33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Romo Magnis Menjadi Saksi Ahli Barada Eliazer, dalam Kesaksian yang Meringankan, Ia Menjelaskan Peran Moral dalam Khasus itu

BERITA LAIN

More
    Romo Frans Magnis Suseno SJ.

    JAKARTA, Pena Katolik – Romo Frans Magnis Suseno SJ hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan dengan terdakwa Bharada Richard Eliazer, dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang telah menghebohkan Indonesia sejak beberapa bulan lalu. Romo Magnis dihadirkan oleh tim Kuasa Hukum Bharada Eliezer untuk memberi kesaksian dan menjelaskan soal posisi etika dan moral Bharada Eliezer dalam khasus penembakan Brigadir N. Yosua Hutabarat.

    Dalam kasus ini, Bharada Eliazer diketahui sebagai penembak Brigadir Yosua atas perintah Ferdy Sambo. Sebagai informasi, Eliezer merupakan mantan ajudan Ferdy Sambo. Saat peristiwa penembakan Yosua terjadi pada 8 Juli 2022, Sambo merupakan Kadiv Propam Polri dengan pangkat Irjen.

    Romo Magnis menjelaskan kebersalahan (salah/benar) seseorang yang diminta melakukan perbuatan yang secara etis tidak dapat dibenarkan. Ia mencontohkan bagaimana seseorang yang diminta untuk menembak mati seseorang yang tidak berdaya. Ia menjelaskan, dalam hal ini tergantung pada kesadaran dari orang itu (orang yang diperintah). Romo Magnis menjelasakan, bisa saja orang itu bingung, karena dua kesadaran. Pertama, karena kesadaran bahwa menembak mati seseorang tentu tak dapat dibenarkan. Kedua, orang itu diberi perintah oleh orang yang wajib ditaati perintahnya. Dari kedua ini, orang itu harus mengikuti yang mana.

    Dalam penjelasan ini, Romo Magnis mengatakan, secara etika normative, orang itu harus menolak. Namun, dalam etika yang memeriksa kebersalahan seseorang, akan orang itu memiliki cukup kejelasan. Misalnya, pemeriksaan kejelasan perlu mempertimbangkan latar belakang orang yang bersangkutan, misalnya dalam ranah militer, Brimob, atau Kepolisian, di mana dalam konteks ini, melaksanakan perintah adalah budaya yang ditanamkan dalam diri orang-orangnya.

    “Di Indonesia tahu, sering suka pakai istilah, ‘laksanakan’. Ndak tanya, tepat atau tidak, ‘laksanakan’, atau siap,” ujar Romo Magnis.

    Polisi adalah satu-satunya lembaga dalam masyarakat yang berhak melakukan “kekerasan” seperlunya kadang sampai menembak. Bagi seorang Polisi, rem psikis terhadap “menembak mati’ orang tentu lain dengan orang biasa. Faktor lain menentukan kebersalahan adalah terkait penyesalan dan kebingungan. Karena di bawah tekanan dan waktu, misalnya dalam perintah yang pada saat itu juga harus dilaksanakan.

    “Dia diperintah melakukan sesuatu ‘sekarang juga lakukan’, ini tipe perintah secara psikologis dilawan. Karena siapa dia, mungkin dia orang kecil, jauh di bawah yang memberi perintah, udah biasa laksanakan, meskipun dia ragu-ragu, dia bingung, itu bukan berarti tidak ada kesalahan, tetapi menurut etika (dalam situasi ini) sangat mengurangi kebersalahan,” .

    Kembali ke persidangan, Romo Magnis awalnya ditanyai oleh Pengacara Eliezer, Ronny Talapessy. Ronny mengatakan kliennya merupakan anggota Polri yang terikat dengan kewajiban untuk mengikuti perintah atasan. Ronny bertanya bagaimana pandangan Romo Magnis melihat hal itu dari sudut pandang etika.

    Romo Magnis mengatakan Eliezer mengalami dilema moral saat diperintah oleh Ferdy Sambo. Romo Magnis menyebut seseorang yang berada dalam situasi dilema moral sebenarnya tahu bahwa menembak orang sampai mati bukanlah hal kecil.

    “Dari sudut pandang etika, di situ kita bicarakan dengan sebuah dilema moral. Di satu pihak, harusnya dia tahu bahwa yang diperintahkan itu tidak boleh diperintahkan. Tentu di situ juga bisa dipertanyakan apakah misalnya dalam budaya yang sangat mementingkan perintah, batas wajib melaksanakan perintah dibicarakan. Saya tidak tahu sama sekali hal itu, jangan-jangan katakan saja misalnya di kepolisian, para polisi hanya dididik pokoknya kamu harus taat selalu,” ujar Romo Magnis di PN Jaksel, Senin 26/12/2022.

    “Secara etis, dalam dilema itu bisa saja kejelasan penilaian yang bersangkutan itu yang jelas merasa amat susah karena berhadapan di satu pihak menembak sampai mati bukan hal kecil, setiap orang tahu, dia tahu juga. Di lain pihak yang memberi perintah itu orang yang juga dalam situasi tertentu malah berat memberi perintah untuk menembak mati,” sambungnya.

    Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta ini mengatakan Eliezer berada di situasi bingung. Untuk itu, publik diharapkan tidak langsung mengutuk Eliezer.

    “Jadi di situ, dari sudut etika dalam situasi bingung, etika akan mengatakan kamu, menurut saya, jangan begitu saja mengutuk atau mempersalahkan dia objektif dia salah. Dia harus melawan, tapi apakah dia bisa mengerti? Dan dalam etika pengertian, kesadaran itu merupakan unsur kunci,” kata Romo Magnis.

    Pengacara Eliezer, Ronny Talapessy, juga bertanya apa saja unsur-unsur yang dapat meringankan Eliezer dalam kasus pembunuhan Yosua. Romo Magnis kemudian menjelaskan unsur-unsur tersebut berdasarkan kajian filsafat moral. Romo Magnis mengatakan, Eliezer diperintah oleh atasannya yang memiliki pangkat jauh lebih tinggi. Di sinilah terjadi budaya ‘laksanakan’ yang tidak mungkin tidak ditaati oleh Eliezer.

    “Menurut saya, yang tentu paling meringankan adalah kedudukan yang memberikan perintah itu, kedudukan tinggi yang jelas memberi perintah yang di dalam sejauh, di dalam kepolisian tentu akan ditaati tidak mungkin katanya Eliezer 24 umurnya, jadi masih muda itu laksanakan itu, budaya laksanakan itu, adalah unsur yang paling kuat,” kata Romo Magnis.

    Eliezer didakwa bersama-sama dengan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir N Yosua Hutabarat. Eliezer disebut dengan sadar dan tanpa ragu menembak Yosua.

    RELASI BERITA

    Tinggalkan Pesan

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    - Advertisement -spot_img

    BERITA TERKINI