Kita biasanya tidak ingin berpisah dari orang-orang yang kita cintai. Ikatan emosional yang telah terbangun membuat kita sulit untuk menjauh dari mereka yang kita cintai. Orang tua tidak ingin terpisahkan dari anak-anak mereka. Sepasang kekasih benci ketika mereka harus jauh dari satu sama lain. Kita sedih ketika mereka harus berpisah dengan sahabat kita.
Namun, kita melihat bahwa Yesus justru melakukan hal yang sebaliknya ketika Dia naik ke surga. Kristus yang telah bangkit bisa saja memilih tinggal dan menemani para murid. Kehadiran fisiknya yang permanen dapat meningkatkan semangat para murid, memberi mereka kenyamanan dan perlindungan. Namun, Dia memilih untuk pergi dan meninggalkan para murid-Nya di bumi. Mengapa Yesus melakukan hal yang tampaknya sangat kejam ini?
Ketika kita dengan seksama membaca Injil Markus 16:15-20 pada Hari Kenaikan Tuhan 10 Mei 2018, Yesus tidak sekedar meninggalkan murid-murid-Nya, tetapi Dia juga mengutus mereka untuk menjalankan misi mereka, “Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada setiap makhluk.” (Mrk 16:15) Faktanya, Kenaikan Tuhan Yesus lebih banyak berbicara tentang pengutusan daripada perpisahan. Dia naik ke surga supaya murid-murid bisa bergerak maju. Yesus memahami bahwa jika Ia tinggal lebih lama, Ia menghalangi para murid untuk tumbuh dan berkembang. Ketika mereka diutus, mereka tumbuh menjadi orang-orang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka memiliki iman yang bahkan lebih tinggi, dan secara bertahap tumbuh dalam harapan dan kasih. Seandainya Petrus tetap tinggal, dia tidak akan menjadi pemimpin Gereja. Seandainya Yohanes tidak diutus, dia tidak akan menjadi penatua Gereja di Efesus dan menulis Injil Keempat.
Kisah iman dimulai dengan sebuah misi. Tuhan memanggil Abraham, mengutusnya pergi dari tanahnya di Ur, dan pergi ke Kanaan. Dia menjadi Bapak dari bangsa-bangsa besar bukan di tanah airnya, dimana dia hidup dalam kenyamanan, tetapi di tanah yang berbahaya dan tidak dikenal. Allah memanggil Musa dan orang Israel untuk pergi keluar dari tanah Mesir, dari tanah yang memberi mereka mentimun, bawang, dan melon. Mereka menjadi orang-orang yang bebas untuk menyembah Tuhan mereka, bukan di Mesir, tanah seribu dewa, tetapi di tanah yang Tuhan telah janjikan kepada mereka. St. Dominikus de Guzman memulai Ordo Pewarta (OP) dengan mengirimkan komunitasnya yang kecil dan rapuh ke berbagai kota di Eropa. Beberapa saudaranya meragukannya, beberapa menolak, dan lainnya berkeberatan dengan keputusannya. Namun, keputusannya terbukti menjadi titik balik bagi Ordo. Misi Ordo Pewarta bukanlah untuk membangun pertapaan stabil seperti halnya ordo-ordo lainnya yang lebih dahulu ada, tetapi menjadi sekelompok pewarta yang hidup dalam pengembaraan. Iman St. Dominikus telah melahirkan sebuah keluarga Dominikan yang saat ini hadir di lebih dari 100 negara.
Saya selalu berterima kasih kepada orang tua saya karena mengizinkan saya masuk seminari pada usia muda 14 tahun. Saya mengerti bahwa ini adalah keputusan yang sulit dan menyakitkan, tetapi keberanian mereka telah menjadikan saya seorang manusia yang sekarang ini. Pada mulanya, kedua orang tua saya dan saya sendiri tidak yakin apa yang akan terjadi pada diri saya di seminari, tetapi kami yakin bahwa saya telah diutus, dari kenyamanan sebuah keluarga ke tengah-tengah Gereja yang sangat luas.
Sudahkah kita tumbuh dan menjadi orang yang dewasa dan berani? Beranikah kita mengutus orang yang kita cintai agar tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa? Sudahkah kita mempercayakan diri kita dan orang-orang yang kita kasihi ke dalam misi Allah?
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP