Home SOSIAL Penyandang disabilitas mental, yang terkecil dari yang kecil, belum dapat perhatian maksimal

Penyandang disabilitas mental, yang terkecil dari yang kecil, belum dapat perhatian maksimal

0
Dion Ngeta (PEN@ Katolik/yf)
Dion Ngeta (PEN@ Katolik/yf)

Penyandang disabilitas mental masih jauh dari perhatian manusia normal. Orang terkecil dari yang kecil itu belum maksimal menerima perhatian orang tua dan keluarga serta perlakuan terhadap mereka masih diskriminatif. Itulah yang memanggil Dion Ngeta untuk membantu dan mensosialisasikan hak-hak mereka “karena mereka juga ciptaan Tuhan yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia normal lainnya.”

Sudah 16 tahun Dion bergabung di Panti Rehabilitasi Susteran CIJ dan kini menjadi Koordinator Program Yayasan Bina Daya (Yasbida) Santo Vincentius Cabang Sikka. Kini Dion mendampingi 118 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), penghuni Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Santa Dymphna, Wairklau, Maumere.

Setiap tiga bulan sekali Dion beserta 40 pendamping dan pekerja panti rehabilitasi mengadakan evaluasi dan rekoleksi. Dalam kegiatan itu, tegas Dion, kepada para pendamping ditanamkan bahwa orientasi pelayanan mereka bukan untuk mendapatkan uang, “tetapi membangun solidaritas dengan penyandang disabilitas itu serta mengumpulkan rahmat pelayanan untuk masuk surga.”

Jebolan STFK Ledalero itu berbicara dengan PEN@ Katolik saat evaluasi di Panti Dymphna 7 Juli 2019. Dia mengamati, dampak dari perlakuan diskriminatif dari orang tua dan keluarga adalah “proses pembiaran karena mereka dianggap tidak produktif, manusia yang hidup di jalan, manusia yang tidak berguna.”

Akibatnya, mereka pun tidak diberikan hak untuk mendapatkan identitas diri berupa KTP dan Kartu Keluarga. “Buktinya,  dari 118 penghuni panti yang saya dampingi, baru 30 orang yang memiliki KTP dan hanya 10 orang yang memiliki BPJS,” kata Dion.

Sejak berdiri tahun 2004 hingga Juni 2019, jelas Dion, panti itu sudah mengembalikan pasien gangguan jiwa ke keluarga mereka sebanyak 286 orang karena sudah mengalami penyembuhan. “Kadang ketika kembali berada di tengah masyarakat, mereka kambuh lagi karena label yang diberikan kepada mereka dengan bahasa orang gila atau dalam bahasa Sikka, ata wairumang, dan ata bingu dalam bahasa Lio. Oleh karenanya, “perilaku masyarakat juga perlu direhab,” tegas Dion.

Meski sudah sembuh, jelas Dion, menyebut mereka orang gila adalah suatu bentuk pemisahan, padahal “di panti rehabilitasi kami para pendamping menerapkan pendampingan yang bebas dan persuasif, bebas stigma dan bebas kekerasan, sehingga mereka betul-betul merasa sungguh dihargai, bukan dipanggil orang gila tapi difabel, disabilitas mental atau orang berkebutuhan khusus.”

Asti Saji, salah satu tim perawat sebuah panti mengatakan kepada PEN@ Katolik bahwa para penghuni panti sangat membutuhkan kesabaran dan ketabahan yang tinggi. “Beberapa waktu lalu, saat Misa pagi di kapel, seorang pasien kumat dan langsung menampar wajah saya serta Arif, pendamping psikologi. Itulah resiko mendampingi pasien disabilitas mental. Butuh kesabaran dan ketabahan lebih,” kata Asti. (PEN@ Katolik/Yuven Fernandez)

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version