Rabu, Desember 18, 2024
27.4 C
Jakarta

Suster Imma OP meninggal, tapi lilin bernyala hampir 83 tahun menjelma jadi lilin Paskah

Para Suster OP bersama Provinsialnya bernyanyi dan berdoa kepada Santo Dominikus mengelilingi jenazah Suster Immaculata OP.
Para Suster OP bersama Provinsialnya bernyanyi dan berdoa kepada Santo Dominikus mengelilingi jenazah Suster Immaculata OP

“Lilin bernyala, terang berpendar selama 83 tahun kurang 24 hari kini padam, namun tak berarti gelap gulita tanpa harapan. Lilin itu menjelma menjadi lilin Paskah, tegap, gagah dan kokoh, memancarkan terang dari ketinggian, melambangkan puncak iman kita terhadap Kristus Sang Juru Selamat.”

Superior Jenderal atau Provinsial Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus di Indonesia Suster Maria Elisabeth Yaya Budiarti OP berbicara di hadapan jenazah Suster Immaculata Ong Kim Whie OP, yang akrab dipanggil Suster Imma, sesudah Misa Requiem. Misa yang dipimpin Vikjen Keuskupan Bandung Pastor Yustinus Hilman Pujiatmoko Pr dengan konselebran Kepala Paroki Cimahi Pastor Paskasius Bekatmo OSC dan Pastor Mingdry Hanafi Tjipto OP dirayakan di Kapel Biara Santa Maria Cimahi, 23 April 2019.

Lahir dengan nama Mariana Ong Kien Hwie di Purwokerto 15 Mei 1936, putri bungsu pasangan Gandamulia (Ong Tjeng Gan) dan Sitibekti (Pey Seng Hoen) itu masuk biara 22 Juli 1957, mengucapkan kaul pertama 16 Juli 1960, kaul kekal 16 Juli 1963, dan meninggal Minggu Paskah yang juga Hari Kartini, 21 April 2019 sekitar pukul 16.30.

Beberapa saat menjelang kepergiannya, para suster di Cimahi banyak meneteskan air mata, “tanda bahwa kami belum rela kehilangan figur Suster Imma yang selalu gembira, tulus dan siap untuk menggembirakan.” Chiko, anjing kesayangan Suster Imma pun demikian, kata Suster Elisabeth.

Namun tetesan air mata para suster tidak berlama lama. “Kami segera ikhlas dan rela bahwa beliau dipantaskan menghadap Bapa bukan pada Trihari Suci saat kita semua begitu sibuk dengan perayaan liturgi Kamis Putih, Jumat Agung dan Paskah. Prinsip beliau adalah melayani bukan merepotkan. Maka, kepergian beliau persis hari Minggu Paskah, sore hari, adalah waktu sangat baik dan indah. Kita semua sudah selesai dengan rangkaian kegiatan Paskah.”

Sebagai provinsial yang terpilih 16 Maret, Suster Elisabeth berencana mulai mengunjungi komunitas-komunitas mulai 23 April. “Hari ini saya rencana ke Jakarta dan berkeliling ke komunitas-komunitas. Saya berpikir, kalau Suster Imma dipanggil minggu ini, saya mungkin sedang di Jakarta, atau Cirebon, atau Purwokerto, atau Yogyakarta. Dan saya siap sewaktu-waktu kembali ke Cimahi demi beliau. Namun, beliau tidak mau merepotkan dan membuat saya susah. Terima kasih Suster untuk cintanya.”

Banyak kenangan indah ditinggalkan. Desember 2018, Suster Yosephine OP meninggal. Setelah ibadat pagi di hadapan jenazahnya, Suster Elisabeth mendorong Suster Imma dengan kursi roda menuju ruang makan untuk sarapan. “Suster, siapa tadi yang meninggal?” tanya Suster Elisabeth. “Oh ya, ada yang meninggal?” tanya Suster Imma. “Looh, barusan kan kita doa di kapel. Hayooo suster, siapa tadi yang meninggal?” Suster Imma pun menjawab, “Suster Elisabeth ya?!” Suster Elisabeth langsung kaget sekaligus tertawa. Suster Imma juga tertawa. “Eeh, salah ya?!” kata Suster Imma.

Tak lama kemudian, saat sibuk mempersiapkan kapitel, para suster makan bersama. Suster Sisilia OP mengatakan, “Nanti sore Suster Provinsial akan datang mengunjungi kita semua.” Suster Sisil lalu bertanya kepada Suster Imma, “Siapa ya suster provinsial kita?” Suster Imma menjawab tanpa ragu, “Suster Elisabeth!” Suster Elisabeth kaget, dan para suster tertawa.

Pertanyaan sama diulang dan Suster Imma menjawab lagi, “Suster Elisabeth.” Padahal waktu itu Suster Elisabeth belum menjadi provinsial. “Inilah salah satu talenta Suster Imma. Beliau seperti cenayang atau dukun, karena betul setelah itu saya menjadi provinsial. Betul pula, pasti saya akan mati, tapi harap jangan cepat-cepat ya Suster Imma,” minta Suster Elisabeth sebelum Suster Imma dibawa ke pemakaman para suster OP di belakang Biara Cimahi itu.

Sekitar 1,5 bulan lalu, berkembang kesukaan baru dalam keterbatasan Suster Imma di kursi roda. Dia bersiul dengan cara yang belum tentu banyak orang bisa. “Tanpa perubahan bentuk mulut, beliau bersiul dengan gaya lidah unik, sehingga tidak tahu siapa yang sedang bersiul. Lagu yang selalu disiulkan adalah ‘Kulihat Ibu Pertiwi’, ‘Balonku Ada Lima’, dan lagu ulang tahun,” kata Suster Elisabeth.

Menjelang ulang tahunnya, 15 Mei, Sr Imma selalu menyiulkan lagu ulang tahun. “Bahkan di kapel pun seringkali beliau bersiul, karena tentu beliau lupa sedang di kapel. Namun, karena aura kegembiraan, ketulusan dan rendah hati yang luar biasa, dalam situasi ketakberdayaan, tak seorang pun dari suster dan karyawan merasa jengkel atau lelah melayani kebutuhan Suster Imma. Luar Biasa.”

Suster Imma sudah dimakamkan. Suster provinsial mengenang prinsip yang kuat dihayati Suster Imma, “Di dunia ini, bukan apa yang kita ambil, tetapi apa yang kita relakan, yang membuat kita kaya.” Apa pun yang dia miliki, jelas Suster Elisabeth, “bahkan yang sedang beliau makan, ketika kami goda, dia pasti akan memberikan, sungguh sikap lepas bebas terhadap hal yang menarik, enak dan menyenangkan.”

Sikap itu selaras dengan moto hidupnya, “Hidupku hanya untuk  Tuhan.” Maka, dalam dirinya segala sesuatu tidak ada yang penting dan berharga selain Tuhan, kata Suster Elisabeth seraya berterima kasih karena Suster Imma “sudah menjadi inspirasi bagi para kami anggota kongregasi.”

Seperti Santo Dominikus yang mengatakan “akan lebih berguna bila aku sudah di surga,” maka Suster Elisabeth meminta agar Suster Imma “mendoakan kami agar juga terus setia berjuang bahwa Tuhanlah yang terpenting dalam hidup.”

Suster Imma pun dicatat menjadi inspirator bagi mantan murid TK dan SD selama puluhan tahun dan masih banyak yang mengingatnya. “Habis gelap terbitlah terang.” Ungkapan Raden Ajeng Kartini yang diperingati persis saat Suster Imma berpulang membuat Suster Elisabeth mengatakan, “Selamat jalan Suster Immaculata. Kepergian suster adalah pertanda terbitnya sinar terang dalam kongregasi dan semoga semakin banyak anak muda tersentuh untuk meneruskan apa yang sudah suster mulai dan perjuangkan sampai nafas yang terakhir.”

Sering menjadi pemimpin biara karena mencintai para suster

Menurut Suster Karina OP yang membaca biodata Suster Immaculata OP, kongregasi selalu memberi kepercayaan kepadanya untuk jadi pemimpin biara “karena Suster Imma mencintai para suster.”

Pertama kali Suster Imma jadi pemimpin biara di Purwokerto (1975-1978), kemudian di Cimahi (1986-1992), di Ragasemangsang Purwokerto (1992-1995), di Biara Santa Maria Cirebon (1995-1998), dan di Rawaseneng, Temanggung (2005- 2007).

Suster yang tahun 1970 menjadi anggota staf Novisiat di Baciro Yogyakarta ternyata punya semangat keibuhan maka dipercayakan memimpin Panti Asuhan Pondok si Boncel (1998-2002) dan penanggung jawab Panti Wreda Karitas Cibeber Cimahi (2002-2005). Sejak 2007, Suster Imma menjalani masa purna tugas di Biara Cimahi, “tapi pelayanannya kepada oma-opa di Panti Wreda Karitas tidak pernah putus sampai 2016,” katanya.

Banyak waktu Suster Imma diberikan untuk pendidikan. Meski belum belajar sebagai guru, setelah kaul pertama suster itu langsung menjadi Kepala TK di Purwokerto (1960-1967). Persiapan pelayanan kerasulan khususnya bidang pendidikan dan persekolahan baru ditempuh tahun 1968 saat mengikuti pendidikan SPG di Yogyakarta dan PG SLTP di Purwokerto 1969.

Setahun kemudian suster itu menjadi Kepala SMP Cimahi selama enam bulan, Kepala Sekolah SKKP Cimahi (1971-1972), dan guru SD Santa Maria Cirebon (1973-1974). Di Cirebon, Suster Imma pernah menjadi staf Yayasan Pendidikan Santo Dominikus Cabang Cirebon.

Ketika pindah ke Purwokerto, Suster Imma menjadi Kepala Sekolah SD Santo Yosep, pengawas SD Maria dan SD Yosep, guru TK Santa Maria (1975-1983), dan sejak kembali ke Cimahi menjadi Kepala TK Theresia (1983-1986).

Karena kondisi fisik menurun, tiga tahun terakhir, suster yang pernah terpilih sebagai anggota Dewan Pimpinan Tarekat dua periode, sampai 2000, itu lebih banyak menghabiskan waktu di Biara Cimahi sampai menyerahkan hidupnya di hari Paskah, 21 April 2019. (PEN@ Katolik/paul c pati)

Suster Immaculata OP
Suster Immaculata OP/Ist
Para Suster OP bergambar di depan makam Suster Immaculata bersama Pastor Mingdry OP (berdiri di belakang) dan Koordinator Nasional Dominikan Awam Theo Admadi OP
Para Suster OP bergambar di depan makam Suster Immaculata bersama Pastor Mingdry OP (berdiri di belakang) dan Koordinator Nasional Dominikan Awam Theo Admadi OP (samping kanan Suster Elisabeth OP)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini