Sabtu, Juli 27, 2024
30.6 C
Jakarta

Pesan Hari Komsos 2020: Paus ajak wartawan menulis dengan gaya storytelling

Anak-anak Nigeria di perpustakaan sekolah Foto AFP
Anak-anak Nigeria di perpustakaan sekolah Foto AFP

Hari Minggu Komunikasi Sedunia akan dirayakan seperti biasa setiap tahun tepat pada hari Minggu di antara Hari Raya Kenaikan Tuhan dan Hari Raya Pentakosta, yang tahun ini jatuh tanggal 24 Mei 2020. Namun seperti biasanya, Paus merilis Pesan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 pada Pesta Pelindung Para Penulis dan Wartawan, Santo Fransiskus dari Sales, 24 Januari 2020.

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komsos Sedunia 2020 mengambil judul dari Keluaran 10:2 yang berbunyi “Supaya engkau bisa menceritakan kepada anak cucumu” dan tema yang dikhususkan pada storytelling, yakni sebuah teknik atau kemampuan penulis atau wartawan dalam menceritakan sebuah kisah dengan pengaturan indah berbagai adegan, peristiwa dan dialog supaya enak dibaca juga oleh “anak cucumu.”

Untuk membaca dengan lengkap Pesan Hari Komsos Sedunia itu, Paul C Pati dari PEN@ Katolik menerjemahkan pesan itu dari teks asli Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Kantor Pers Tahta Suci untuk Anda:

Pesan Bapa Suci Fransiskus

“Supaya engkau bisa menceritakan kepada anak cucumu” (Kel 10: 2)

Kehidupan menjadi sejarah

Saya ingin mengkhususkan pesan tahun ini pada tema storytelling, karena saya yakin, agar tetap relevan, kita perlu membuat kebenaran yang terkandung dalam cerita-cerita yang bagus menjadi milik kita. Cerita-cerita yang membangun, bukan meruntuhkan; cerita yang membantu kita menemukan kembali akar-akar dan kekuatan yang diperlukan untuk maju bersama. Di tengah hiruk-pikuk suara dan pesan, kita perlu cerita manusiawi yang bisa berbicara tentang diri sendiri dan tentang keindahan di sekitar. Narasi yang bisa menghargai dunia dan kejadian-kejadiannya dengan tatapan lembut. Narasi yang bisa menceritakan bahwa kita adalah bagian permadani yang hidup dan saling berhubungan. Narasi yang bisa mengungkap jalinan benang yang menghubungkan kita satu sama lain.

  1. Menenun cerita

Manusia itu tukang cerita. Sejak kanak-kanak, kerinduan kita untuk mendengar cerita-cerita laksana lapar makanan. Cerita-cerita, apakah dongeng, novel, film, lagu, berita, memengaruhi kehidupan kita, meskipun kita tidak selalu menyadarinya. Seringkali kita memutuskan yang benar atau yang salah berdasarkan karakter dan cerita-cerita kita sendiri. Cerita-cerita meninggalkan bekas serta membentuk keyakinan dan perilaku kita. Cerita-cerita bisa membantu kita memahami dan menyampaikan siapa kita.

Kita bukan satu-satunya makhluk yang membutuhkan pakaian untuk menutupi kerentanan kita (lih. Kej 3: 21). Kita juga perlu “berpakaian” cerita untuk melindungi hidup kita. Kita tidak hanya menenun pakaian, tetapi juga cerita: memang, kemampuan manusia untuk “menenun” (Latin texere) memberi kita tidak hanya kata tekstil tetapi juga teks. Kisah-kisah dari berbagai zaman semuanya memiliki “alat tenun” yang sama: benang narasi mereka melibatkan “pahlawan-pahlawan”, termasuk pahlawan-pahlawan sehari-hari, yang sesuai mimpi menghadapi situasi-situasi sulit dan memerangi yang jahat dengan kekuatan yang membuat mereka berani, yakni kekuatan cinta. Dengan membenamkan diri dalam cerita-cerita, kita bisa menemukan alasan untuk secara heroik menghadapi tantangan-tantangan kehidupan.

Manusia adalah tukang cerita karena kita terlibat dalam proses pertumbuhan terus-menerus, menemukan diri kita sendiri dan diperkaya dalam permadani hari-hari kehidupan kita. Namun sejak awal, cerita kita sudah terancam: yang jahat menjalar melalui sejarah.

  1. Tidak semua cerita adalah cerita bagus

“Pada waktu kamu memakannya … kamu akan menjadi seperti Allah” (lih. Kej 3: 4). Pencobaan ular memperkenalkan dalam jalinan sejarah simpul yang sulit dilepaskan. “Kalau engkau punya, engkau akan menjadi, engkau akan meraih…” Itulah pesan yang dibisikkan oleh mereka yang di saat ini pun memakai storytelling untuk tujuan eksploitasi. Betapa banyak cerita digunakan untuk membuat kita tertidur dengan meyakinkan kita bahwa untuk menjadi senang kita perlu terus-menerus memperoleh keuntungan, memiliki, dan mengkonsumsi. Mungkin kita juga tidak menyadari betapa rakusnya kita dalam obrolan dan gosip, atau betapa banyak kekerasan dan kepalsuan yang kita konsumsi. Seringkali dalam berkomunikasi, kita bukannya menemukan cerita-cerita konstruktif yang berfungsi memperkuat ikatan sosial dan tatanan budaya, tetapi kisah-kisah destruktif dan provokatif yang meruntuhkan dan menghancurkan benang-benang rapuh yang mengikat kita bersama sebagai masyarakat. Dengan tambalan sedikit informasi yang tidak terverifikasi, dan pengulangan argumen-argumen dangkal dan persuasif yang menipu, serta penyampaian pesan melengking dan penuh kebencian, kita tidak membantu menenun sejarah manusia, tetapi sebaliknya melucuti martabat orang lain.

Tetapi, cerita-cerita yang digunakan untuk eksploitasi dan kekuasaan tidak bertahan lama, sedangkan cerita yang bagus bisa melampaui batas ruang dan waktu. Berabad-abad kemudian, cerita yang bagus masih tepat waktu, karena menyegarkan kehidupan.

Di saat pemalsuan semakin canggih dan mencapai tingkat eksponensial (seperti dalam deepfake, atau video rekayasa), kita perlu kebijaksanaan untuk bisa menyambut dan menciptakan cerita-cerita indah, benar dan bagus. Kita perlu keberanian menolak cerita-cerita palsu dan jahat. Kita perlu sabar dan cermat menemukan kembali kisah-kisah yang membantu kita untuk tidak kehilangan benang di tengah banyak masalah hari ini. Kita perlu cerita-cerita yang mengungkapkan siapa kita sebenarnya, juga dalam kepahlawanan tak terhitung dalam kehidupan setiap hari.

  1. Cerita dari cerita-cerita

Kitab Suci adalah Cerita dan cerita-cerita. Betapa banyak peristiwa, orang, dan pribadi sebelum kita! Itu menunjukkan kepada kita sejak awal seorang Allah yang sekaligus pencipta dan pencerita. Sesungguhnya, Allah berfirman dan segala sesuatu menjadi ada (lih. Kej 1). Sebagai pencerita, Allah memasukkan segala sesuatu ke dalam kehidupan, dan berpuncak pada penciptaan pria dan wanita sebagai mitra dialog-Nya yang bebas, yang membuat sejarah bersama Dia. Dalam salah satu Mazmur, makhluk ciptaan mengatakan kepada Sang Pencipta: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Kubersyukur kepada-Mu, oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib… Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagan bumi yang paling bawah” (139: 13-15). Kita tidak dilahirkan lengkap, tetapi harus terus-menerus “ditenun”, “dirajut bersama”. Hidup diberikan kepada kita sebagai ajakan untuk terus menenun misteri yang “indah” yakni kita.

Karena itu, Alkitab adalah cerita cinta yang termasyhur antara Allah dan umat manusia. Di tengahnya berdiri Yesus, yang cerita-Nya membawa pemenuhan kasih Allah bagi kita maupun kasih kita bagi Allah. Sejak itu, dalam setiap generasi, pria dan wanita diminta menceritakan dan berkomitmen untuk mengenang episode-episode paling signifikan dari Cerita dari cerita-cerita ini, cerita-cerita yang paling baik mengkomunikasikan maknanya.

Judul Pesan tahun ini diambil dari Kitab Keluaran, yakni sebuah cerita alkitabiah purba saat Allah campur tangan dalam sejarah umat-Nya. Ketika anak-anak Israel yang diperbudak berseru kepada-Nya, Allah mendengarkan dan mengingat: “Allah mendengar mereka mengerang, lalu mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah melihat orang Israel, dan Allah memperhatikan mereka” (Kel 2: 24-25). Ingatan Tuhan membebaskan penindasan melalui serangkaian tanda dan keajaiban. Kemudian Tuhan menyatakan kepada Musa arti semua tanda ini: “supaya engkau bisa menceritakan kepada anak-cucumu, bagaimana Aku mempermain-mainkan orang Mesir dan tanda-tanda mujizat mana yang telah Kulakukan di antara mereka, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan.” (Kel 10: 2). Pengalaman Keluaran mengajarkan kita bahwa pengetahuan tentang Tuhan diturunkan dari generasi ke generasi terutama dengan menceritakan cerita tentang cara Dia terus membuat diri-Nya hadir. Allah kehidupan berkomunikasi dengan kita melalui cerita tentang kehidupan.

Yesus berbicara tentang Allah bukan dengan konsep abstrak, tetapi dengan perumpamaan, cerita-cerita pendek yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Di saat kehidupan menjadi cerita dan kemudian, bagi pendengar, cerita menjadi kehidupan: cerita menjadi bagian dari kehidupan orang-orang yang mendengarkannya, dan cerita itu mengubah mereka.

Injil-Injil adalah juga cerita-cerita, dan bukan kebetulan. Ketika Injil-Injil itu bercerita tentang Yesus, mereka “performatif” [1]; mereka menyesuaikan kita degan Yesus. Injil meminta pembaca untuk beriman yang sama guna hidup bersama. Injil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa pencerita klasik, Sang Sabda, sendiri menjadi cerita itu: “Anak tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yohanes 1: 18). Kata kerja aslinya, exegésato, bisa diterjemahkan baik sebagai “mengungkapkan” dan “menceritakan kembali”. Allah secara pribadi telah ditenun masuk ke dalam kemanusiaan kita, dan dengan demikian telah memberikan kepada kita cara baru untuk menenun cerita-cerita kita.

  1. Cerita yang terus diperbarui

Sejarah Kristus bukanlah warisan masa lalu. Itu cerita kita, dan selalu tepat waktu. Sejarah Kristus menunjukkan kepada kita bahwa Allah sangat peduli kepada umat manusia, kepada daging dan sejarah kita, sehingga ia menjadi manusia, daging dan sejarah. Sejarah Kristus juga mengatakan kepada kita bahwa tidak ada cerita manusia yang tidak penting atau tak berharga. Karena Allah menjadi cerita, setiap cerita manusia, dalam arti tertentu, adalah cerita ilahi. Dalam sejarah setiap orang, Bapa melihat lagi kisah Putra-Nya yang turun ke bumi. Setiap cerita manusia memiliki martabat yang tidak tertekan. Akibatnya, umat manusia layak memiliki martabat, layak ditinggikan sesuai yang dilakukan Yesus.

“Kamu,” tulis Santo Paulus, “adalah surat dari Kristus yang ditulis oleh pelayan kami, ditulis bukan dengan tinta tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu melainkan pada loh-loh hati gading, yaitu didalam hati manusia” (2 Kor 3: 3). Roh Kudus, kasih Allah, menulis di dalam kita. Dan saat Dia menulis di dalam kita, dia membangun kebaikan dalam diri kita dan terus-menerus mengingatkan kita akan hal itu. Memang, “memikirkan kembali” berarti mengingatkan, “menulis” dalam hati. Dengan kuasa Roh Kudus, setiap cerita, bahkan yang paling dilupakan, bahkan yang tampaknya ditulis dengan tulisan paling jelek, bisa menjadi bersemangat, bisa dilahirkan kembali sebagai karya agung, dan menjadi apendiks Injil. Seperti Confessions (Pengakuan-Pengakuan) Agustinus. Seperti A Pilgrim’s Journey (Perjalanan Ziarah) Ignatius. Seperti The Story of A Soul (Cerita Jiwa) Santa Theresa dari Kanak-Kanak Yesus. Seperti The Betrothed, seperti The Brothers Karamazov. Seperti kisah-kisah lain yang tak terhitung jumlahnya, yang dengan indahnya menulis perjumpaan antara kebebasan Allah dan kebebasan manusia. Kita masing-masing tahu cerita-cerita lain yang memiliki keharuman Injil, yang telah memberikan kesaksian tentang Cinta yang mengubah kehidupan. Cerita-cerita ini menjerit minta dibagikan, diceritakan kembali dan dihidupkan kembali di setiap zaman, di setiap bahasa, di setiap media.

  1. Cerita yang memperbaharui kita

Cerita kita sendiri menjadi bagian dari setiap cerita yang bagus. Saat kita membaca Kitab Suci, cerita-cerita tentang orang-orang kudus, dan juga teks-teks yang telah menjelaskan hati manusia dan keindahannya, Roh Kudus bebas menulis di hati kita, menghidupkan kembali ingatan kita tentang apakah kita di mata Allah. Saat kita mengingat cinta yang menciptakan dan menyelamatkan kita, saat kita menjadikan cinta sebagai bagian dari cerita sehari-hari kita, saat kita menenun permadani hari-hari kita dengan belas kasihan, kita sedang membalik halaman lain. Kita tidak lagi terikat pada penyesalan dan kesedihan, terikat pada ingatan yang tidak sehat yang membebani hati kita. Sebaliknya, dengan membuka diri kepada orang lain, kita membuka diri terhadap visi yang sama dari pencerita yang hebat. Menceritakan kepada Allah bahwa cerita kita tidak pernah sia-sia. Meskipun catatan peristiwa tetap sama, makna dan perspektifnya selalu berubah. Menceritakan kisah kita kepada Tuhan berarti masuk ke dalam tatapan cinta kasih-Nya yang penuh belas kasih kepada kita dan orang lain. Kita bisa menceritakan kepada-Nya cerita-cerita yang kita jalani dan membawa kepada-Nya orang-orang dan situasi yang mengisi hidup kita. Bersama Dia, kita bisa menenun kembali jalinan kehidupan dan menanggalkan robekan dan air mata kehidupan. Kita semua tahu betapa kita perlu melakukan ini dengan  tepat!

Menurut pandangan pencerita yang hebat, satu-satunya yang memiliki sudut pandang akhir, kita lalu bisa mendekati karakter-karakter lain, saudara dan saudari kita, yang ada bersama kita sebagai aktor dalam cerita hari ini. Karena, tidak ada orang yang ekstra di panggung dunia, dan cerita semua orang terbuka untuk kemungkinan perubahan. Bahkan saat kita menceritakan tentang yang jahat, kita bisa belajar meninggalkan ruang untuk penebusan. Di tengah-tengah yang jahat, kita juga bisa mengenali kerja kebaikan dan memberinya ruang.

Jadi, bukanlah masalah sekedar menceritakan cerita-cerita begitu saja, atau mengiklankan diri sendiri, tapi sebaliknya mengingat siapa dan apakah kita di mata Allah dan memberi kesaksian tentang apa yang Roh tulis dalam hati kita serta ungkapkan kepada semua orang bahwa ceritanya berisi hal-hal luar biasa. Guna melakukan hal ini, percayakanlah diri kita kepada seorang wanita yang merajut bersama dalam rahimnya kemanusiaan Allah dan, cerita Injil kepada kita, menenun bersama peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya. Bagi Perawan Maria “menyimpan segala perkara dalam hatinya” (Luk 2: 19). Mari kita meminta bantuan dari dia, yang tahu cara membuka simpul kehidupan dengan kekuatan cinta yang lembut:

O Maria, perempuan dan ibu, engkau menenun Firman ilahi di dalam rahimmu, engkau menceritakan dengan hidupmu karya Allah yang agung. Dengarkanlah cerita-cerita kami, pertahankanlah dalam hatimu dan jadikanlah cerita-cerita yang tidak ingin didengar oleh siapa pun menjadi milikmu. Ajarilah kami mengenali benang bagus yang menembus sepanjang sejarah. Lihatlah simpul kusut dalam kehidupan yang melumpuhkan ingatan kami. Dengan tangan lembutmu, setiap simpul bisa dilepaskan. Perempuan dari Roh, bunda kepercayaan, ilhami kami juga. Bantu kami membuat cerita-cerita perdamaian, cerita yang mengarah ke masa depan. Dan tunjukkanlah kepada kami cara untuk menghidupinya bersama.

 

Roma, Santo Yohanes Lateran, 24 Januari 2020

Peringatan Santo Fransiskus dari Sales

FRANSISKUS

 

[1] Lih. Benediktus XVI, Surat Ensiklik Spe Salvi, 2: “Pesan Kristen tidak hanya ‘informatif’ tetapi ‘performatif’. Itu berarti: Injil bukan hanya komunikasi tentang hal-hal yang bisa diketahui – komunikasi adalah sesuatu yang membuat hal-hal terjadi dan mengubah hidup.”

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini