(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu ke-28 pada Masa Biasa, 13 Oktober 2019: Lukas 17: 11-19)
Penderitaan, penyakit, dan kematian menyerang tanpa pandang bulu. Tidak peduli apakah orang Yahudi atau orang Samaria, apakah kaya atau miskin, apakah tua atau muda. Pada zaman Yesus, kusta atau penyakit Hansen masih merupakan salah satu penyakit yang paling mengerikan. Itu memakan kulit kita dan membuat kita jelek. Ini sangat menular, dan dengan demikian, dikucilkan dari komunitas. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan dengan demikian membawa kematian yang lambat dan menyakitkan.
Kita berterima kasih kepada Tuhan, bahwa kusta sekarang dapat disembuhkan,  tetapi umat manusia terus berjuang dengan penyakit mematikan yang membawa penderitaan dan kematian yang tak terhitung. Ketika saya masih seorang frater dalam formasi, saya ditugaskan ke rumah sakit di Manila untuk mendampingi para pasien. Tugas saya adalah menemani orang-orang yang bergulat dengan penyakit mengerikan. Beberapa berjuang melawan kanker dan mereka harus menjalani kemoterapi yang menyakitkan. Beberapa mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis dengan sabar. Beberapa adalah korban HIV yang tak berdaya dan harus menanggung berbagai komplikasi.
Saya tidak pernah lupa bertemu seorang pemuda di rumah sakit itu. Sebutlah dia sebagai John. Dia adalah lulusan perguruan tinggi yang baru diwisuda, dan dia memiliki harapan besar untuk kehidupan masa depannya. Namun, semua berubah ketika hanya beberapa minggu setelah lulus, ia didiagnosis menderita kanker, stadium 3. Dengan demikian, untuk bertahan hidup ia harus mengambil pengobatan sangat agresif seperti operasi dan kemoterapi. Di rumah sakit, saya belajar bagaimana kemoterapi yang menyakitkan ini tidak ada jaminan bahwa perawatan ini akan berhasil. Bahkan, itu bisa menghancurkan tubuh dalam proses. Dia kehilangan rambutnya, kehilangan nafsu makan, dan setiap kali dia mencoba makan, dia akan muntah. Dia menjadi sangat lemah dan sakit-sakitan.
Suatu hari, saya memutuskan untuk mengunjunginya dan mengobrol sedikit. Saya melihat kasus yang sangat menyedihkan. Tetapi, yang mengejutkan saya, dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan sebenarnya bersyukur. Awalnya, saya pikir obatnya bekerja, tetapi sebenarnya tidak demikian. Saya bingung dengan jawabannya. Saat berhadapan dengan pasien dengan penyakit serius, kita diberitahu tentang lima tahap menghadapi duka: penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Tidak ada dalam tahapan ini di mana orang yang sakit akan bersyukur. Namun, John bersyukur atas kondisinya. Mengapa?
Ketika saya bertanya lebih lanjut, saya mendengar jawaban yang tak terlupakan. Dia mengatakan bahwa dalam penyakit dan penderitaannya, dia menemukan apa yang benar-benar penting dan sangat diperlukan dalam hidupnya. Dia mulai mengerti bagaimana kasih orang tuanya membuat hidupnya lebih bermakna. Dia melihat bagaimana Tuhan telah memberikan kehidupan yang sederhana namun sepenuhnya cuma-cuma. Setiap nafas, setiap detak jantung, setiap kenangan adalah anugerah berharga dari Tuhan. Dia tidak bisa tidak bersyukur atas berkat sederhana dari Tuhan, meskipun dia sakit parah.
John mengajarkan saya bahwa penderitaan kadang-kadang merupakan cara Tuhan untuk mengingatkan kita untuk menemukan apa yang benar-benar penting dalam hidup kita. Ketika kita menderita, kita menyadari tubuh indah kita bukanlah segalanya, kekayaan kita kosong, dan ambisi kita seperti nafas yang lewat. Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa kita tidak menderita seperti John, tetapi kita tidak harus menunggu sampai sakit, untuk menemukan hal-hal yang penting. Waktunya sekarang dan tempatnya ada di sini untuk kita bertanya, apakah yang paling penting di dalam hidup ini.
Pastor Valentinus Bayuhadi Ruseno OP