Para pemimpin agama di Sri Lanka, bersama perwakilan masyarakat sipil, telah memberikan suara mereka sebagai protes terhadap amandemen konstitusi yang mereka khawatirkan akan mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan presiden dan merusak demokrasi negara.
Sejak diberlakukan tahun 1978 konstitusi Sri Lanka telah diubah sembilan belas kali. Bulan September, pemerintah mengeluarkan usulan amandemen ke-20 pada konstitusi itu.
Amandemen ke-20, jika disahkan, akan memberikan lebih banyak kekuasaan kepada presiden eksekutif, termasuk kekebalan hukum penuh. Ini juga akan melemahkan parlemen, perdana menteri dan para menteri, serta mengurangi independensi peradilan dan badan independen lainnya.
Putusan Mahkamah Agung atas usulan amandemen itu telah diserahkan kepada presiden dan ketua parlemen. Mereka akan mengumumkan keputusan itu ke parlemen tanggal 20 Oktober. Sejauh ini, sedikitnya 38 petisi yang menentang amandemen itu telah diajukan ke Mahkamah Agung oleh perorangan dan kelompok.
Konferensi Waligereja Sri Lanka, dalam sebuah pernyataan 13 Oktober 2020, menekankan bahwa “pemusatan kekuasaan dalam diri seseorang tanpa pengawasan dan keseimbangan tidak memberikan pertanda baik bagi sebuah republik sosialis dan demokratis.”
Menurut para uskup “perlu lebih banyak penjelasan kalau konstitusi itu ingin melayani warga negara, maka amandemen ke-20 tidak boleh dilanjutkan, secara keseluruhan.” Sebaliknya, “konstitusi baru harus menjadi prioritas nasional saat ini.”
“Mayoritas dua pertiga anggota parlemen yang berdasarkan partai politik tidak serta merta menunjukkan hati nurani yang sebenarnya dari rakyat,” lanjut para uskup.
Para uskup juga mengenang bahwa semua presiden terpilih sejak 1994 telah bersumpah untuk menghapuskan kepresidenan yang eksekutif dan mengalihkan kekuasaan kepada presiden yang dipilih secara demokratis tetapi tidak ada yang “memiliki kemauan politik untuk melakukannya karena alasan-alasan yang tidak diketahui rakyat.”
Para pemimpin agama dan perwakilan masyarakat sipil lainnya juga angkat bicara menentang usulan amandemen itu.
Dalam pernyataan bersama 13 Oktober, beberapa denominasi Kristen lain, termasuk Gereja Metodis Sri Lanka, Gereja Baptis Sri Lanka, Bala Keselamatan, dan Gereja India Selatan, antara lain meminta pemerintah agar meningkatkan kemerdekaan lembaga-lembaga utama dan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Dua ordo monastik besar Buddha di negara itu, Amarapura dan Ramanna Nikayas, juga mendesak pemerintah dalam seruan bersama 12 Oktober, untuk mencabut amandemen ke-20 itu dan memperingatkan bahwa amandemen itu “menolak nilai-nilai inti demokrasi” dan akan membuka jalan otoritarianisme.(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)