Dalam bahasa Yunani di mana Injil ditulis, berdukacita seperti itu dijelaskan oleh Bapa-Bapa gurun dengan kata Yunani “penthos” yang merupakan dukacita batin yang bisa membuat kita terbuka pada hubungan otentik dengan Tuhan dan satu sama lain.
Paus Fransiskus mengatakan hal itu dalam Audiensi Umum mingguan di Aula Paulus VI, 12 Februari 2020, ketika merenungkan Sabda Bahagia kedua yakni “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.”
Alkitab, jelas Paus, berbicara tentang dua jenis kedukaan: Pertama untuk “kematian atau penderitaan seseorang.” Dukacita, ungkap Paus “adalah jalan pahit, tetapi bisa digunakan untuk membuka mata seseorang terhadap kehidupan dan nilai sakral dan tak tergantikan dari setiap orang, dan orang pun menyadari betapa singkatnya waktu.”
Aspek lain, Paus menyoroti “air mata karena dosa – dosa sendiri – ketika hati seseorang berdarah kesakitan karena melukai hati Allah dan sesama. Dengan menyebut Santo Petrus sebagai contoh dalam mengungkapkan dukacita karena dosa, Paus mengatakan, dukacitanya dinyatakan dengan air matanya setelah mengkhianati Yesus yang datang sebagai karunia dari Roh Kudus, Sang Penghibur.
Kedua jenis dukacita itu, kata Paus, didasarkan pada kepedulian penuh kasih untuk sesama, tetapi yang terutama pada cinta akan Allah.
Allah, tegas Paus, selalu mengampuni dosa yang paling buruk sekalipun. “Masalahnya ada dalam diri kita,” kata Paus. “Kita lelah meminta ampun, kita menutup diri dan tidak minta pengampunan. Itulah masalahnya. Tetapi, Dia ada untuk mengampuni,” lanjut Paus.
Minggu sebelumnya, dalam audiensi umum 5 Februari 2010, Paus merenungkan Sabda Bahagia pertama yakni “Berbahagialah orang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” Saat itu Paus mengatakan, “Ada kemiskinan yang harus kita terima, yaitu dari keberadaan kita sendiri; malahan kemiskinan yang harus kita cari dari hal-hal dunia ini.”
“Jalan menuju kebahagiaan” Yesus, kata Paus, dimulai dengan “pewartaan yang paradoks … objek kebahagiaan yang aneh.” Maka, kita harus bertanya pada diri sendiri, apa yang dimaksud dengan kata “miskin”? Penggunaan Matius tentang ungkapan “miskin dalam roh” memperlihatkan kepada kita bahwa Yesus tidak hanya berbicara tentang kemiskinan ekonomi, tetapi juga pemahaman spiritual tentang kemiskinan kita. “Yang ‘miskin dalam roh’,” kata Paus, “adalah yang merasa diri miskin, pengemis, dalam kedalaman keberadaan mereka.”
Ini bertentangan dengan pesan dunia, yang mengatakan, kita harus membuat diri kita menjadi sesuatu. Sikap itu membuat “kesepian dan ketidakbahagiaan,” karena membuat kita bersaing dengan orang lain, sehingga kita “hidup dalam kepedulian obsesif terhadap ego [kita sendiri].” Sungguh pun demikian, Yesus mengatakan kepada kita bahwa “menjadi miskin adalah kesempatan berrahmat, dan Dia memperlihatkan kepada kita jalan keluar” dari kelelahan yang disebabkan oleh upaya untuk menyembunyikan keterbatasan dan kegagalan kita.
Namun, kata Paus, kita harus ingat, kita “tidak perlu mengubah diri menjadi miskin dalam roh, karena kita sudah miskin! Kita semua miskin dalam roh, pengemis-pengemis.”
Kerajaan-kerajaan dunia, yang dimiliki orang punya kekayaan dan kenyamanan, adalah kerajaan-kerajaan yang berakhir. “Kekuatan manusia, bahkan kekaisaran-kekaisaran yang sangat hebat, berlalu dan lenyap,” kata Paus. Sebaliknya, “yang tahu cara mencintai kebaikan sejati lebih dari dirinya sendiri” yang benar-benar memerintah. Itu, kata Paus, “adalah kekuatan Allah.” Dan, lanjut Paus, itulah cara Kristus menunjukkan diri-Nya jadi kuat. “Dia tahu cara melakukan apa tidak dilakukan raja-raja di bumi: memberikan hidup-Nya bagi umat manusia. Dan itulah kekuatan sejati: kekuatan persaudaraan, kekuatan amal kasih, kekuatan cinta, kekuatan kerendahan hati. Itulah yang dilakukan Kristus.”
Dan, lanjut Paus, “kebebasan sejati terletak di situ: orang yang memiliki kekuatan kerendahan hati, pelayanan, persaudaraan adalah bebas. Kemiskinan yang dipuji oleh Sabda Bahagia terletak pada pelayanan kebebasan ini.” Paus mengakhiri katekese dengan mengatakan “kita harus selalu mencari kebebasan hati ini, yang berakar pada kemiskinan diri kita sendiri.” (PEN@ Katolik/paul c pati berdasarkan Vatican News)
Artikel Terkait:
Paus memulai katekese Sabda Bahagia: mengandung semacam kartu identitas Kristen