Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen mengeluarkan catatan bagi para uskup dan konferensi waligereja tentang perayaan Pekan Suci 2021. Teks itu memberikan pedoman dasar untuk membantu para uskup dalam tugas mereka memberikan kesejahteraan rohani bagi para gembala dan umat beriman dalam menjalani minggu luar biasa dalam tahun liturgi Gereja ini.
Pandemi Covid-19 kembali menjadi tantangan utama tahun ini untuk bisa merayakan liturgi secara normal. Catatan itu menyerukan adanya “keputusan-keputusan bijaksana agar liturgi bisa dirayakan dengan penuh manfaat bagi Umat Allah … sambil tetap menjaga kesehatan dan menghormati apa yang ditentukan oleh otoritas yang bertanggung jawab demi kebaikan bersama.”
Mengacu pada Dekrit yang dikeluarkan 25 Maret 2020, kongregasi itu mencatat, pedoman yang diberikan untuk perayaan Pekan Suci dalam dokumen itu bisa diikuti juga tahun ini. Situasinya berbeda dari satu negara ke negara lain. Ada negara yang memberakukan lockdown ketat sehingga tidak mungkin bagi umat beriman untuk berkumpul di gereja, dan ada negara yang sudah kembali ke pola ibadah yang lebih normal.
Catatan itu menyoroti bagaimana penggunaan media sosial telah sangat membantu Gereja lokal “dalam memberikan dukungan dan kedekatan dengan umat mereka selama pandemi.” Catatan itu menunjukkan bahwa jangkauan media ini terus berlanjut dan mendorong umat beriman yang tidak dapat hadir di gereja mereka sendiri bisa mengikuti perayaan-perayaan diosesan sebagai tanda persatuan.
Teks itu juga mengingatkan pentingnya kembali ke pengalaman normal kehidupan Kristiani melalui kehadiran fisik umat beriman dalam Misa, kalau keadaan memungkinkan, sebagaimana dicatat dalam surat Agustus tahun lalu yang kongregasi itu tujukan kepada para ketua-ketua konferensi waligereja seluruh dunia dengan judul “Mari kita dengan sukacita kembali ke Ekaristi!”
Akhirnya, catatan itu menulis bahwa Misa Krisma bisa dipindahkan ke hari lain yang lebih sesuai, jika perlu, dan agar digiatkan bantuan yang sesuai untuk doa keluarga dan doa pribadi.
Dekrit 25 Maret 2020 antara lain berbunyi:
Karena Hari Raya Paskah tidak bisa diubah, dekrit itu menyatakan, “di negara-negara yang telah terkena penyakit ini dan di mana pembatasan pertemuan dan pergerakan orang diberlakukan, para uskup dan imam boleh merayakan ritus-ritus Pekan Suci tanpa kehadiran umat dan di tempat sesuai, serta menghindari konselebrasi dan menghilangkan salam damai.”
Dekrit itu mendorong para gembala untuk memberitahukan kepada umat tentang waktu perayaan liturgi, “sehingga mereka bisa dengan penuh doa mempersatukan diri mereka di rumah mereka” dengan doa Gereja. Dalam hal ini, lanjut dekrit itu, “sarana siaran langsung (bukan rekaman) bisa membantu.” Dekrit itu lalu menekankan betapa pentingnya mendedikasikan “waktu yang memadai untuk berdoa.” Dekrit itu juga menegaskan bahwa ibadat harian sangat penting.
Pekan Suci dimulai dengan perayaan Minggu Palma. “Peringatan Tuhan Yesus Masuk ke Kota Yerusalem harus dirayakan dalam bangunan-bangunan suci,” kata dekrit itu. Kalau dirayakan di gereja-gereja Katedral, ditentukan untuk menggunakan bentuk kedua dari Buku Misa Romawi, dan bentuk ketiga kalau dirayakan di gereja-gereja paroki.
Untuk Misa Krisma, dekrit terakhir itu mengatakan, Konferensi Waligereja “bisa memberi petunjuk tentang kemungkinan pemindahan ke tanggal lain.” Umumnya, Misa itu dirayakan di setiap keuskupan pada Kamis Suci, atau di hari lain dalam Pekan Suci.
Pada Kamis Putih, “pembasuhan kaki, yang sudah opsional, harus dihilangkan” tulis dekrit itu. Prosesi yang biasa dilakukan di akhir Misa, saat Sakramen Mahakudus dibawa ke Altar of Repose (altar yang dibangun tersendiri untuk persinggahan Sakramen Mahakudus di sebuah sudut yang tenang dalam gereja. Red.), juga dihilangkan. Sakramen Mahakudus harus diletakkan di dalam tabernakel.
Dekrit itu memberikan izin khusus kepada semua imam untuk merayakan Misa “di tempat yang sesuai, tanpa kehadiran umat.”
Di mana pun peringatan Sengsara dan Wafat Tuhan dirayakan saat Jumat Agung, dekrit itu mengarahkan para Uskup membuat “intensi khusus bagi orang-orang yang berada dalam kesulitan, orang sakit, orang mati.” Dekrit itu juga mengusulkan agar “penghormatan Salib dengan menciumnya dibatasi hanya bagi selebran.”
Vigili Paskah “harus dirayakan hanya di Katedral dan gereja paroki,” tegas dekrit itu. Dekrit yang diperbarui itu mengklarifikasi, “dalam ‘Liturgi Pembaptisan,’ hanya ‘Pembaruan Janji Baptis’ yang harus dipertahankan.”
Dekrit itu mencatat, “seminari-seminari, rumah-rumah imam, biara-biara, dan komunitas-komunitas religius harus mengikuti petunjuk-petunjuk dari dekrit ini.”
(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)