Minggu, Desember 22, 2024
28.6 C
Jakarta

Keuskupan harus memastikan agar umat tidak golput sebagai buah-buah pertobatan Prapaskah

raker HAK Regio Jawa
Bikhu Attadiro (Budha) bersama Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI) Mgr Yohanes Harun Yuwono. PEN@ Katolik/lat

Terkait pemilu 2019, Temu Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Regio Jawa merekomendasikan agar peserta “mendorong masing-masing keuskupan untuk membuat seruan, imbauan atau surat gembala dan sejenisnya, sesuai keadaan dan kreativitas masing-masing keuskupan dan memastikan agar umat ambil bagian dalam menggunakan hak pilih (tidak golput) sebagai buah-buah pertobatan Prapaskah.”

Pertemuan di Jakarta, 8-10 Februari 2019, yang menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama untuk berbicara tentang peran tokoh agama dan umat beragama dalam menciptakan Indonesia damai dan bermartabat itu juga merekomendasikan agar “para klerus, biarawan-biarawati dan umat di masing-masing keuskupan senantiasa mengusahakan perjumpaan-perjumpaan persaudaraan (budaya srawung) dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan budaya serta tokoh pemerintah setempat dan merayakan ke-Indonesia-an dalam peristiwa penting kenegaraan maupun gerejani.”

Masing-masing keuskupan juga diminta melakukan pemetaan situasi dan kondisi kehidupan beragama dan kepercayaan (misalnya jumlah tempat ibadah, tokoh agama, pemimpin masyarakat, tokoh adat-budaya, daerah rawan konflik, dan lain-lain) yang hendaknya dilakukan dengan bijaksana, tidak kontraproduktif, dan memperhatikan kearifan lokal.

Rekomendasi terakhir mengingatkan bahwa peran Komisi HAK sangat penting untuk membangun budaya damai di dalam dan sekitar lingkungan Gereja, maka “hendaknya keuskupan dan paroki-paroki mendukung program dan pendanaan kegiatan hubungan antaragama dan kepercayaan.”

Pertemuan itu diawali sharing kerasulan HAK masing-masing keuskupan, kemudian paparan dan dialog dengan tokoh-tokoh lintas agama tentang peran tokoh dan umat beragama dan pengamatan kondisi politik terkini oleh pengamat politik Burhannudin Muhtadi dan Yunarto Wijaya.

Ketua Komisi HAK KWI Mgr Yohanes Harun Yuwono minta peserta “jangan pernah minder dalam pekerjaan apapun untuk kemanusiaan, untuk Pancasila, untuk UUD 1945, untuk NKRI, untuk kebhinekaan, apalagi untuk Indonesia, untuk kebenaran, keadilan, untuk kejujuran.” Lebih daripada itu, Mgr Harun menegaskan, “Kita harus berani berada di garis depan!”

Uskup Tanjungkarang itu juga menyampaikan pentingnya mimpi dalam membangun dialog. “Seorang pemimpin juga adalah pemimpi, punya visi, punya pemikiran indah tentang masa depan,” kata Mgr Harun seraya menjelaskan, mimpi harus dijabarkan dalam program jelas, tidak harus langsung jadi, tapi bertahap dengan semangat pantang mundur.

Ketua Komisi HAK KAJ Pastor Antonius Suyadi Pr membenarkan, pertemuan pegiat Komisi HAK se-Regio Jawa itu bertujuan untuk menguatkan peran tokoh dan umat beragama dalam menciptakan Indonesia yang damai dan bermartabat terutama mendekati pemilu 2019, apalagi karena “adanya gejala terbelahnya masyarakat akibat pilihan politik jelang pemilu.”

Menurut I Nengah Dana dari Hindu, tokoh agama mesti berperan sebagai inspirator, inisiator, inovator, dan dinamisator dalam menanamkan wawasan kebangsaan dan keberagaman universal sebagai kewajiban suci (Dharma Agama) yang mendorong wawasan spiritual umat, serta membimbing umat untuk mengedepankan etika dan moral dalam beraktivitas.

Dia berharap umat beragama, sebagai pengamal dan pelaksana, “mempelajari, menghayati, dan mengaktualisasikan nilai-nilai wawasan kebangsaan serta dialog.”

Tokoh Buddha Banthe Atthadiro mengatakan bangsa yang baik tergantung pada umat yang baik. “Umat yang baik tergantung pada tokoh agama yang baik.” Sulit wujudkan hal itu karena pengaruh teknologi komunikasi. Maka, katanya, masyarakat harus pandai mencerna dalam berkomunikasi dan peran tokoh agama, tidak mudah, “karena harus menangkal hal-hal buruk yang tidak kelihatan tapi ada pengaruhnya.”

Kebutuhan hidup manusia sama, yang berbeda atributnya, lanjutnya. “Keragaman harus dipahami. Keragaman adalah aset; Kebencian harus diakhiri. Kebencian tidak bisa dibalas dengan kebencian.” Umat agamanya dididik dengan meditasi “agar mereka menenangkan pikiran dan membawa hidup damai. Kekerasan dan kejahatan dimulai dari pikiran.”

Menurut Chandra Setiawan, trust society harus terus dibangun. Kalau bisa membangun trust, maka komunikasi menjadi lancar, tak ada miskomunikasi. Komunikasi harus dilakukan. Dialog mesti dilakukan tak hanya toleran,” kata tokoh Konghucu itu. Pancasila mesti menjadi civil religion. “Jika itu terjadi maka kita bisa berkonsentrasi membangun Indonesia,” katanya.

Bahrul Hayat dari Islam mengatakan, kondisi aman dan damai adalah prasyarat terbangunnya masyarakat sejahtera. “Bangsa yang sejahtera memiliki kapabilitas membangun peradaban yang maju,” kata Bahrul. Semua agama mempunyai misi yang sama, tegasnya.

Hayat berharap tokoh dan institusi agama menjaga kredibilitas dan mendorong umat untuk membangun kebersamaan di atas landasan nilai kemanusiaan dan persatuan bangsa. Sementara itu, lanjutnya, umat beragama hendaknya menghormati kebebasan beragama dan beribadah pemeluk agama dan pemeluk aliran agama yang lain.

Pendeta Gomar Gultom mengatakan DNA kita adalah DNA damai. “Setiap orang inginkan damai,” dan tidak ada perdamaian untuk sepihak tapi untuk dua pihak. “Perdamaian adalah inisiatif Tuhan, tapi kita harus memasukkan diri dalam usaha itu,” katanya seraya berharap tokoh agama memberikan visi jauh ke depan. “Banyak tokoh agama terjebak pada kepentingan jangka pendek,” padahal mereka diharapkan mewujudkan substansi agama seperti keadilan dan perdamaian daripada simbol agama.

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengingatkan ada kepentingan politik yang memakai politik identitas. “Pada umumnya yang dipakai adalah politik identitas yang memakai agama dan etnis,” katanya. (PEN@ Katolik/Lukas Awi Tristanto)

Mgr Harun bersama Pastor D Fadjar Tedjo Soekarno Pr, tokoh adat suku Osing di Banyuwangi:  Meski usaha dialog kadang terasa penuh tantangan dan dihadang intoleransi, namun kegembiraan haruslah terus mewarnai kerasulan dialog ini. PEN@ Katolik/lat
Mgr Harun bersama Pastor D Fadjar Tedjo Soekarno Pr, tokoh adat suku Osing di Banyuwangi: Meski usaha dialog kadang terasa penuh tantangan dan dihadang intoleransi, namun kegembiraan haruslah terus mewarnai kerasulan dialog ini. PEN@ Katolik/lat
Peserta Temu Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Regio Jawa. Foto dari FB Maxi Paat
Peserta Temu Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Regio Jawa. Foto dari FB Maxi Paat

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini