matius 19:27, tertulis pernyataan dan pertanyaan Petrus; “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” Dengan keputusan upah yang sama, Yesus ingin menunjukkan keadilan Allah bahwa ketika cinta kasih menjadi dasar, tindakan memandang semua sama di hadapan Allah, adalah outputnya. Allah adalah Allah yang berlaku sama bagi semua.
Kalau kita membaca Filsafat Pancasila, terutama pemikiran dasar Sukarno dan Driyarkara, di sana akan kita temukan kata gotong royong sebagai dasar utama bagi semua sila. Bahwa ada perpaduan istimewa dari Allah dan Manusia.
Perpaduan itu didasarkan pada gotong royong yang berlandaskan cinta kasih. Di atas fondasi cinta kasih ini, nilai-nilai seluruh Masyarakat Indonesia terkristalisasi sebagai kekuatan besar; tersebar secara merata sebagai keindahan dan berbeda secara unik sebagai kekayaan.
Cinta kasih sebagai dasar atas semua sila itu, dirumuskan secara padat oleh Sukarno, dan juga oleh Driyarkara dengan sebutan Ekasila.
Yang Kedua : Dalam Kisah Markus, 12:13-17, tentang membayar pajak kepada Kaisar
Kisah tentang membayar pajak kepada Kaisar, jelas menunjuk pada keadilan distributif. Disebut keadilan distributif karena Yesus, dalam jawabanNya, Ia sungguh menegaskan tentang porsi kepada masing-masing Pihak. Ketika Yesus ditanya terkait kepada siapa harus membayar pajak, Yesus menjawab; berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan berikanlah kepada Allah, apa yang menjadi hak Allah.
Para penanya, yang terdiri dari orang-orang Farisi dan Herodian itu, sebetulnya mereka ingin mencoba Yesus; apakah Yesus adil atau tidak. Kita melihat bahwa orang-orang Farisi dan Herodian bermaksud jahat, yaitu ingin menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan (ay. 13). Dan maksud mereka ini diketahui oleh Yesus, sehingga Dia bertanya “Mengapa kamu mencobai Aku?” (ay.15).
Mereka berusaha menjebak Yesus, karena mereka tahu akan klaim dari Yesus sebagai Mesias. Dan dalam pemikiran mereka, seorang Mesias adalah orang yang membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Romawi dan memulihkan Kerajaan Israel di dunia. Jadi, mereka berharap bahwa Yesus akan menjawab “tidak perlu membayar pajak kepada kaisar“, sehingga mereka kemudian dapat menangkap Yesus dan menyerahkan-Nya kepada pemerintahan Romawi – karena menghasut rakyat untuk tidak membayar pajak.
Namun, apa yang mereka inginkan, justeru berbanding terbalik dengan sikap Yesus. Yesus membuat mereka terkejut dan heran, dengan memberikan jawaban ; “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” Dengan jawaban ini, maka mereka tidak mempunyai alasan untuk menangkap Yesus. Namun, di satu sisi, Yesus memberikan pengajaran yang begitu penting, yaitu bahwa Kerajaan yang ingin dibangun dan ditawarkan kepada manusia bukanlah kerajaan di dunia ini, namun Kerajaan Sorga.
Kisah di atas, mempertontonkan kepandaian Yesus menempatkan setiap persoalan pada tempatnya. Apa yang dilakukan Yesus, mencerminkan Keadilan Allah; yang nampak melalui konsentrasi dan pemberian kepada masing-masing; apa yang menjadi hak mereka. Yang menjadi Hak Allah, itu tetap Hak Allah. Yang menjadi Hak Kaisar, itu tetap Hak Kaisar.
Allah tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk tidak taat kepada hukum pemerintah manusia, selama hukum itu tidak bertentangan dengan martabat manusia. Demikian juga, Kaisar tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk tidak boleh berderma kepada Allah. Hukum Kaisar pun tidak boleh menciptakan suatu kondisi yang menghalangi pandangan dan langkah umat beriman menuju pada Allahnya.
Yang Ketiga ; Nilai Persatuan
Persatuan berarti utuh, tidak terpecah-belah.
Bhinneka Tunggal Ika; Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Itulah semboyan Bangsa ini. Bangsa ini ditenun indah oleh aneka ragam keberadaan. Semakin berbeda, semakin indah.
Kita bersyukur bahwa Pancasila menjadi dasar Negara Indonesia ini. Sebagai pedoman, Pancasila sumber segala hukum, yang menjamin agar persatuan dan kesatuan harus tetap terjaga dan melarang adanya konflik bertumpah darah yang memecah belah.
Perlu bahwa persatuan dan kesatuan harus dijaga dan dirawat, tetapi sama sekali tidak berarti sebagai penyeragaman. Perbedaan dapat disatukan tetapi bukan diseragamkan menjadi satu. Justeru, ketika fakta menunjuk banyak perbedaan, fakta yuridis menampakkan corongnya melalui produk hukum untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Hukum persatuan, sama sekali tidak dipahami sebagai people power, yang seringkali berkonsolidasi nonpancasilais dan ruang gerak mereka sempit sekitar orang-orang tertentu.
Persatuan keseluruhan tidak dapat dijamin dengan persatuan kecil-kecilan, yang adanya saling menguat dan selalu mengecualikan yang lain. Persatuan jenis ini akan menjadi racun bagi persatuan masyarakat dan kesatuan NKRI. Mengapa? Karena adanya menunjukkan ego perkelompok dan efek terburuknya ialah melihat yang lain sebagai saingan yang harus dibasmi atau dimusnahkan. Akibatnya, muncul konflik berkepanjangan, dan bahkan hingga menelan korban nyata dan reruntuhan harta.
Yang Keempat ; Nilai Kebijaksanaan
Rumusan menariknya ialah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dasar bagi kerakyatan adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu dipandang tak bermasalah karena hadir sebagai produk dari permusyawaratan perwakilan. Artinya aspek konvensional sangat menghargai pentingnya persatuan yang harus menjadi konsentrasi seluruh warga. Dan karena menyangkut hajatan banyak orang, maka sangat dibutuhkan pemahaman yang baik dan benar, disertai dengan sikap taat dan tunduk kepada kebaikan bersama dan kebenaran tertinggi.
Tentang kebijaksanaan, ilmu filsafat menunjukkan kepada kita, dua modelnya, yakni Kebijaksanaan Teoretis dan Kebijaksanaan Praksis.
Kebijaksanaan Teoretis berkaitan dengan kecerdasan dan pengetahuan ilmiah. Sementara Kebijaksanaan Praksis berkaitan dengan memutuskan apa yang baik dan berguna untuk hidup pribadi dan hidup banyak orang.
Dua kebijaksanaan itu disebut kebajikan intelektual karena merupakan produk intelektual yang lahir sebagai buah yang matang dari keserasian Budi, Cipta, Rasa dan Karsa.
Aspek teoretis kebijaksanaan, menunjukkan corongnya melalui kehadirannya sebagai model berpikir bagi banyak orang. Sementara aspek praksis kebijaksanaan, lebih kepada tindakan praksis moral; bagaimana bertindak secara baik demi kebaikan bersama.
Yang Kelima ; Nilai Keadilan
Media Kompas.Com, pada 2 Juni 2021 merilis tulisan berjudul Teori Keadilan Menurut Aristoteles dan Contohnya, ditulis oleh Vanya Karunia Mulia Putri.
Di sana diuraikan pemikiran Aristoteles tentang Keadilan. Disebutkan dua model keadilan, yakni Keadilan Distributif dan Keadilan Komutatif.
Keadilan Distributif menunjuk pada perlakuan kepada setiap orang berdasarkan jasanya. Keadilan ini menuntut setiap pihak mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional. Keadilan distributif meyakini jika konsep adil akan terjadi apabila tiap pihak secara sama rata mendapatkan haknya.
Sementara Keadilan Komutatif menunjuk pada perlakuan yang sama kepada seseorang tanpa melihat jasanya. Keadilan Komutatif meyakini bahwa sesuatu hanya dapat disebut adil, apabila kita bertindak secara merata kepada setiap orang tanpa memperhatikan jasanya. Misalnya bagi mereka yang bersalah, wajib dihukum tanpa pandang bulu atau pilih kasih.
Dua model keadilan itu diberlakukan di negara ini untuk menegaskan tentang pentingnya hukum yang harus secara merata diterapkan kepada semua pihak, dan tentang pentingnya martabat manusia melalui jasa yang dikeluarkan yang harus dihargai sesuai porsinya.
Penulis : RD. Yudel Neno, Imam Muda asal Keuskupan Atambua