Minggu, Desember 22, 2024
29.9 C
Jakarta

Bacaan dan Injil Hari Jumat 12 Agustus 2022; St. Radegundis dari Turingia

Bacaan I: Yeh. 16:1-15,60,63

Sebab beginilah firman Tuhan Allah: Aku akan melakukan kepadamu seperti engkau lakukan, yaitu engkau memandang ringan kepada sumpah dengan mengingkari perjanjian. Tetapi Aku akan mengingat perjanjian-Ku dengan engkau pada masa mudamu dan Aku akan meneguhkan bagimu perjanjian yang kekal.

Barulah engkau teringat kepada kelakuanmu dan engkau merasa malu, pada waktu Aku mengambil kakak-kakakmu, baik yang tertua maupun yang termuda, dan memberikan mereka kepadamu menjadi anakmu, tetapi bukan berdasarkan engkau memegang perjanjian.

Aku akan meneguhkan perjanjian-Ku dengan engkau, dan engkau akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, dan dengan itu engkau akan teringat-ingat yang dulu dan merasa malu, sehingga mulutmu terkatup sama sekali karena nodamu, waktu Aku mengadakan pendamaian bagimu karena segala perbuatanmu.”

Mazmur Tanggapan: Yes. 12:2-3,4bcd,5-6

Ref. Tuhan, Dikaulah sumber air hidup.

  • Sungguh, Allah itu keselamatanku; aku percaya dengan tidak gemetar; sebab Tuhan Allah itu kekuatan dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Maka kamu akan menimba air dengan kegirangan dari mata air keselamatan.
  • “Bersyukurlah kepada Tuhan, panggillah nama-Nya, beritahukanlah karya-Nya di antara bangsa-bangsa, masyhurkanlah bahwa nama-Nya tinggi luhur.
  • Bermazmurlah bagi Tuhan, sebab mulialah karya-Nya; Baiklah hal ini diketahui di seluruh bumi! Berserulah dan bersorak-sorailah, hai penduduk Sion, sebab Yang Mahakuasa, Allah Israel, agung di tengah-tengahmu.”

Bait Pengantar Injil: Alleluya

Ref. Alleluya, alleluya.

Sambutlah pewartaan ini sebagai sabda Allah, bukan sebagai perkataan manusia.

Bacaan Injil: Mat. 19:3-12

Pada suatu hari datanglah orang-orang Farisi kepada Yesus, untuk mencobai Dia. Mereka bertanya, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Yesus menjawab, “Tidakkah kalian baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia, sejak semula menjadikan mereka pria dan wanita?

Dan Ia bersabda, ‘Sebab itu pria akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.’ Demikianlah mereka itu bukan lagi dua, melainkan satu.

Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kata mereka kepada Yesus, “Jika demikian, mengapa Musa memerintahkan untuk memberi surat cerai jika orang menceraikan isterinya?”

Kata Yesus kepada mereka, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kalian menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu, ‘Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan wanita lain, ia berbuat zinah’.”

Maka murid-murid berkata kepada Yesus, “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” Akan tetapi Yesus berkata kepada mereka, “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan ini, hanya mereka yang dikaruniai saja.

Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya; dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain; dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri, demi Kerajaan Surga. Siapa yang dapat mengerti, hendaklah ia mengerti.”

Demikianlah Injil Tuhan.

Martabat Istri

Satu pelajaran penting dari perikopa ini adalah bahwa Yesus mengangkat martabat istri (perempuan) sama dengan suami (laki-laki). Sudah menjadi tradisi bahwa yang berhak menceraikan hanyalah suami, sementara istri tidak mempunyai hak itu.

Maka dari cerita sudah terlihat bagaiman istri itu hanya menjadi bagian kedua. Berniat menceraikan berarti mengganggap istri itu tidak berharga, atau bahkan menganggap tidak ada.

Perkawinan bukan sual siapa milik siapa, atau lebih parah lagi siapa membeli siapa. Yesus menghendaki bahwa perkawinan itu sekali untuk selamanya. Jika sejak awal berkomitmen membangun kehidupan bersama, maka seharusnya kamus perceraian tidak menjadi kenyataan. Jika setiap pasangan menghargai pasangannya dengan martabat yang luhur, perceraian menjadi sebuah keniscayaan.

Perkawinan bukan transaksi. Didalamnya terkandung makna ilahi, bukan hanya sekedar jasmani. Perkawinan merupakan sebuah persekutuan manusiawi yang diberkati dalam keluhuran ilahi. Kesetiaan terhadap pasangan menjadi indikasi kesetiaan mereka pada Tuhan.

Setiap pasangan dipanggil untuk menjadi sakramen keselamatan bagi pasangannya. Suami dipanggil untuk menguduskan istri, demikian juga istri dipanggil untuk menguduskan suami. Suami istri dipanggil untuk menguduskan keluarga yang di dalamnya anak-anak hadir bagi mereka.

Perceraian hanya akan membawa pasangan pada masalah berikutnya yang sama-sama tidak mudah. Lebih bahagia mereka yang dengan kesadaran komitmen membangun keluarga dengan segala daya upaya. Ada masalah dalam keluarga merupakan bagian yang seharusnya semakin mendewasakan setiap pasangan.

Hidup dalam pekawinan tidak menjanjikan kebahagiaan yang tanpa masalah. Tetapi, hidup perkawinan menjanjikan masalah yang mampu diselesaikan bersama akan mendatangkan kebahagiaan, kebahagiaan bagi setiap pasangan yang mau saling mendengarkan dan memperbaiki diri.

Apapun panggilan kita, Tuhan menghendaki kita tekun dan setia menjalaninya. Menghadapi persoalan yang berat? Ia menjanjikan penyertaan untuk selamanya. Semoga setiap pasangan senantiasa mempunyai pengharapan dalam nama-Nya.

Doa

Allah Bapa Mahamurah hati, yang ada pada kami Engkaulah yang memberi, segala yang kami miliki, kami terima berkat kemurahan hati-Mu. Semoga kami meluhurkan misteri, bahwasanya Engkau telah menciptakan kami dan penuh belas kasih terhadap siapa pun yang menyerukan nama-Mu. Dengan pengantaraan Tuhan kami, Yesus Kristus, Putra-Mu, yang hidup dan berkuasa bersama Dikau dalam persatuan Roh Kudus, Allah, sepanjang segala masa. Amin.

Sumber https://renunganhariankatolik.org/

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini