Aula Provinsialat MSC di Jakarta terlihat indah dengan dekorasi menarik sementara bunga-bunga bagus dan mahal ditata indah di depan altar pagi itu. Melihat semuanya, Pastor Lambertus Somar MSC mengatakan, “mungkin Anda melihat hiasan-hiasan bagus ini, itulah MSC, kalau benar-benar MSC, engkau akan dapat itu. Percaya itu!”
Demikian Pastor Somar mengartikan Societas Missionariorum Sacratissimi Cordis Jesu (Tarekat MSC, Misionaris Hati Kudus) dalam homili Misa Syukur 60 Tahun Hidup Membiara Pastor Lembertus Somar MSC, Pastor Titus Rahail MSC, Pastor Johanis Mengko MSC, di aula itu, 22 Agustus 2020. Pastor Rahail dan Pastor Mengko merayakannya di tempat lain.
Pastor Somar senang karena perayaan itu dilaksanakan di tempat bersejarah pada tanggal bersejarah juga. Hari itu Skolastikat MSC Pineleng dan Sekolah Tinggi Seminari Pineleng merayakan 60 tahun berdiri secara resmi, “karena sebelumnya jalan sembunyi-sembunyi.”
Misa dengan peserta terbatas dan protokol kesehatan Covid-19 itu dipimpin oleh Provinsial MSC Pastor Samuel Maranresy MSC. Mengawali homili yang dilanjutkan Pastor Somar, provinsial mengaku kagum atas diri para yubilaris “karena melalui kehidupan dan jatuh bangun, mereka telah membuat bacaan-bacaan yang kita dengar hari ini menjadi benar.”
Tepatnya, lanjut Pastor Maranresy, “Mereka selalu arahkan perhatian kepada Kristus yang jadi tujuan. Mereka berani melupakan sanak-saudara, bapa-ibu, dan pertalian keluarga yang sangat dekat untuk memberi diri secara penuh untuk Tuhan dan pelayanan manusia.” Maka, mereka memberikan kesaksian tentang cinta, tentang kasih, tentang visi sekaligus misi MSC, “Semoga Hati Kudus Yesus semakin dikenal dan dikasihi di mana-mana.”
Dalam sharing kebijaksanaan kehidupan yang menuntun atau menjadi inspirasinya, Pastor Somar mengaku, dia berusaha sebaik mungkin, kerja siang dan malam, senyum terus tanpa takut. “Dan apa yang terjadi? Ini, semua hiasan ini, dibuat oleh orang lain, bukan saya, saya heran sekali, ini bagus.”
Imam yang mengaku angkatan pertama Skolastikat MSC Pineleng dan imam pertama made-in Indonesia itu pun bersaksi bahwa MSC sudah memberikan bantuan di seluruh Indonesia “dan semua orang mengucapkan terima kasih kepada orang-orang tertentu, bukan buat saya. MSC kalau dipuji harus lewat orang lain. Tapi kita perlu catat itu, mereka jadi besar dan kita jadi kecil. Itu yang dibuat oleh misionaris.”
Semua yang hebat itu disyukuri oleh Pastor Somar yang kini berkarya di Panti Rehabilitasi Kedhaton Parahita di Sentul City, Bogor, yang dibangun melalui Yayasan Kasih Mulia (YKM) yang dia dirikan 21 Oktober 1998 untuk penyuluhan bagi anak-anak dan orangtua, serta rehabilitasi korban narkoba.
Menurut imam kelahiran Merauke, 20 Mei 1932, hidup harus serius dan menggembirakan. “Susah jangan ditangisi tapi diterima sebagai inspirasi, dan untuk itu banyak hal terjadi karena tangan-tangan banyak orang. Kini, tiap bulan ada orang memberi bunga anggrek untuk provinsialat, ada banyak pasukan yang dengan semangat menjadi rasul-rasul luar biasa,” kata imam itu seraya menegaskan, “Kehidupan yang tidak membuat orang lain besar dan maju, itu bukan MSC. Saya belajar itu dari Yesus sendiri.”
Demikianlah MSC, lanjut Pastor Somar, imam pertama MSC Indonesia yang pernah jadi misionaris di luar negeri di Fiji selama 10 tahun, “Harus total, tidak ada mundurnya. Susah itu jaminan untuk maju. Kalau mundur, pasti gagal, karena tidak gunakan kesempatan.” Dan itu terlihat dalam Ekaristi, “seluruh perjalanan Kristus menunjukkan pengorbanan-Nya sampai mati.” Sebagai bukti cinta, imam itu berharap MSC membawa cinta-Nya agar orang lain mengenal dan hidup karena cinta-Nya.”
Menjelaskan bahwa Provinsialat MSC Jakarta adalah tempat bersejarah, Pastor Somar bercerita, dulu Gereja Katolik Indonesia itu untuk penjajah, supaya orang Eropa dilayani. “Orang Indonesia tak diperhatikan. Dan dari tempat ini, MSC jadi kelompok pertama yang dikirim melayani orang pribumi di sebelah Timur.
Meski tidak terlalu jelas Timur itu di mana, MSC pergi saja di situ. “Saya lahir di Papua dari keluarga misionaris yang dilatih oleh orang MSC untuk masuk daerah itu. Waktu saya lahir, orang di Papua masih ‘potong orang’, maka bayangkan Papua seperti apa waktu itu.”
Pastor Somar sendiri melihat ayah dan ibunya bekerja keras untuk orang Papua. “Mereka bekerja 60 tahun lebih untuk orang Papua, tetapi tidak punya properti di mana-mana. Propertinya adalah orang Papua dan mereka juga jadi orang Papua.”
Imam itu lalu menceritakan apa yang dia dengar waktu kecil tentang kehebatan misionaris. “Seorang pastor datang menobatkan warga sebuah desa di Merauke, namun orang Papua memandang orang lain itu musuh. Tujuh hari bolak balik, tidak diterima. Dia pun kelaparan dan pingsan. Seorang pemotong kayu menemukan dan merawatnya seminggu. Sehat lagi, dia datang kembali. Hari itu dia tinggal di desa itu dan tak mau pulang. Akhirnya orang Papua bilang, ini rupanya teman, dan mereka menerima iman.”
Menurut Pastor Somar ada yang luar biasa dari misionaris. “Mereka datang dan tidak pikir pulang.” Dan dia bertanya kepada para konfraternya, apakah ada imam Belanda yang pernah di Indonesia mau cepat-cepat pulang? “Tidak ada kan?!” Apakah ada imam yang dapat paroki pikir cepat tiga tahun supaya cepat pindah? “Tidak ada! Kecuali, dipaksa pindah. Luar biasa, sekali maju tetap maju, tidak ada mundurnya. Menjadi MSC sampai mati. Kerja sampai mati. Pensiunnya di surga. Yesus pun begitu, sampai mati. Itu namanya cinta.”(PEN@ Katolik/paul c pati/aop)