Sabtu, Oktober 12, 2024
27.5 C
Jakarta

Romo Magnis: Pancasila Tidak Boleh Ditawar Lagi

Para pembicara Seminar Nasional dengan tema “Pancasila, Demokrasi dan Moderasi Beragama”, di Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Keuskupan Agung Kupang, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu 27 Mei 2023. IST

KUPANG, Pena Katolik – Sekolah Tinggi Pastoral (STIPAS) Keuskupan Agung Kupang mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Pancasila, Demokrasi dan Moderasi Beragama”, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu 27 Mei 2023. Seminar ini membahas tantangan dalam demokrasi dan bagaimana agama dihidupi dalam konteks zaman.

Salah satu pembicara, Romo Frans Magnis-Suseno SJ menyatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Dalam kemajemukan ini, setiap orang bangga akan identitasnya. Romo Magnis mengatakan, rasa bangga warga negara Indonesia ini juga muncul karena identitas iman mereka. Pancasila dengan demikian menjadi salah satu pengikat kesatuan bangsa. Pancasila menjadi tuntunan ketika setiap pemeluk agama menghidupi imannya dalam konteks zaman.

“Orang Indonesia bangga bahwa ia orang Indonesia dan sekaligus bangga dia adalah Muslim, Katolik, atau Jawa, Bugis, Manggarai. Itulah keberagaman Indonesia,” sebutnya.

Romo Magnis melanjutkan, kunci keberhasilan Indonesia tetap bersatu walaupun sudah banyak konflik yang terjadi adalah Pancasila, rasa persatuan dan kesadaran NKRI. Ia menambahkan, bahkan dari kalangan mainstream Islam sepakat untuk mendukung Pancasila dan NKRI.

“Mainstream Islam yang mendukung Pancasila dan NKRI, serta komunikasi positif antar agama. Hasilnya adalah NKRI berdasarkan Pancasila,” kata Romo Magnis, Guru Besar Emeritus di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Romo Magnis mengingatkan, dalam menyambut tahun politik di Indonesia, setiap pelaku politik mesti ingat bahwa Pancasila tidak boleh ditawar-tawar. Pancasila adalah kekuaan yang dapat menjadi jaminan kesatuan bangsa.

“Pancasila itu pemersatu, maka tidak boleh ditawar lagi. Wakil rakyat bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Keagamaan yang moderat perlu terus kita dorong. Sebagai umat, kita harus terus membangun hubungan positif/saling percaya dengan agama-agama lainnya,” jelasnya.

Sementara itu, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pengembangan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo A. Benny Susetyo memberi catatan bagaimana Katolik terlibat dalam gerakan persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan ini sangat terasa dalam proses perumusan Sumpah Pemuda. Pemilihan Katedral Jakarta menjadi salah satu lokasi Kongres Pemuda Oktober 1928 menjadi bukti peran besar ini.

“Kita (umat Katolik) terlibat juga dalam rumusan Sumpah Pemuda lewat organisasi pemuda. Namun, perkembangannya, kita tidak lagi terlibat pada gerakan, tetapi pada status quo. Dulu takut dengan kekuatan dan pemegang kekuasaan. Itu sejarah dan bisa dilihat dalam riset,” jelasnya.

Romo Benny menyoroti tren masyarakat, khususnya umat Katolik, saat ini. Terlebih, ia menyoroti budaya copy paste yang begitu berpengaruh pada kehidupan bernegara. Ia menilai, dalam kehidupan beragama, seharusnya setiap orang tidak mudah dibawa arus media yang menyesatkan.

“Budaya copy paste. Mudah saja menyebarkan berita tanpa didalami dulu. Manipulasi media sosial menjadi alat provokasi agama. Umat menjadi tidak cerdas dan masuk dalam perangkap; malah ikut-ikut provokasi. Agama padahal sakral nilainya: kita menghina agama lain, kita menghina Tuhan juga,” serunya.

Menurut Romo Benny, formalisme agama di Indonesia ini sangat luar biasa. Indonesia seharusnya adalah kumpulan masyarakatnya religius, namun korupsi kekerasan terus terjadi. Romo Benny melihat hal ini sebagai ironi, banyak rumah ibadah, tetapi kualitas masyarakatnya tidak berimbang.

Salah satu pendiri Setara Institute ini juga menyatakan bahwa terjadi darurat Pancasila. Romo Benny menunjukkan data dari salah satu survei yang mendapati sebanyak 83% responden setuju Pancasila harus diganti. Di sini Romo Benny melihat darurat Pancasila ini tidak saja sebuah ilusi namun sebuah kondisi yang patut menjadi perhatian bersama.

“83% pelajar menyatakan setuju jika Pancasila diganti. Mengapa itu terjadi? Berarti ada kegagalan dalam pendidikan kewarganegaraan dan agama. Seharusnya ini juga menjadi pacu bagi Kemendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan Pancasila dan agama,” katanya.

Fransiskus Bustan pun menyatakan bahwa Pancasila adalah identitas Indonesia.

“Kita ragam, banyak jenisnya. Perbedaan seharusnya sebuah kenyataan sederhana yang tidak perlu diperdebatkan. Dalam keagamaan kita, kita beraga, hidup dalam Pancasila. Itulah Indonesia,” imbuhnya.

Hadir juga dalam acara tersebut sebagai narasumber adalah Maxi Un Bria dan Aloysius Liliweri. Kegiatan ini dihadiri oleh para mahasiswa dan rohaniwan, dan juga berasal dari luar negeri, seperti dari Amerika Serikat, Australia, dan Meksiko. Acara pun diadakan secara hybrid dan diikuti oleh kurang lebih 150 peserta luring dan 90 peserta daring.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini