(Renungan berdasarkan Bacaan Injil Minggu ke-28 pada Masa Biasa, 14 Oktober 2018: Markus 10: 17-30)
“Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya…” (Markus 10:21)
Kita menemukan setidaknya tiga episode dalam Alkitab di mana Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa Dia mengasihi seseorang. Yang pertama adalah Yesus yang mengasihi Marta, Maria, dan Lazarus (Yohanes 11: 5). Yang kedua adalah kasih Yesus bagi murid-murid-Nya (Yohanes 13:34). Yang ketiga dan menjadi fokus kita hari ini adalah Yesus yang mengasihi orang muda kaya yang mencari kehidupan kekal (Mrk 10:21).
Dalam ketiga kisah ini, kasih Yesus bukan sekadar kasih sayang yang emosional. Bukan cinta yang menyebabkan meningkatnya kadar adrenalin dan jantung yang berdebar-debar. Bukan cinta yang yang datang di pagi hari tetapi lenyap di sore hari. Kasih Yesus adalah kasih yang berakar dalam kehendak bebas dan keputusan yang tegas. Kata Yunani yang digunakan untuk menggambarkan kasih ini adalah “agape.” Bukan “eros”, cinta emosional dan seksual, atau pun “philia,” kasih sayang di antara sahabat. Santo Thomas Aquinas secara ringkas dan tepat menjelaskan “kasih” sebagai menghendaki yang baik bagi sesama. Ketika Yesus mengasihi mereka, Yesus dengan bebas memilih bahwa hal-hal yang baik dapat terjadi dalam kehidupan mereka meskipun ini berarti Yesus harus melupakan diri-Nya sendiri. Ini adalah cinta kasih yang kuat yang memerlukan pengorbanan diri, komitmen dan bahkan rasa sakit. Ini adalah kasih yang tumbuh subur bahkan ketika hidup semakin hambar dan pahit.
Kembali lagi ke kisah pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus tentang bagaimana cara mewarisi kehidupan kekal, pada dasarnya dia adalah pria yang baik. Dia telah melakukan banyak perbuatan baik dan setia kepada Tuhan dan Hukum Musa. Yesus sendiri memberinya nilai sembilan. Hanya satu hal yang masih kurang. Ketika Yesus mengajak pemuda itu untuk menjual apa yang dia miliki, memberikannya kepada orang miskin, dan mengikuti Yesus, sang pemuda pun meninggalkan Yesus dengan sedih. Mengapa? Penginjil memberi kita jawaban: ia memiliki banyak “ktemata,” atau properti. Pemuda ini tidak hanya kaya, tapi super kaya. Mungkin, sang pemuda itu berpikir bahwa kehidupan kekal adalah sesuatu yang dapat ditambahkan ke dalam barang-barang koleksinya, sesuatu yang bisa diperoleh dengan melakukan hal-hal baik dan menghindari kejahatan, atau sesuatu yang dapat membuatnya semakin kaya. Namun, ini bukanlah hidup yang kekal, tetapi hanya shopping di mal.
Kehidupan kekal adalah karunia dari Tuhan yang diberikan kepada mereka yang Dia kasihi. Sang pemuda ini sejatinya sungguh diberkati karena Yesus mengasihi dia. Hidup yang kekal sudah ada dalam jangkauannya. Namun, meskipun karunia itu cuma-cuma, itu tidak berarti murahan. Yesus ingin agar pemuda itu mengikuti Dia karena Dia ingin mengajarkan pria muda itu bagaimana mengasihi. Yesus ingin dia melakukan kebaikan bagi orang lain, dan ini dimulai dengan menjual properti berharganya dan membantu orang miskin. Di sinilah terletak paradoks kasih: kecuali kita memberikan diri kita untuk sesama, kita tidak pernah akan mendapatkan diri kita yang sepenuhnya. Dalam kata-kata Santo Fransiskus dari Asisi, “Karena dalam memberi yang kita menerima, dalam mengampuni, kita diampuni, dan dalam kematian, kita dilahirkan kembali dalam hidup yang kekal.”
Saya telah menjalani di formasi selama lebih dari 16 tahun, lebih dari separuh hidup saya! Saya sempat frustrasi karena saya telah memenuhi berbagai persyaratan dengan baik, namun tahbisan tidak kunjung datang. Namun, saya menyadari bahwa saya sebenarnya berpikir seperti orang muda yang kaya. Saya lupa bahwa panggilan, serta tahbisan, adalah karunia, bukan hak atau upah. Perspektif ini membebaskan saya dari keangkuhan dan membuat saya rendah hati dan selalu bersyukur. Yesus mengasihi saya, dan Dia mengasihi saya dengan tegar.
Yesus mengasihi kita namun, ini bukan kasih yang mudah dan memanjakan. Ini kasih yang tangguh dan tegar. Ini adalah kasih yang menantang kita untuk tumbuh; itu adalah kasih yang menantang kita untuk tetap hidup dalam kebenaran, itu adalah kasih yang mendorong kita untuk mengasihi seperti Yesus.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP