SEMARANG, Pena Katolik – Kapten Czi (Anumerta) Piere Andreas Tendean dikenal sebagai salah satu dari Pahlawan Revolusi dalam peristiwa G30S. Semasa hidup, Pierre dan keluarganya pernah tinggal di Kota Semarang, Jawa Tengah, tepatnya di Jalan Imam Bonjol, Pandansari.
Di salah satu sudut jalan inilah, Pierre dan keluarganya tinggal. Lalu, bagaimana wujud rumah Pierre kini? Rumah di mana Pierre pernah tinggal itu kini bernomor 172. Lagi, rumah ini tidak lagi ditinggali oleh keluarga Tendean, melainkan kini berubah menjadi Kantor Pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS).
Ayah Pierre adalah seorang dokter Bernama A. L. Tendean dan ibundanya bernama Maria Elisabeth Cornet. Pierre menghabiskan masa kecilnya di rumah Jalan Imam Bonjol Nomor 172 tersebut. Ia tinggal bersama sang adik dan keluarga. Dr Tendean, ayah Piere diketahui berprofesi sebagai seorang dokter yang membuka praktek di rumah nomor 172.
Kepala Bidang Sosial Ekonomi, KAS, Romo Yohanes Krismanto menuturkan punya kenangan atas bangunan peninggalan keluarga Piere Tendean tersebut.
“Waktu saya masih jadi frater, saat pertama kali datang ke sini tahun 1991,” ujar imam KAS ini.
Tahun 1991, bangunan masih berupa rumah lawas yang sangat luas. Itulah awal kantor pelayanan pastoral yang merupakan bekas rumah Pierre. “Saya ingat betul di tempat berdirinya kantor Pastoral ini dulunya masih berupa sebuah rumah. Depan pintunya ada pohon beringin yang besar. Lalu di samping rumah ada jalan masuk di mana bagian kirinya ada sejumlah kamar,” ujar Romo Kris.
Hingga kini, masih ada banyak informasi mengenai keluarga Piere Tendean yang dapat digali dari rumah ini. Rumah ini rulu asri dengan banyaknya pohon jambu dan sebuah taman di belakang rumah. Kemudian pada bagian dalam rumah atapnya menjulang tinggi. “Atap ini ciri khas rumah kuno yang memang dibangun tinggi,” ujar Romo Kris.
Menjadi Milik Keuskupan
Berdasarkan literatur yang diperoleh dari KAS, rumah keluarga Tendean ini pada sekitar tahun 1970 dihibahkan kepada Yayasan Budi Mulia. Saat itu, yayasan ini dikelola oleh Konggregasi Bruder-Bruder FIC. Sejak itu, rumah ini dikelola oleh bruder FIC.
“Kira-kira tahun 1970 keluarga Tendean berserta anaknya memutuskan pindah ke Jakarta, sehingga rumah ini disumbangkan kepada Gereja,” kata Romo Kris.
Setelah dikelola Yayasan Budi Mulia, rumah ini kemudian diserahkan kepada Delegatus Sosial Keuskupan Agung Semarang (DELSOS KAS) yang dipimpin oleh Romo I. Jayasewaya pada awal tahun 1980. Dengan demikian rumah keluarga Tendean itu sepenuhnya dikelola oleh KAS.
Tidak diketahui pasti, apakah setelah penyerahan rumah ini, keluarga Tendean masih menyempatkan menengok kondisi rumah itu.
Setelah dikelola KAS, maka dilakukan renovasi pada tahun 2007, seluruh sudut bangunan rumah peninggalan dr Tendean dipugar. Taman yang asri diubah jadi tempat parkir Pastoral. Pohon beringin ditebang. Sedangkan lorong kamar diubah total.
“Terakhir saya lihat kondisi fisik bangunan rumahnya ya tahun 2006. Tahun 2007,” ungkap Romo Kris.
Menurut Romo Kris, peputusan melakukan pemugaran, selain kondisi fisik bangunan yang sudah tua, KAS juga membutuhkan ruangannya pelayanan umat yang memadai. Disamping itu, pemugaran atas pertimbangan biaya perawatannya yang mahal serta lokasi lebih rendah dengan jalan raya, sehingga ketika hujan deras seeing kebanjiran.
“Bagian belakang rumah tersebut juga terkadang ikut terendam rob,” ujar Romo Kris.
Saat ini, Kantor Pelayanan Pastoral pernah ditempati oleh sejumlah lembaga yang bernaung dibawah KAS, misalnya: DELSOS bidang Panitia Sosial Ekonomi, Panitia Aksi Puasa Pembangunan, Lembaga Pelayanan Bantuan Hukum, Informasi bursa lowongan kerja, WKRI, Komisi Pendidikan, Komisi Hubungan Antar Keagamaan, Komisi Kepemudaan hingga Komisi Koisi pendidka komisi hubungan antar keagamaan, lembaga Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan KAS (PK4AS), serta komisi kepemudaan komisi ketaketik.