Jumat Agung, tepat pukul 3 sore WIB, Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko “sendirian” memasuki Katedral Semarang dari pintu depan katedral dan beberapa kali berhenti lalu memandang bangku-bangku kosong di katedral itu sebelum seterusnya merebahkan diri di depan altar.
Liturgi Mengenang Sengsara Yesus pun dimulai, namun tidak ada seorang pun muncul di altar. Bacaan pertama, kedua, dan Injil (Passio), serta mazmur tanggapan dan pengantar Injil, semua dibawakan tanpa menampilkan pembaca dan pemazmurnya. Yang tampil di layar saat bacaan-bacaan itu hanyalah gambar-gambar kudus yang sesuai bacaan-bacaan dan Passio serta Salib bertuliskan INRI tertutup kain ungu.
Selesai Passio, Mgr Ruby naik ke mimbar dan memberikan homili kepada umat yang mengikuti ibadah itu secara live streaming. Sebanyak 20.000 lebih viewer terlihat dalam catatan di bawah layar Youtube yang menyiarkan ibadah itu.
“Sendirian.” Kata itu mengawali homili Mgr Ruby. “Itulah sebuah kata yang mungkin dapat secara sederhana melukiskan pergumulan atau pergulatan Yesus pada akhir kehidupan-Nya. Yesus merasa sendirian dan harus menanggung sendirian akibat dari keputusan-Nya, ketika Dia berkata kepada Bapa-Nya, yang Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu,” lanjut Mgr Ruby.
“Sebuah keputusan bebas merdeka yang telah menyeret-Nya kepada kematian di kayu Salib dan Yesus harus menanggungnya sendirian. Mengapa demikian? Karena orang-orang dekat-Nya lari meninggalkan-Nya. Mereka lari meninggalkan diri-Nya untuk mencari aman dan selamat sendiri. Mungkinkah ini menjadi gambaran kita yang kadang-kadang melarikan diri ketika ada masalah menghadang kita atau ketidakpedulian kita ketika ada teman atau saudara kita yang mengalami kesulitan?” tanya uskup agung itu.
Mgr Ruby menceritakan bagaimana Petrus yang awalnya tampil garang dengan pedangnya, “juga akhirnya menyembunyikan diri karena ketakutan,” dan bagaimana Yesus berujang sendiri di pengadilan tanpa ada yang menemani. “Hanya ibunda-Nya Maria yang ditemani beberapa perempuan lain yang setia mengikuti Yesus semenjak dari rumah Pilatus sampai ke Gunung Golgota. Bunda Maria setia menemani Yesus dalam perjalanan Salib-Nya, bahkan sampai wafat-Nya. Inilah pengalaman yang sangat meneguhkan dari seorang ibu terhadap anaknya,” jelas prelatus itu.
Kembali Yesus sendirian mendengarkan atau menerima cemoohan, ejekan, olok-olok, dan caci maki. Dia sendirian harus menanggung penderitaan, disesah, digebuki, dan akhirnya harus memanggul salib sendirian menuju gunung Golgota. “Dan, puncak kesendirian itu nampak ketika Yesus berseru, ‘Allah-Ku Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ Sebuah jeritan yang mengungkapkan kesendirian yang sangat mendalam dan mencekam. Justru di saat akhir kehidupan-Nya, Yesus merasa seakan-Allah Bapa meninggalkan-Nya dan tidak mempedulikan-Nya,” jelas Mgr Ruby.
Meskipun demikian, lanjut Uskup Agung Semarang itu, “Yesus tetap bertahan, bertahan sampai akhir, setia sampai akhir, ketika Dia harus wafat di kayu salib. Semua itu Dia terima, Dia jalani sendirian dengan penuh kerelaan dan kemerdekaan atau kebebasan.”
Mengapa demikian, tanya Mgr Ruby. “Ini semua menjadi ungkapan kasih yang total dan tulus dari Yesus kepada manusia yang berdosa. Yesus ingin melaksanakan kehendak Bapa-Nya, yakni menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Dosa dan kelemahan kitalah yang ditanggung-Nya. Karena dosa dan kelemahan kita Yesus harus mengalami penderitaan bahkan wafat di kayu salib.
Setelah sendirian membawakan Doa Umat Meriah, dengan sendirian pula Mgr Ruby melaksanakan upacara Penghormatan Salib. Mgr Ruby sendirian membuka kain ungu yang menyelubungi patung Yesus dan mengatakan, “Lihatlah Kayu Salib”. Mgr Ruby melipat sendiri kain itu, memberkati sendiri salib itu dan salib-salib di rumah umat, dan setelah melepas sepatu dia berlutut menghormati sendiri Salib Yesus.
Dan di saat komuni, di saat umat mendoakan Komuni Batin, lagu “Jesus remember me when you come into Your Kingdom,” membuat suasana “sendirian” di rumah atau bersama keluarga atau komunitas semakin terasa.(PEN@ Katolik/paul c pati)