(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Hari Raya Tritunggal Mahakudus, 16 Juni 2019: Yohanes 16: 12-15)
Tanda khas menjadi Kristiani adalah iman kepada Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme [hanya satu Tuhan] dengan agama-agama besar lainnya, namun kepercayaan kita pada satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi memungkinkan kita untuk berdiri secara unik di antara yang lain. Tidak diragukan lagi Allah kita adalah satu, namun tidak diragukan juga ada tiga persona dalam satu kodrat ilahi ini. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang Putra juga benar-benar unik. Dan, Roh Kudus menjaga identitas pribadi-Nya. Namun, mereka tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!
Tapi jangan kuatir! Pemikir-pemikir terhebat di Gereja, seperti Santo Agustinus, Santo Thomas Aquinas, dan Benediktus XVI, telah mencoba untuk menyelami misteri ini, namun mereka hanya menyentuh permukaan Kebenaran terbesar ini. Ini adalah inti dari iman kita, namun ini adalah ajaran Gereja yang paling sulit untuk dimengerti dan juga terkadang sulit diwartakan. Namun, jika ini adalah misteri yang tak terselami, mengapa kita harus terus merenungkan, menghidupi, dan merayakannya? Karena kita telah diciptakan dalam citra Allah Tritunggal.
Seringkali, kita menganggap Tritunggal sebagai realitas yang sangat jauh, tetapi kita lupa bahwa kehidupan keagamaan kita sehari-hari sebagai orang Katolik adalah kehidupan di dalam Trinitas. Kita dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketika kita memulai doa kita, kita mulai dengan tanda salib. Tanda salib suci ini tidak hanya menunjukkan kemenangan Yesus, tetapi pada dasarnya adalah Nama Suci Tritunggal. Setelah kita membuat tanda salib untuk membuka Misa Kudus, imam akan menyapa umat dengan mengatakan, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus bersamamu.” Ini adalah formula Tritunggal yang berasal dari Santo Paulus sendiri (lihat 2 Korintus 13:13). Pada doa Syukur Agung, yang adalah doa inti dalam Misa, sang imam atas nama Gereja, meminta Bapa untuk mengirimkan Roh Kudus-Nya agar Dia dapat mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus. Di jantung Ekaristi, yang adalah sumber dan puncak dari liturgi kita, adalah Tritunggal Mahakudus. Apa yang saya sebutkan hanyalah puncak gunung es tentang bagaimana Tritunggal sungguh meresapi ibadah dan doa kita.
Tantangan sebenarnya adalah untuk hidup dan merayakan Tritunggal dalam kehidupan kita sehari-hari. Aturan doa kita harus menjadi aturan hidup kita juga. “Lex orandi, Lex vivendi“. Kalau tidak, kita akan jatuh ke dalam perangkap mentalitas ganda. Kita menjadi orang Kristiani hanya pada hari Minggu, tetapi kita menjadi orang yang tidak pernah mengenal Tuhan pada hari lain. Seorang munafik!
Hidup dalam Tritunggal berarti memanifestasikan kehidupan kita sehari-hari bahwa kita adalah citra Allah, citra Tritunggal. Jika Tritunggal adalah Allah keadilan, apakah kita bertindak adil terhadap diri kita sendiri, sesama kita, dan terhadap bumi kita? Jika Tritunggal adalah Tuhan kerahiman, apakah kita berbelas kasihan dan menjadikan tujuh karya kerahiman sebagai pola hidup kita? [memberi makan yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi pakaian kepada yang telanjang, melindungi yang tidak memiliki rumah, mengunjungi yang sakit, mengunjungi yang dipenjara, dan mengubur yang meninggal]? Jika Tritunggal adalah Tuhan yang adalah kasih, apakah kita mencintai orang-orang terburuk dalam hidup kita dan mengampuni orang yang menyakiti kita? Jika Tritunggal adalah Allah Kebenaran, apakah kita terus mencari kebenaran di sekitar kita atau kita mudah percaya percaya pada hoaks?
Kita adalah orang-orang yang hidup dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan kita dengan penuh keyakinan menanti hari kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.
Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno OP