Kalau masih ada orang yang takut akan tulang belulang dan tengkorak manusia, ternyata masih ada orang-orang yang sehari-harinya akrab dengan kerangka manusia. Yohanes Kiding Massang, yang biasa dipanggil Papa Rian (nama dari anaknya), adalah salah satunya.
Sosok lelaki separuh baya itu berdiri di mulut gua batu dengan tongkat kayu di tangannya. Nafasnya mulai ngos-ngosan setelah melalui rute jalan salib sepanjang dua kilometer dengan kondisi mendaki dan menuruni lembah.
Dia berada di rute jalan salib Pusat Ziarah Keluarga Kudus Nazaret Sa’pak Bayobayo, Kecamatan Sangalla’, Kabupaten Tana Toraja, ketika Uskup Agung Makasar Mgr John Liku Ada’ datang memberkati dan meresmikan pusat ziarah itu, 3 Juli 2018.
Mendaki dan menuruni lembah membuat keringat membasahi topi putih nan lusuh yang bertengger di kepala Papa Rian. Separuh bajunya telah basah dan laras panjangnya penuh lumpur. Sesekali ia menyeka keringat dengan punggung tangannya. Ia persis berdiri di depan mulut gua yang menganga ditemani ratusan tengkorak dan tulang belulang manusia di sepanjang sisi mulut gua itu.
Seminggu sebelumnya, Papa Rian terlihat di sekitar mulut gua itu bersama 23 ibu berhiaskan emas di leher dan telinga, serta arloji berkilau diterpa sinar matahari. Beberapa ibu dari luar Toraja itu bergidik menutup hidung dan mulut mereka. Dua di antaranya tanpa ingin melihat tengkorak yang berserakan di mulut gua. Mereka memalingkan wajahnya ke arah kiri dan berjalan terus melewati tikungan. Di tikungan itulah mereka menunggu rombongan.
Kepada ibu-ibu itu, Papa Rian menunjuk tengkorak-tengkorak dan tulang belulang sambil menjelaskan tentang gua itu. “Di sinilah para leluhur Toraja, khususnya Kampung Lampio ini, menguburkan mayat anggota keluarga mereka. Namun tidak seorang pun yang bisa mengenali lagi siapa-siapa saja yang dikuburkan di tempat ini.”
Juga dijelaskan bahwa usianya kubur itu mungkin sudah puluhan bahkan ratusan tahun. “Peti-petinya telah lapuk sehingga tengkorak-tengkoraknya dirapikan kembali di sekitar mulut gua ini,” jelas Papa Rian.
Rombongan ibu-ibu peziarah itu mengangguk-angguk dengan terus menutup hidung dan mulut mereka. “Tidak apa-apa, Bu. Tengkorak-tengkorak dan tulang belulang ini sudah kering. Tidak berbau lagi. Tetapi tetap harus dihormati.”
“Lihatlah … di sekitar sini terdapat rokok dan permen serta sirih yang diantarkan oleh orang-orang kampung di sekitar sini. Mereka percaya bahwa para arwah leluhur ini masih membutuhkan persembahan dari orang-orang yang masih hidup. Itu sebabnya mereka mengantarkan permen serta rokok-rokok ke tempat ini,” jelas Papa Rian. Dia menunjuk sebuah batu yang di atasnya berserakan permen dan rokok serta tas-tas kecil berisi sirih dan pinang.
Gua batu di sekitar Pusat Ziarah Sa’pak Bayobayo ini adalah gua alami yang terbentuk dari batu karst. Ada gua batu yang dalamnya bisa mencapai 24 meter tetapi ada pula yang hanya 5 meter. Gua-gua itu dijadikan pekuburan oleh para leluhur orang Toraja namun tidak dapat dikenali lagi.
Situs Sa’pak Bayobayo itu ditemukan ketika orang-orang mulai mendiami Desa Lampio sekitar tahun 1865. Namun situs ini baru terkenal sejak dibukanya Pusat Ziarah Keluarga Kudus di sekitar lokasi gua-gua itu.
Terbukanya pusat ziarah ini memungkinkan orang mengakses gua-gua berisi tengkorak dan tulang belulang itu dengan mudah. Apalagi, mulut-mulut gua itu berada persis di rute jalan salib yang dilalui para peziarah, rute yang sehari-hari dilalui oleh Papa Rian sebagai tour guide di Pusat Ziarah Sa’pak Bayobayo.
Papa Rian adalah sosok orang Toraja yang tidak takut pada tulang belulang dan tengkorak-tengkorak manusia. Ia justru menghormati para leluhur yang dikuburkan di tempat itu, salah satunya dengan menjaga agar tulang belulang dan tengkorak itu tetap tersusun rapi di sekitar mulut gua. “Bagaimana pun, tulang belulang dan tengkorak-tengkorak itu dulunya adalah manusia yang pantas dihormati,” kata Papa Rian. (Al. Tandirassing)
Semua foto-foto di atas diambil oleh Al. Tandirassing untuk PEN@ Katolik