(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu Paskah ke-5, 10 Mei 2020: Yohanes 14: 1-12)
Sudah beberapa minggu kita telah menutup gereja-gereja untuk pelayanan publik. Kita beralih ke Misa live streaming, dan kita belajar menyesuaikan diri dan mengutamakan kesehatan dan kehidupan kita. Tetapi, kita menyadari bahwa hati kita tetap gelisah. Kita ingin melihat Yesus dalam Sakramen Mahakudus, kita berhasrat menerima-Nya dalam Ekaristi, kita ingin melayani-Nya di paroki dan komunitas, dan kita kehilangan Sakramen Pengakuan Dosa. Kita tidak tahu kapan akan berakhir dan kembali normal.
Kita seperti para murid dalam Injil minggu ini. Hati mereka gelisah karena Yesus akan meninggalkan mereka. Mereka sedang berada pada perjamuan Paskah, dan hal ini seharusnya merupakan perayaan yang menggembirakan. Namun, Yesus mengumumkan bahwa seseorang akan mengkhianati Dia dan Dia akan diambil dari mereka. Para murid telah meninggalkan segalanya, dan mengikuti Yesus karena mereka berharap Yesus sebagai Mesias akan menggulingkan kekaisaran Romawi dan mengembalikan kemuliaan Israel. Mereka tidak bisa menerima kemungkinan kegagalan total dari Yesus. Apakah mereka berpegang pada harapan palsu? Apakah Yesus menyebarkan kabar hoax? Apakah pengorbanan mereka sia-sia? Kita seperti para murid. Setelah kita memberikan segalanya untuk mengikuti Yesus, untuk melayani Gereja-Nya dan untuk bekerja di kebun anggur-Nya, kita merasa Dia hilang. Di mana Yesus ketika kita paling membutuhkan Dia?
Yesus mengenal hati para murid-Nya dan meyakinkan mereka untuk miliki iman kepada Allah dan kepada-Nya. Namun, yang muncul setelah kata penguatan ini adalah bahwa Yesus memberi tahu para murid bahwa ada banyak tempat tinggal di rumah Bapa-Nya dan Dia akan pergi untuk mempersiapkan tempat-tempat itu. Untuk menghibur para murid, Yesus tidak mengatakan bahwa Ia akan kembali menjadi pemenang, atau Ia akan menghancurkan semua musuh Israel. Dia berkata bahwa Dia akan menyiapkan tempat tinggal. Hal ini tidak masuk akal.
Untuk memahami hal ini, kita perlu mengetahui upacara pernikahan di zaman Yesus. Pada masa ini, pernikahan dilakukan dalam dua tahap. Yang pertama adalah pertunangan dan tahap kedua adalah perayaan pernikahan. Pada tahap pertunangan, kedua mempelai sebenarnya telah berjanji dan telah menjadi suami dan istri di mata hukum, tetapi mereka belum tinggal bersama dalam satu rumah. Mereka harus menunggu sekitar satu tahun sebelum upacara tahap terakhir. Setelah sekitar setahun, pengantin wanita akan dibawa dalam prosesi ke rumah pengantin pria, dan mereka akan mengadakan perayaan selama seminggu. Kenapa menunggu satu tahun? Alasannya praktis. Ini memberi cukup waktu bagi mempelai lelaki itu untuk mempersiapkan perayaan serta membangun tempat yang layak bagi pengantin wanita.
Satu citra Gereja sehubungan dengan Yesus adalah bahwa ia adalah mempelai wanita Kristus [lih. Yoh 3:29; 2 Kor 11:2]. Jika kita menerapkan upacara pernikahan Yahudi pada zaman Yesus ini bagi Gereja dan Yesus, kita menemukan bahwa pertunangan telah terjadi, tetapi belum mencapai perayaan pernikahan. Yesus tidak bersama Gereja-Nya karena Dia ada Rumah Bapa untuk mempersiapkan tempat tinggal bagi kita, mempelai-Nya.
Pada saat pandemi, hati kita pasti gelisah, dan dengan gereja-gereja ditutup, kita merasa bahwa Tuhan kita diambil dari kita. Namun, waktu yang sulit sebenarnya bisa menjadi perjalanan menuju tempat tinggal yang jauh lebih baik yang disiapkan oleh Yesus. Kita mungkin belum melihat hal-hal yang lebih baik yang akan kita alami, tetapi Yesus meyakinkan kita bahwa Allah memegang kendali. Dalam kehidupan yang penuh badai ini, kita dapat melihat tempat yang indah yang disiapkan oleh Yesus, mempelai kita.
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP