“Kita tidak bisa berhenti meratapi efek ganda akibat virus corona yang menyentuh sisi-sisi emosi, afeksi manusiawi. Kita hidup dalam ruang dan waktu. Mulai Rabu Abu, kita masuki masa Prapaskah. Inilah rentang waktu 40 hari yang ditawarkan Gereja, mengajak kita memberi makna sesungguhnya akan kehidupan kita. Inilah kesempatan kita untuk menata suasana batin, merajut asa baru agar kita tidak terkungkung oleh kuasa ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, serta meratapi kehidupan ini.”
Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur menulis itu dalam Surat Gembala Prapaskah 2021 yang terbit di Bogor, 11 Februari, dengan tema “Keluarlah dari Zona Nyamanmu, Bertobatlah dan Baharuilah Dirimu.”
Prapaskah, jelas uskup itu, adalah saat “mengolah, menyusun daya jasmani dan rohani atas dasar iman kita akan Tuhan Yesus Kristus, sang Penebus dan Penyelamat kita. Inilah saat kita memperteguh jalan-jalan baru, cara-cara baru, kreasi-kreasi baru dalam segala bidang kehidupan kemanusiaan kita. Cara-cara baru antara lain: melakukan pola makan sehat, mengerjakan pekerjaan baru, melakukan tata ibadah (sakramen, sakramentali) secara baru, merawat pasien secara baru, melakukan olah raga secara baru.”
Mgr Paskalis mengenang seruan “Koyakkanlah hatimu, jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan” (Yoel 2:13) dan “Bertobatlah dan percayalah pada Injil” serta ucapan “Ingatlah bahwa engkau ini abu dan akan kembali menjadi abu” yang disampaikan dan kerap dijadikan bahan khotbah di hari Rabu Abu, di tengah gempuran virus corona.
“Hati kita terkoyak sedih dihadapkan dengan fakta bahwa banyak saudara-saudari yang kita kenal, baik keluarga, tetangga, rekan kerja, teman Gereja, sahabat yang kita kenal dekat, maupun orang yang hanya kita kenal secara umum, menderita sakit akibat virus ini, bahkan satu per satu dari mereka meninggal,” tulis uskup itu seraya meminta umatnya berdoa bagi yang meninggal.
Sadar ada beberapa orang dalam satu keluarga meninggal dalam jarak waktu sangat dekat akibat Covid-19, uskup itu menulis, “Saat pandemi ini, kematian bukan lagi pengalaman di luar diri kita. Peristiwa yang bagi sebagian orang dianggap mengerikan, tampak sebagai sesuatu yang dekat dan sangat nyata berwajah, serta tak pandang bulu. Sanak keluarga kita yang pada masa-sehatnya terlihat gagah, cantik, memiliki jabatan tinggi baik dalam pekerjaan, organisasi kemasyarakatan, bahkan pula dalam Gereja serta memiliki gelar pendidikan, harus takluk dan menjadi debu, bersatu lagi dengan ibu bumi karena kematian menimpa dirinya. Hancur lebur bersatu dengan tanah.”
Pandemi juga timbulkan ketidakstabilan ekonomi. Penghasilan menurun drastis, banyak kehilangan pekerjaan yang jadi sumber nafkah sehingga memunculkan penderitaan batin baru. Proses pembelajaran di sekolah pun dilaksanakan dengan cara baru. Yang lebih menantang, perjumpaan sosial kemanusiaan dan kekeluargaan mesti dilaksanakan secara baru. “Habitus baru” dilakukan dengan memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, serta meningkatkan imunitas tubuh dan imunitas rohani.
Melihat kenyataan itu, uskup ingatkan, Allah lengkapi kita dengan hikmat-Nya dan talenta khusus. “Allah mengetahui umat-Nya tetap dapat berjuang menghadapi peristiwa-peristiwa dalam masa pandemi ini. Kalau kita hanya meratapi nasib hari demi hari, sebenarnya itu sudah mendukakan Roh Allah; kita telah memandang rendah Allah yang telah menciptakan kita seturut dengan gambar-Nya. Pandemi ini memaksa kita keluar dari zona nyaman, dan sebagai manusia beriman, kita semakin menyadari bahwa hanya kekuatan dari Allah yang memampukan kita untuk tegak berdiri hingga saat ini,” tulis uskup.
Maka, tegas Mgr Paskalis dalam surat itu, transformasi kehidupan menjadi keniscayaan (keharusan, tidak boleh tidak), kendati dalam hal yang kecil dan sederhana sekali pun. “Kehidupan yang transformatif mesti terjadi. Dalam bahasa iman Gereja, transformasi setara dengan pertobatan.”
Perlu diakui, tulis Uskup Bogor, di masa pandemi ini “banyak orang mengalami kasih sejati Tuhan melalui orang lain sekitarnya. Hubungan pribadi yang selama ini retak, tak ada komunikasi, kini berubah. Terjadi pertobatan pribadi dan rekonsiliasi sejati. Rekonsiliasi itu membuat hidup bersama makin indah, saling meneguhkan dan menguatkan. Persahabatan sejati antarmanusia itulah yang dikehendaki Allah. Maka dalam masa Prapaskah ini, kita semua kembali memfokuskan kehidupan kepada Yesus.” (PEN@ Katolik/paul c pati)