Home KEGEREJAAN Caritas juga siapkan pendampingan psikologis bagi korban bencana di NTT

Caritas juga siapkan pendampingan psikologis bagi korban bencana di NTT

0
Sekretaris Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI  Suster Maria Natalia OP dalam  Konferensi Pers (PEN@ Katolik/pcp/screenshot)
Sekretaris Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI Suster Maria Natalia OP dalam Konferensi Pers (PEN@ Katolik/pcp/screenshot)

Caritas Indonesia tidak hanya memberi bantuan sembako, obat-obatan, air bersih dan penyediaan sarana sanitasi, tetapi menyiapkan pendampingan psikologis bagi korban bencana banjir bandang dan tanah longsor di wilayah terdampak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pernyataan itu disampaikan oleh Caritas Indonesia dalam Konferensi Pers “Respon Gereja Katolik Indonesia untuk Nusa Tenggara Timur” yang juga disiarkan lewat siaran pers, 16 April, dan pada saat yang sama Direktur Eksekutif Caritas Indonesia Pastor Fredy Rante Taruk Pr menegaskan bahwa pendampingan psikososial adalah “prioritas kami dalam jangka pendek bersama masalah air di Adonara dan Lembata, serta rehabiliatasi dan pemulihan ketahanan pangan masyarakat dan pengungsian.

Menurut Sekretaris Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan – Konferensi Waligereja Indonesia (SGPP-KWI), Suster Maria Natalia OP, sekretariatnya bersama Caritas Indonesia telah mematangkan konsep pendampingan psikososial bagi warga korban banjir NTT, khususnya di Wilayah Adonara dan Lembata.

“Fokus utama kami untuk memberikan dukungan kepada mereka yang kehilangan, terlebih bagi kelompok rentan yakni anak, perempuan, lansia, dan difabel,” kata Suster Natalia seraya menjelaskan bahwa pendampingan akan melibatkan tim SGPP Keuskupan setempat dan jejaring yang sudah bergerak saat ini untuk bersinergi seperti di Keuskupan Larantuka dengan Simpasio Institute dan kongregasi yang berkarya di Pulau Flores. Di samping itu, lanjut suster, jejaring orang muda siap menjadi relawan psikososial.

Menurut suster, banyak korban trauma atau takut dengan suara-suara yang terdengar saat malam hari ketika ada seng-seng beterbangan, “tapi mereka paling sedih karena kehilangan, dan sampai saat ini mereka masih menunggu dan berharap bertemu kembali dengan saudara-saudaranya.”

Para korban itu, lanjut suster, akan terus didampingi secara psikologis dan spiritual “agar mereka bisa menerima situasi. Walau saudara-saudaranya tidak bisa kembali sekurang-kurangnya mereka bisa menerima rasa kehilangan itu.”

Suster sedang rencanakan pendataan para psikolog dan relawan “tapi yang sudah terjadi di lapangan adalah mendengarkan dan menemani, bukan bertanya agar tidak mengorek luka-luka mereka, karena kalau dikorek akan menambah sakit dan luka mereka.” Selain itu, kata suster, “secara spiritual mereka diajak berdoa, karena kekuatan doa adalah dasar iman kita untuk lebih menyerahkan semua pengalaman itu kepada Tuhan.”

Staf Caritas, Franz, membenarkan apa yang dikatakan oleh Suster Natali, bahwa dalam kunjungannya ke pos-pos pengungsian, “para secara langsung mengatakan bahwa yang mereka perlukan adalah pendampingan untuk anak-anak, karena sampai sekarang kalau mendengar suara aneh di malam hari anak-anak sampai memeluk mamanya, ketakutan, sampai ada yang sakit fisik.”

Kepala keluarga produktif juga harus ditemani, karena “saat ini mereka sedang kacau,” kata Franz dari Adonara Barat. Di sana, katanya, mata pencarian utama adalah kelapa untuk kopra, namun ribuan kelapa yang sudah mereka panen dibawa oleh banjir. “Kami direspons tanggap darurat, terima kasih banyak sudah bantu kami, tapi bagaimana kelanjutan setelah tanggap darurat, bagaimana kehidupan ekonomi kami,” Franz mengutip para kepala keluarga yang benar-benar kehilangan, karena porang mereka juga hancur dan ladang jagung hilang.

Menurut Triza Yusino dari Sekretariat SGPP-KWI, mereka sudah koordinasi dengan tim di lapangan dan bersinergi dengan tim-tim yang sudah lakukan kegiatan psikososial. “Yang jadi concern adalah anak-anak terdampak, yang secara psikologis masih dalam krisis dan anti sosial serta belum mau bergerak atau berinteraksi.”

Ungtuk solusinya, lanjut Triza, kita harus berjejaring bersama teman-teman psikolog dan biarawan-biarawati yang ada di daerah itu. Memang, lanjutnya, yang digarap sekarang  baru Adonara dan Lembata, tapi ada relawan sudah siap di Weetebula dan Atambua dari guru-guru agama. “Sudah ada tambahan relawan, dan teknisnya adalah mengajak mereka bermain, menyediakan permainan, membaca, menulis dan kegiatan anak-anak lainnya.”

Sementara itu, di wilayah Keuskupan Atambua, Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) bersama dengan komunitas guru agama telah berinisiatif memberikan dukungan psikososial di tempat pengungsian Paroki Kamanasa, Keuskupan Atambua.

“Sektor psikososial bagi anak-anak dan perempuan rupanya belum mendapat perhatian penuh dari Pemerintah,” kata Pastor Ino Nahak Berek Pr dari Komsos Atambua, seperti ditulis dalam siaran pers itu. Inisiatif dari kelompok-kelompok masyarakat ini, kata pastor itu memunculkan inisiatif dari Keuskupan Atambua untuk mengajukan fasilitasi pelatihan bagi Orang Muda Katolik (OMK) setempat dengan kemampuan pendampingan.(PEN@ Katolik/paul c pati)

Artikel Terkait:

Donasi untuk NTT lewat Caritas Indonesia: Rp 2-941-687-565 per 12 April pukul 15-00 WIB-wib

Pastor Marianus Welan, kita tidak bisa berjuang sendiri menghadapi bencana ini

Sebagian dari peserta Konferensi Pers virtual

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version