Sabtu, Juli 27, 2024
26.1 C
Jakarta

HUT ke-52 STFT Fajar Timur: Dipanggil untuk mewartakan damai

Misa HUT ke-52 STTF Fajar Timur dipimpin Ketua STFT Fajar Timur Pastor Dr Yanuarius Matopai You Pr (tengah)
Misa HUT ke-52 STTF Fajar Timur dipimpin Ketua STFT Fajar Timur Pastor Dr Yanuarius Matopai You Pr (tengah)

Oleh Saudara Vredihando E Namsa OFM

Fajar mulai menyingsing di timur, menerangi persada. Itulah sedikit syair mars Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura Papua, syair yang menggema dalam lubuk hati setiap insan yang menempuh ilmu pada lembaga pendidikan ini, syair yang menyentuh sekaligus menjadi pedoman setiap diri anak Cenderawasih.

Pengaruh Konsili Vatikan II dan tuntutan tenaga pastoral di Papua (kala itu Irian Jaya) membuat  Konferensi Uskup-Uskup se-Irian Jaya mengambil keputusan, 10 Oktober 1967, untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Kegerejaan yang baru dengan nama Akademi Teologi Katolik (ATK). Para pendiri ATK adalah Uskup Agung Merauke Mgr Herman Tillemans MSC, Uskup Jayapura Mgr Dr Rudolf Staverman OFM, Uskup Manokwari-Sorong Mgr Petrus van Diepen OSA.

ATK didirikan pada sebidang tanah milik Keuskupan Jayapura di Jalan Yakonde dan Jalan Sosiri, Abepura, 15 Februari 1969, dengan tiga tenaga pengajar pertama yakni Pastor Dr Herman Peters OFM (rektor), Pastor Dr Andreas van Meegeren OSA dan Pastor Drs Theo Janssen OFM. Pada masa awal ini, ada dua belas orang mahasiswa yang berasal dari ketiga wilayah keuskupan itu.

Tujuan pendidikan akademi itu adalah mendidik petugas Gereja, baik awam (pria dan wanita), biarawan-biarawati maupun rohaniwan, baik pelayanan Gereja terhadap masyarakat maupun terhadap umat Katolik. Tahun 1973, ATK merubah nama menjadi Sekolah Tinggi Teologi Katolik (STTK), yang diselenggarakan oleh Yayasan Sekolah Tinggi Teologi Katolik. Tahun 1984, STTK diminta merubah nama lagi menjadi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur.” Nama Fajar Timur dipilih dan direstui para uskup berdasarkan sayembara antara mahasiswa-mahasiswi yang dimenangkan oleh Agus Alue Alua.

STFT Fajar Timur menyelenggarakan program studi sesuai program pendidikan nasional, berdasarkan Sistem Kredit Semester (SKS) dengan jurusan dan Program Studi Teologi maupun Filsafat. Walaupun nama dan program STFT disesuaikan dengan Sistem Pendidikan yang baru, perhatian STFT untuk kebudayaan tidak berkurang. Penekanannya adalah hubungan erat antara ilmu ketuhanan dan medan hidup dan karya manusia di Irian Jaya. Maka ilmu-ilmu kebudayaan dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya tetap diberi tempat penting dalam program STFT. IlmuTeologi (Theos = Allah) ingin diselaraskan dengan ilmu Antropologi (Antropos = Manusia), sebab refleksi atas Wahyu Allah tidak boleh dilepaskan dari usaha mempelajari manusia dalam konteks.

Tanggal 10 Oktober 2019, STFT Fajar Timur memasuki usia ke-52, usia yang terbilang matang dan dewasa. Sehari sebelumnya, 9 Oktober 2019, keluarga besar civitas akademika STFT Fajar Timur merayakan Misa yang dipimpin Ketua STFT Fajar Timur Pastor Dr Yanuarius Matopai You Pr. Dalam perayaan itu Pastor Yan mangajak semua keluarga besar STFT untuk bersyukur atas rahmat yang diterima selama ini. Menurut Pastor Yan, tidak ada yang mustahil dalam dunia ini, karena Tuhan sungguh punya kuasa yang dahsyat. Selain mensyukuri HUT ke-52 STFT, dalam Misa juga diberkati Mouseleum Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay Pr. Almarhum adalah ketua STFT Fajar Timur yang meninggal April 2019. Setelah Misa, peserta mendengarkan beberapa sambutan kemudian makan malam bersama.

STFT Fajar Timur menjadi duta damai bagi Gereja Universal pada umumnya dan Gereja Papua pada khususnya. Menjadi duta damai berarti siap diutus pergi ke seluruh dunia. Hal ini menjadi DNA dari setiap mereka yang menyelesaikan proses pendidikan pada lembaga ini. Belajar dari Yesus Sang pembawa damai, STFT sebagai lembaga pendidikan tinggi diharapkan juga dapat menunjang dan mengarahkan pembangunan untuk kemajuan lembaga-lembaga Gereja Katolik di Papua, khususnya di bidang moral, sosial, intelektual dan sikap.

Allah adalah kasih dan barang siapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Demikianlah kita mengetahui kasih Kristus, yaitu bahwa Dia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, jadi manusia kita harus wajib dan hukumnya tidak dapat dibantah untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah Sang Mahakasih. Kesaksian iman akan belas kasih merupakan dasar hidup untuk kita semua, terutama bagi kita Para Pengikut Yesus dalam semangat Santo Fransiskus dari Asisi. Segala sesuatu, yang kita lakukan di mana saja kita berada, demi Tuhan dan untuk sesama kita. Menyatukan kehendak kita dengan dengan kehendak Tuhan adalah kunci. Belajar dari Yesus yang selalu dan senantiasa berbelas kasih, memberi inspirasi atau semangat kepada kita untuk terus maju mewartakan kasih itu. Paus Fransiskus pernah berkata, “Bangunlah dunia! Jadilah saksi dan bertindak dan hidup secara berbeda! Para mahasiswa STFT Fajar Timur harus menjadi agen yang dapat membangun dunia.” Bagi kami, seruan Paus itu cukup menantang untuk berani bersaksi melalui tindakan nyata dalam mewartakan belas kasih bagi sesama.

Menurut refleksi penulis yang bertolak dari pengalaman pribadi dalam menjalani masa pendidikan pada lembaga ini, membagi kasih kepada sesama itu sederhana saja, yakni lewat kerasulan kehadiran dan seni mendengar. Menghadirkan diri di tengah umat yang begitu banyak, dengan berbagai latar belakang budaya, karakter, dan sebagainya, adalah kunci untuk terus memajukan kasih itu dan membawa semangat hidup sebagai anak-anak Tuhan. Bagi penulis, kehadiran kita memang sangat dibutuhkan untuk pengembangan iman umat yang kita layani, perwujudan semangat belas kasih, ambil bagian dari semangat kasih yang pernah diwartakan Yesus. Setiap orang Kristen dipanggil untuk mewartakan damai. Tentu damai yang dimaksudkan berasal dari Tuhan. Kita yang sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas ini. Dalam situasi apapun kita harus berani untuk mewartakan damai itu. Kita harus berani keluar dari kenyamanan hidup kita, keluar dari kebiasaan buruk kita, keluar dari rasa ego kita, sehingga kedamaian itu bisa dirasakan oleh setiap insan manusia. Penulis yakin ketika kita sungguh merasakan kedamaian itu, kita mampu membagikannya kepada sesama. Membawa damai kepada sesama yang lain membutuhkan komitmen, membutuhkan kesabaran, membutuhkan ketekunan dan membutuhkan Kasih Tuhan. Percaya dan yakin, Tuhan pasti membantu setiap niat baik kita untuk mewartakan damai. Itulah semangat yang diharapkan tumbuh dalam setiap kita yang pernah ada di lembaga ini.***

 

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini