Dalam sebuah rekoleksi untuk anak-anak SD kelas 6, sang fasilitator meminta masing-masing peserta meniup balon, menuliskan nama masing-masing di balon itu, dan melemparkannya ke dalam aula. Sang fasilitator lalu mencampur semua balon itu dan memberi waktu lima menit kepada anak-anak untuk menemukan balon yang bertuliskan namanya. Karena tergesa-gesa, tidak ada satupun anak bisa menemukan balonnya.
Melihat itu, sang fasilitator menyuruh anak-anak mengambil balon yang paling dekat dengan mereka dan memberikannya kepada anak yang namanya tertera di balon itu. Dalam waktu kurang dari dua menit, semua anak berhasil memegang balonnya sendiri.
Sang fasilitator pun berkata kepada anak-anak itu, “Balon-balon ini ibarat kebahagiaan. Kalian tidak akan menemukannya ketika dirimu hanya mencari milikmu sendiri. Akan tetapi, jika kita peduli dengan memberikan kebahagiaan kepada orang lain, pada akhirnya kita pun akan menerima dan menemukan kebahagiaan kita sendiri.”
Sahabat terkasih, ilustrasi di atas mengandung pesan moral bahwa kebahagiaan itu sederhana, dan untuk mendapatkannya kita hanya perlu belajar untuk saling memberi dan menerima (take and give). Banyak orang tidak bahagia, karena terlalu tinggi menetapkan standar kebahagiaan mereka. Akibatnya, mereka tidak dapat melihat dan merasakan kebahagiaan yang ada di hadapan mereka atau yang sedang orang lain tawarkan atau berikan kepada mereka.
Hal itu bisa terjadi karena ego, kesombongan dan sikap yang suka meremehkan orang lain. Hal itu pun terjadi pada orang-orang Narazeth yang menolak ajaran Yesus, seperti yang dikisahkan dalam bacaan Injil hari ini 31 Agustus 2020 (Lukas 4: 16-30).
Pada waktu itu, Yesus datang ke tempat asalnya untuk membawa kabar gembira, kata-Nya, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Lalu Yesus memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”
Namun, karena ‘standar’ mereka terlalu tinggi, mereka pun meremehkan Yesus yang hanyalah anak seorang tukang kayu. Mereka menolak untuk percaya dan menerima kebahagiaan dan sukacita yang Yesus berikan kepada mereka. Akibatnya, Yesus tidak mengadakan satu mujizat pun di sana.
Kini, jika boleh kita renungkan sejenak. “Adakah yang menghalangi kita untuk merasa bahagia? Mungkinkah hal itu disebabkan karena ‘standar’ kebahagiaan kita yang terlalu tinggi?”
Semoga semua ini dapat menginspirasi hati dan iman kita, bahwa untuk menjadi bahagia kita perlu terus belajar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, dan di saat yang sama kita pun perlu untuk menjadi murah hati dan peduli terhadap kebutuhan (kebahagiaan) orang lain.
Semua ini dapat terwujud, asalkan kita mau menjadi pribadi sederhana, rendah hati, dan memiliki ‘standar’ kebahagiaan bukan berdasarkan ukuran manusia, tetapi berdasarkan hikmat yang berasal dari Roh Allah sendiri.
Dalam hal ini, Rasul Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan kita semua dengan berkata, “Hendaknya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.” (1Kor 2:1-5)
Frater Agustinus Hermawan OP
Amen