“Minggu lalu kita merayakan kebangkitan Tuhan. Hari ini kita menyaksikan kebangkitan murid-Nya.” Itulah kalimat pembuka Paus Fransiskus dalam Misa Minggu Kerahiman Ilahi di Gereja Roh Kudus di Saxony, sekitar 200 meter dari Lapangan Santo Petrus. Karena langkah-langkah keamanan Covid-19, Misa itu kembali dirayakan tanpa kehadiran umat beriman.
Paus menceritakan, satu minggu setelah Yesus bangkit dari mati, para murid masih “takut, bersembunyi ketakutan di tempat dengan ‘pintu-pintu terkunci’.” Tanggapan Yesus terhadap ketakutan mereka adalah “Damai sejahtera bagi kamu!”
Yesus “memulai dari awal,” jelas Paus. “Kebangkitan murid-Nya dimulai,” dengan “kesetiaan, belas kasihan yang sabar.” Dengan cara itu, kita belajar bahwa Allah tidak bosan mengangkat kita kalau kita kita jatuh. Allah seperti seorang ayah yang mengizinkan kita mengambil langkah-langkah tentatif dan mengangkat kita setiap kali kita jatuh.
“Tangan yang selalu membuat kita berjalan kembali adalah belas kasihan” (kerahiman), kata Paus. Allah tahu kita akan terus jatuh. Tetapi Dia akan selalu mengangkat kita karena “Dia ingin kita melihat kepada-Nya” bukan kegagalan kita, kata Paus. “Tuhan menunggu kita memberikan kepada-Nya kegagalan-kegagalan kita agar Dia bisa membantu kita mengalami kerahiman-Nya,” tegas Paus.
Semua murid telah meninggalkan Yesus. Mereka semua merasa bersalah. Tapi, bukannya “memberi mereka khotbah panjang,” Yesus menunjukkan luka-luka-Nya kepada mereka. Thomas tidak ada di situ di saat pertama. Namun ketika dia menyentuh luka-luka itu, “dia melewati murid-murid lainnya. Dia bukan hanya percaya pada kebangkitan,” tetapi juga pada kasih Allah yang tak terbatas.
Ketika “manusia yang terluka (Thomas) memasuki” luka-luka Yesus, dia bangkit dari mati, tegas Paus Fransiskus. “Ketika Allah menjadi Allahku … kita mulai menerima diri kita sendiri dan mencintai kehidupan apa adanya,” lanjut Paus.
Thomas membantu kita memahami betapa berharganya kita bagi Tuhan dalam kerentanan kita, seperti kristal yang indah, rapuh, tetapi berharga. Kalau kita seperti kristal itu, “cahaya kerahiman Yesus akan menyinari kita dan menyinari dunia melalui kita.” Cahaya itu akan membantu kita menunggu orang lain, seperti Yesus menunggu Thomas, maka tidak ada seorang pun “tertinggal” saat seluruh dunia pulih dari krisis Covid-19.
“Sikap acuh tak acuh yang mementingkan diri sendiri adalah krisis yang lebih buruk daripada pandemi,” Paus memperingatkan. Sikap itu “disebarkan oleh pemikiran bahwa kehidupan lebih baik kalau lebih baik untuk saya.”
Paus mohon agar kita belajar dari umat Kristen perdana. Karena, mereka telah “menerima kerahiman dan hidup dengan kerahiman,” mereka mengumpulkan semua sumber daya mereka bersama-sama, dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. “Ini bukan ideologi,” jelas Paus. “Itulah agama Kristen.”
Paus mengakhiri homili dengan mendorong kita menyambut krisis saat ini sebagai “kesempatan untuk mempersiapkan masa depan kita bersama.” Upaya pemulihan perlu merangkul semua orang, kata Paus. Kalau tidak, “tidak akan ada masa depan bagi siapa pun.” Paus ingatkan, “Kasih Yesus yang sederhana dan melumpuhkan” menghidupkan kembali hati Thomas. Semoga kita juga menerima kerahiman Yesus dan menunjukkan kerahiman itu kepada orang-orang paling rentan, kata Paus. “Itulah yang menyelamatkan dan membangun dunia.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan laporan Suster Bernadette M Reis fsp/Vatican News)
Artikel Terkait:
Paus Fransiskus akan rayakan Minggu Kerahiman Ilahi di gereja Roh Kudus Roma