Diakon Vincentius Budi Nahiba lahir 6 Juni 1974 di Jakarta sebagai anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga suku Tionghoa dari Singkawang, Kalimantan Barat, Marius Effendy Nahiba (71 tahun) dan Tjung Fui Syia (71 tahun), yang kini berdomisili di Pademangan, Jakarta.
Sejak 2 sampai 8 tahun, Budi tinggal bersama kakek neneknya di Kalimantan Barat dan mengenal ajaran kepercayaan Konfucu. Namun, dia dibaptis secara Katolik pada usia 11 tahun atau kelas 4 SD Katolik Santo Lukas Pademangan. Tertarik melihat Pastor Aloysius Luis Diaz SVD yang memimpin Misa saat masih SD itu, Budi pun ingin jadi imam dan mulai ikut putra altar di Paroki Santo Alfonsus Pademangan.
Setelah lulus SMP dia mendaftarkan diri ke Seminari Menengah Wacana Bhakti, Jakarta, dan 11 Oktober 2020, Budi ditahbiskan menjadi diakon diosesan Keuskupan Timika di Gereja Katolik Kristus Sahabat Kita, Nabire, Papua, oleh Uskup Agats-Asmat Mgr Aloysius Murwito OFM, karena Uskup Timika Mgr John Philip Saklil meninggal dunia 3 Agustus 2019.
Untuk mengenal lebih lanjut perjalanan panggilan Diakon Budi yang bersiap menjadi imam, 21 Oktober 2020, Paul C Pati dari PEN@ Katolik mengirimnya beberapa pertanyaan lewat WhatsApp kepada Diakon Budi yang langsung dijawabnya. Jawaban itu dirangkum dalam wawancara ini.
PEN@ Katolik: Bagaimana perjalanan panggilan Diakon Budi hingga saat ini?
Diakon Vincentius Budi Nahiba: Perjalanan panggilan saya sangat panjang, jatuh bangun. Diterima masuk Seminari Wacana Bhakti, betapa senangnya. Namun, sungguh sedih, orangtua tidak izinkan saya masuk seminari dan menjadi imam. Alasan orangtua, saya anak pertama dan keluarga Tionghoa. Lagi pula, ibu saya yang masih beragama Konfucu (sekarang sudah dibaptis Katolik) tidak memahami makna panggilan imamat. Saya pun tidak jadi masuk seminari.
Setelah tamat SMA, saya kuliah di Fakultas Teknik Elektro, Unika Atma Jaya, Jakarta, dan kemudian mengembangkan karir profesional di perusahaan engineering dan perusahaan Jepang (IBM business partner). Meski cukup berhasil dan menikmati keberhasilan, saya tetap aktif dalam Legio Maria, Choice Muda-Mudi, dan Orang Muda Katolik.
Setelah bekerja kurang lebih tiga tahun di Jakarta, saya merantau ke London, Inggris, untuk mengejar masa depan lebih cerah di bidang bisnis, karir, dan keluarga. Kebetulan, adik saya lebih dulu tinggal dan bersekolah di sana. Tahun 2002, saya berangkat. Di sana, meski kuliah dan bekerja paruh waktu di toko Card Galore, saya tetap aktif dalam kegiatan rohani di Paroki Saint Patrick Wapping, dan membantu pastor paroki.
Namun, saat mulai menikmati pekerjaan, saya sakit dan masuk rumah sakit. Pengalaman ini memberi waktu untuk merenungi hidup saya. Apa makna hidup saya? Apakah karir professional dan uang itu cukup memberi makna? Saya mulai ragu akan apa yang sedang saya geluti. Dalam pergumulan eksistensial ini, saya mencari bimbingan rohani dari pastor paroki yang saya kenal baik, Pastor Digby Samuels. Beliau membantu saya melakukan spiritual discernment.
Selama pergumulan itu, saya dua kali berziarah ke Lourdes. Di sana, saya mohon bantuan Bunda Maria agar Tuhan Yesus menganugerahkan pencerahan bagi saya untuk membuat keputusan bermakna. Sejak itu, kehidupan rohani saya menjadi lebih baik dan saya tidak lagi ngoyo mengejar karir dan uang. Semangat dan perilaku doa saya bertambah kuat dan setiap hari saya mengikuti Misa harian. Di samping bekerja dan kuliah, saya libatkan diri dalam kegiatan paroki seperti pelayanan orang sakit dan lanjut usia. Saya mendampingi pastor paroki mengunjungi orang sakit dan memberikan Sakramen Perminyakan.
Keterlibatan ini tampaknya merupakan ekspresi keinginan saya untuk menapak hidup sebagai imam. Melalui keterlibatan di paroki dan pendampingan Pastor Samuels, saya mendengarkan suara Tuhan agar kembali ke panggilan masa kanak-kanak saya. Saya telah dewasa, mandiri dan tidak tergantung pada orangtua, sehingga saya lebih bebas mengikuti suara hati yang saya diamkan selama ini.
Sesuai saran Pastor Samuels untuk memperkuat iman, saya pun mengikuti pendidikan di sekolah evangelisasi Saint Patrick, London. Tahun 2004 saya mendapatkan diploma (D1) Katekismus. Di sana saya belajar Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Tradisi Gereja, dan hidup komunitas. Selama itu Pastor Samuels serta Pastor Alexander Sherbroke (direktur sekolah) membimbing saya melakukan discernment panggilan. Setelah setahun, saya memutuskan memberi diri secara total kepada Tuhan dan sesama dengan memenuhi panggilan imamat.
Tahun 2006, saya pun pernah mengikuti pembinaan menjadi postulan dan novis Dominikan di Filipina. Namun, setelah discernment, saya memutuskan mundur karena ingin menjadi imam diosesan, bukan religius.
Setelah kembali ke Indonesia, saya mengikuti formasi pendidikan lima tahun di Seminari Tinggi KAJ (2008-2013) dan mendapat gelar S-1 Filsafat Teologi, STF Driyakara, Jakarta, dan pengolahan hidup di luar seminari selama tiga tahun (2013-2017).
Apa yang membuat Frater Budi berada di Papua?
Bulan Agustus 2015, saya bertemu Uskup Emeritus Keuskupan Manokwari Sorong Mgr FX Hadi Sumarto OCarm di Jakarta. Saya bertanya kepada Mgr Hadi, apakah saya masih bisa jadi imam dengan usia di atas 40 tahun? Di Papua, kata Mgr Hadi, masih membutuhkan imam. Beliau pun merekomendasikan saya melamar ke Keuskupan Manokwari-Sorong.
Tanggal 26 Agustus 2015, saya tiba di Papua untuk pertama kali. Saya lalu menjalani tahun pengenal orientasi Keuskupan Manokwari-Sorong di Paroki Santo Agustinus Manokwari selama 13 bulan (Oktober 2015-November 2016). Dengan berbagai alasan, saya tidak melanjutkan perjalanan panggilan di keuskupan itu.
Kemudian, November 2016, saya menjadi guru volunteer kelas satu di SD YPPK Wahgete, Deiyai, di Paroki Santo Yohanes Pemandi Wahgete yang digembalakan oleh para imam Serikat Jesus. Ketika menjadi guru volunteer misi Jesuit di Wahgete, benih panggilan menjadi imam muncul kembali saat saya melihat secara nyata bahwa umat di pedalaman sangat merindukan Sakramen Ekaristi dan kekurangan imam di Keuskupan Timika.
Dalam hati kecil, saya masih rasakan getaran panggilan Tuhan. Tetapi, saya merefleksikan “ke manakah saya akan melangkah? Pada suatu peristiwa saya mengalami pengalaman rohani. Ketika pastor paroki dan pewarta tidak berada di paroki dan umat mencari pewarta untuk memimpin ibadat, ketua dewan paroki meminta saya memimpin ibadat Hari Minggu yang dihadiri lebih dari 600 umat. Setelah saya memimpin ibadat Hari Minggu di Paroki Santo Yohanes Pemandi Wahgete, umat di sana langsung memanggil saya pater, pater … Saya sangat terkejut. Apakah ini tanda Tuhan bagi saya untuk melanjutkan panggilan menjadi imam di Tanah Papua?
Dalam proses discernment panggilan, bulan April 2017 saya menghadap Vikjen Keuskupan Timika Pastor Marten Kuayo Pr saat itu yang juga Dekan Dekanat Paniai di Enarotali. Saya tanya, apakah saya masih ada kesempatan melanjutkan panggilan menjadi imam diosesan di Keuskupan Timika. Pastor Marten mengatakan, silahkan kirim lamaran ke Uskup Timika Mgr John Philip Saklil. Puji Tuhan, Mgr John berkenan menerima saya menjadi calon imam Keuskupan Timika dan beliau mengutus saya menjalani tugas orientasi kerasulan di Stasi Mimika Timur Jauh, Paroki Mapuru Jaya, Mimika, bersama dengan Suku Kamoro Sempan selama 14 bulan (Oktober 2017-Desember 2018).
Bagaimana sebenarnya pembentukan diri Anda selama di Papua?
Pengalaman berpastoral dan hidup bersama masyarakat Mimika Timur Jauh (2017-2018) membentuk saya menjadi pribadi tangguh (pantang menyerah akan situasi dan kondisi lapangan), beriman kuat, dan pasrah kepada kehendak Tuhan meski melewati laut, ombak dan sungai. Dari filosofi Suku Kamoro Sempan yang berlandaskan alam dan pasang surut air laut, saya belajar menikmati hidup atas segala alam yang tersedia di Mimika Timur Jauh, seperti masyarakat Suku Kamoro Sempan yang hidup bersahabat dengan alam.
Selain itu, saya merasa Tuhan ingin saya menjadi manusia yang berkenosis (pengosongan diri) dan manusia yang rendah hati untuk menerima berbagai masukan dan kearifan lokal di Tanah Papua khususnya melayani umat Keuskupan Timika. Berbagai konsep pemikiran, pola kerja, orientasi kerja, dan dinamika hidup yang tertanam dalam diri saya sebagai pribadi ‘kelahiran Ibu Kota Metropolitan Jakarta’ dan hidup di berbagai negara dan suku bangsa berbeda serta pendidikan intelektual Sarjana Teknik Elektro dan Filsafat Teologi, juga pengalaman bekerja di dalam dan luar negeri, seta latar adat budaya Tionghoa, seolah-olah diruntuhkan dan dibentuk menjadi ‘manusia Vincentius Budi yang baru ala Papua’ oleh Sang Guru Tuhan Yesus. Benturan budaya, adat, tingkah laku, dan norma hidup masyarakat Suku Kamoro menjadi pelajaran sangat berharga dalam inisiasi dalam kehidupan dan menggereja di Papua khususnya di Keuskupan Timika tercinta.
Saya berharap berbagai pengalaman pendidikan (S-1 Teknik Elektro, S-1 Filsafat Teologi, D-1 Katekese), pengalaman kerja sebagai engineer, sales engineer, perencanaan produksi, dan guru, serta pengalaman pastoral sebagai guru agama, guru Sekami, petugas pastoral, dan penguasaan bahasa Inggris serta semangat panggilan yang masih menyala, menjadi persembahan diri saya untuk melayani umat dan Keuskupan Timika.
Bagaimana ‘refleksi’ frater tentang menjadi seorang diakon?
Puji Syukur dan terima kasih kepada Allah Bapa Yang Maha Baik atas penyertaan dan bimbingan-Nya, pimpinan Keuskupan Timika memberikan kesempatan kepada saya untuk menerima Tahbisan Diakonat melalui tangan Mgr Aloysius Murwito OFM, 11 Oktober 2020. Sejujurnya, hati kecil saya kaget saat pembina di Seminari Tinggi memanggil saya 12 Agustus 2020 dan menyampaikan kabar sukacita bahwa pimpinan Keuskupan Timika meminta saya mempersiapkan diri untuk menerima tahbisan Diakonat bulan Oktober 2020. Saya masih mengalami keterkejutan atas berita kabar sukacita ini dalam beberapa hati.
Di dalam suasana kaget ini, saya teringat Bunda Maria yang menerima Kabar Gembira dari malaikat Tuhan. Bunda Maria hanya berdoa dan pasrah kepada kehendak Tuhan dalam dirinya sebagai ibu penebus umat manusia. Dalam keterkejutan menerima kabar sukacita ini, saya mencoba mengheningkan diri dan berdoa di Kapel Yesus Bangkit di Seminari Tinggi Yerusalem Baru, Abepura, Jayapura. Dalam keheningan dan kepasrahan diri, saya seakan-akan merasakan Tuhan Yesus menyapa saya dan berkata, “Budi, jangan takut, pasrah kehendak Allah, biar Dia yang atur hidup dan panggilanmu.” Ya, Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendak-Mu. Terima kasih Tuhan atas anugerah kabar sukacita Tahbisan Diakonat ini. Here Am I Lord, I am coming to do Your Will. Inilah Tuhan, saya siap melakukan kehendak-Mu.
Memang, saya sudah menjalani ujian Ad Audiendas sebagai tahap akhir untuk memenuhi persyaratan Tahbisan Diakonat dan juga menyelesaikan tugas makalah akhir sebagai salah satu kelulusan kuliah pascasarjana. Namun, saya masih menyisakan kuliah satu semester terakhir dengan lima mata kuliah. Sesuai rencana, saya kira akan menyelesaikan kuliah pascasarjana Desember 2020, dan tahun 2021, jikalau Tuhan berkenan baru saya akan menerima tahbisan. Di dalam Kitab Suci, Tuhan berkata bahwa rancangan-Ku, bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku (Yes 55:8).
Tuhan punya rencana dan rancangan dalam panggilan saya melalui pimpinan Keuskupan Timika. Saya sudah menyerahkan seluruh hidup dan panggilan saya kepada Tuhan melalui pimpinan Keuskupan Timika untuk menjadi gembala umat di Tanah Papua (Keuskupan Timika). Saya diterima menjadi calon imam Keuskupan Timika oleh Almarhum Mgr John Philip Saklil, September 2017. Saya sudah memberikan diri secara total kepada Keuskupan Timika untuk diproses dan dibentuk menjadi imam di Tanah Papua. Apapun rencana Keuskupan Timika, saya terima dengan penuh sukacita dan ketaatan kepada Tuhan melalui pimpinan keuskupan dan para penggantinya.
Saya teringat pesan Pastor Marten Kuayo ketika membaca tugas perutusan bagi semua yang tertahbis (dua imam dan delapan diakon) di Gereja Katolik Kristus Sahabat Kita Nabire, 11 Oktober 2020. Administrator Diosesan Keuskupan Timika itu berpesan agar menjadi gembala penyatu dalam situasi dan kondisi sosial politik yang sedikit bergejolak di beberapa wilayah Keuskupan Timika. Pastor Marten juga berpesan bahwa kita diutus seperti anak domba di tengah serigala. “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Lukas 10:3). Berdasarkan pesan penting itu, saya kini menjalankan tugas perutusan di Paroki Santo Fransiskus Epouto sebagai penanggung paroki.
Di hati kecil, sebenarnya saya agak terkejut dengan tugas perutusan pertama menjadi diakon di Paroki Epouto, seorang diri dan belajar bersama umat di sana. Namun, dengan penuh kepasrahan akan penyelenggaraan Ilahi, Tuhan akan selalu menuntun langkah hidup dan pastoral di tanah terjanji.
Arti harafiah diakon adalah ‘terobos debu” atau menabrak debu, maka saya akan berusaha menerobos berbagai rintangan ‘debu’ dalam melayani umat Suku MEE di Epouto dalam gerak langkah keuskupan.
Dari berbagai data dan sumber informasi, masyarakat Epouto adalah masyarakat homogen yang terdiri hanya masyarakat asli Papua saja dari Suku MEE. Saya mungkin akan menjadi satu-satunya pendatang yang tinggal bersama mereka. Saya akan jadi petugas pastoral non-Papua yang menerobos debu untuk tinggal bersama masyarakat Epouto.
Epouto adalah pusat misi pendidikan Pegunungan Tengah jaman misi dulu, yang hasilkan teolog terkenal, Doktor Neles Tebay, dan dokter pertama Suku MEE, Dokter Yanuarius Mote, serta berbagai penjabat atau tokoh masyarakat MEPAGO di seluruh Tanah Papua. Dan sekarang, Epouto adalah monumen sejarah dan saksi hidup akan kehebatan para misionaris jaman Belanda. Wilayah Epouto yang dikelilingi Danau Tage dilukiskan oleh para misionaris Belanda seperti Holandia Baru.
Melihat realitas kehidupan masyarakat Epouto di zaman modern ini, kita tidak bisa hanya bernostagia akan kejayaan Epouto Holandia Baru jaman para misionaris Fransiskan Belanda di Epouto. Yang jadi pertanyaan sebagai diakon tertahbis, apa yang bisa saya lakukan untuk pengembangan di Epouto. Dulu, para misionaris datang dan bekerja di tanah subur Epouto. Mereka datang sebagai komunitas (berkelompok) dengan dana besar serta berbagai ketrampilan pertanian dan peternakan. Sedangkan Budi, yang datang seorang diri, adalah orang metropolitan, mencangkul saja tidak bisa, apalagi mengembangkan peternakan atau pertanian.
Dalam retret diakonat di Timika, 21-26 September 2020, saya menemukan moto tahbisan diakonat yaitu setia dalam pelayanan. “Aku Bersyukur kepada Dia, yang menggunakan aku yaitu Yesus Kristus karena Ia anggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku (I Tim 1:12).” Saya akan menjalankan tugas perutusan diakonat di Epouto hanya mengandalkan Tuhan, in te Domini Speravi, dan menjalankan segala tugas perutusan dengan setia dalam pelayanan.
Bagaimana situasi Keuskupan Timika?
Keuskupan Timika mempunyai luas 102.892 kilometer persegi. Kondisi alam setempat membagi dan membentuk masyarakat menjadi dua model berbeda karakter. Bagian Utara dan Selatan merupakan dataran rendah yang didominasi hutan tropis, sungai-sungai, dan rawa serta pantai (suku peramu) dan pegunungan (masyarakat petani). Dua kelompok masyarakat yang hidup di Keuskupan Timika adalah masyarakat yang hidup di pesisir (daerah pantai) sebagai masyarakat peramu dan masyarakat yang hidup di dataran tinggi. Pelayanan wilayah kota sangat heterogen karena seluruh suku di Nusantara ada di sana, dan di pedalaman masih masyarakat asli.
Pelayanan penggembalaan di Keuskupan Timika dibagi dalam enam dekenat dengan 31 paroki dan 11 kuasi paroki. Beberapa paroki dan kuasi belum punya pastor paroki, dan masih dilayani petugas pastoral awam. Berbagai paroki belum punya akses transportasi. Jalan masih berbatu belum diaspal, listrik tidak ada, sinyal tidak ada. Di beberapa paroki, pastor mengadakan kunjungan umat dengan berjalan kaki naik turun gunung, bukit dan lembah, atau menerobos ombak, sungai dan lautan.
Gereja Katolik Keuskupan Timika bukan saja milik masyarakat asli melainkan bersama antara umat pribumi pesisir Papua, dataran tinggi dan non-Papua (Jawa, Tionghoa, Key, Toraja, Manado, NTT).
Bentuk pelayanan yang bagaimana yang akan frater jalankan sebagai diakon dan nanti sebagai imam?
Saya teringat sambutan Pastor Marten Kuayo dalam Misa Pentahbisan Imam dan Diakon. Imam itu mengatakan bahwa kami delapan frater yang akan ditahbiskan menjadi diakon adalah warisan atau wasiat dari Almarhum Uskup John Philip Saklil. Saya sebagai pribadi yang tidak layak diterima dan diberi kesempatan oleh Mgr John Philip Saklil menjadi calon imam Keuskupan Timika ini. Saya secara pribadi akan melanjutkan karya dan pelayanan Keuskupan Timika sesuai gerakan pastoral Gerakan Tungku Api Kehidupan.
Dalam pengembangan Gerakan Tungku Api Kehidupan di Epouto, saya akan fokus mengembangkan kehidupan beriman umat terlebih dahulu sambil melihat berbagai peluang dan kesempatan serta potensi umat Epouto. Saya akan berjalan beriringan dengan umat Epouto dalam semangat Gerakan Tungku Api Kehidupan untuk menuju kemandirian umat dalam iman dan sosial ekonomi. Saya akan berusaha menyadarkan umat Epouto untuk tidak selalu teringat kembali nostalgia Holandia Baru. Sekarang jaman sudah berubah, bukan lagi pastor Belanda yang selalu menyediakan atau mengembangkan segala sesuatu. Sekarang saatnya, umat dan masyarakat Epouto yang menentukan diri sendiri dalam pengembangan sosial ekonomi. Saya hanya petugas pastoral yang menjadi fasilitator dan teman seperjalanan dalam semangat pastoral baru Keuskupan Timika tercinta.***
Frater Diakon Vincent Budhi, proficiat! Kita pernah berjumpa dan akan tetap saling mendukung di dalam Yesus. GBU always.