Salah satu perkembangan iman Katolik di Keuskupan Manado yang perlu diangkat adalah kehadiran seorang bruder dari Congregatio Septem Dolorum (Kongregasi Tujuh Kedukaan, CSD) yakni Bruder Gerritse Han CSD di Woloan, Tomohon, dan karya-karyanya yang sungguh nyata. Karya Allah melalui Bruder Han bagaikan biji sesawi yang kecil kemudian berkembang menjadi besar.
Bertahun-tahun lamanya Bruder Han sebagai anggota Kongregasi CSD dari Belanda, berkarya sendirian, tanpa komunitas dan tanpa pimpinan. Orang-orang sering bergurau, “Bruder Han itu adalah anggota, pemimpin komunitas dan serentak juga provinsial Kongregasi CSD,” karena beliau satu-satunya anggota CSD di Indonesia.
Yang mengagumkan, biar pun sendirian, Bruder Han tidak tenggelam dan hilang, melainkan secara kreatif dan inovatif mencari sendiri karya-karyanya, bahkan kemudian melahirkan kongregasi baru tingkat keuskupan yaitu Bruder Tujuh Dukacita Santa Maria (Kongregasi BTD). Padahal kemampuan intelektualnya sangat terbatas, karena semula sebagai Bruder CSD dia adalah tukang masak dan pembuat kue, yang kemudian diminta oleh pimpinannya untuk ikut kursus perawat kesehatan.
Dengan latar belakang perawat itulah Bruder Han bisa pergi ke tanah misi. Yang pertama tahun 1969 di Keppi Merauke, di Tanah Papua, kemudian tahun 1974 di Tomohon, Sulawesi Utara. Tanggal 2 April 2018, Bruder Han akan merayakan pesta 60 tahun hidup membiara sebagai anggota Kongregasi CSD yang hampir punah.
Sejak 1969 Bruder Han sudah berada di Indonesia. Itu berarti sudah 49 tahun. Di tahun 2018, Bruder Han akan merayakan HUT ke-80 dan hidup membiara ke-60. Berarti, dia masuk biara sejak umur 20 tahun. Sesudah perayaan 2 April nanti, rupanya Pimpinan CSD di Belanda, Bruder Theo Blokland CSD, akan menarik Bruder Han kembali ke rumah induk di Belanda untuk menikmati usia senja bersama teman-teman bruder, setelah ia bekerja sendirian di Indonesia selama 49 tahun.
Maka, pantaslah umat Katolik dan Keuskupan Manado merayakan tanggal 2 April 2018, (hari Paskah ke-2 Pesta Kebangkitan Tuhan) itu secara meriah dan pantas untuk bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada Bruder Han.
Karya yang sangat harum dikenal di masyarakat adalah Panti Sayap Kasih di Woloan. Di sana dirawat anak-anak cacat berat sejak lahir, yang diserahkan orangtua mereka karena tidak mampu merawatnya, atau yang dicari sendiri oleh Bruder Han dari kampung-kampung dan ditampung di panti itu.
Bruder Han menyediakan tempat nyaman dan bersih untuk anak-anak itu, lengkap dengan pengasuh yang berjaga tiga shifts dan tenaga medis serta ahli fisioterapi. Anak-anak cacat berat di situ biasanya tidak umur panjang. Mereka bertahan sampai usia belasan tahun saja dan meninggal. Maka, di Panti Sayap Kasih disediakan makam bagi anak-anak yang sudah meninggal. Letaknya persis di samping panti itu dengan hanya menuruni tangga. Kompleks makam dibatasi tembok tinggi dengan lukisan Tuhan Yesus, Bunda Maria dan para malaikat bersayap yang menjaga makam anak-anak mungil itu.
Bruder Han yang berlatar belakang perawat kesehatan mempunyai ketergerakan hati yang khusus untuk anak-anak cacat. Ia bekerjasama dengan donatur dari Belanda untuk membangun tempat itu. Panti Sayap Kasih dimulai tahun 1999 dengan menyewa tempat di Desa Tataaran. Setelah ditemukan lahan yang tepat di pinggiran Desa Woloan, maka dibangunlah panti itu dan semua berpindah ke Woloan tahun 2003. Berarti sudah 19 tahun Panti Sayap Kasih menunjukkan “sekolah cinta kasih” yang nyata bagi siapa saja yang mengunjunginya.
Banyak orang penting dan pejabat publik dari pusat dan daerah menyempatkan diri mengunjungi panti itu untuk membawa sumbangan dan menunjukkan kepedulian mereka bagi karya cinta kasih itu. Panti itu bahkan menjadi gerbang bagi donatur dari luar pulau Sulawesi untuk masuk Keuskupan Manado. Mereka bisa mengenal Gereja Katolik dari Panti Sayap Kasih itu.
Bruder Han mendirikan juga Akademi Fisioterapi yang mendukung karya perawatan anak-anak cacat itu. Beberapa bruder BTD disekolahkan di akademi itu supaya bisa melanjutkan karya-karya di bidang perawatan kesehatan. Dan, ada perkembangan baru. Akademi Fisioterapi yang selama ini mandiri dengan jumlah mahasiswa tidak mencukupi dan sumber dana yang justru mendapatkan subsidi silang dari donasi yang diterima oleh Panti Sayap Kasih itu, akan bergabung menjadi salah satu program studi atau fakultas dari Universitas Katolik De La Salle, Manado, supaya pengelolaannya lebih baik.
Untuk menaungi karya-karyanya itu, Bruder Han mendirikan Yayasan Manuel Runtu. Nama itu diambil dari nama seorang “penolong” atau tokoh agama Katolik yang dulu membantu para pastor zaman misionaris Belanda dan zaman Jepang. Bruder Han tidak memberi nama yayasannya dengan namanya sendiri atau nama kongregasinya, melainkan nama tokoh umat setempat yaitu Manuel Runtu dan disingkat Yamaru (Yayasan Manuel Runtu).
Sekitar tahun 1974, Bruder Han datang ke Manado merintis karya mandirinya dengan tinggal di Paroki Woloan dan menjadi pedagang buku keliling dengan mobil khusus yang sudah sangat dikenal oleh umat. Sebelum tinggal di Woloan, Bruder Han menumpang tinggal di Biara Frater CMM di Matani, Tomohon. Tahun 1982 atau 36 tahun lalu, Bruder Han biasa keliling menjual buku-buku dan benda-benda rohani. Saya waktu itu, sebagai frater tingkat I, masih bisa ingat dan mengenang karya Bruder Han yang sederhana itu. Ternyata karya-karya sederhana dan kecil itu perlahan-lahan berkembang terus sampai dengan berdirinya Panti Sayap Kasih, Akademi Fisioterapi, dan kongregasi baru yang lahir di Tomohon tahun 2001 yaitu Kongregasi Bruder Tujuh Dukacita Santa Maria (Kongregasi BTD).
Sejak 2001 hingga 2017, tempat pembinaan tarekat baru itu meminjam rumah uskup di Tomohon. Dulu, rumah di sebelah SMA Karitas itu adalah tempat tinggal Uskup Nicolas Verhoeven MSC. Sekarang Bruder BTD sudah mempunyai rumah pembinaan sendiri. Rumah permanen di Matani itu dibangun dengan biaya 3,2 milyar yang semuanya murni sumbangan dari donatur di Belanda atas jasa Bruder CSD.
Selama ini, rumah para Bruder BTD ada di Woloan dan di Tomohon, yaitu komunitas Santo Yosep di Woloan, Komunitas Hessevelt di Matani, dan Komunitas Dolorosa di Matani sebagai rumah pembinaan. Tahun 2018, mereka melayani umat di Tompasobaru dan membuka komunitas di Ranoyapo. Ada pula bruder yang diutus untuk menjaga asrama de La Salle Manado. Tahun ini ada lima novis tahun kedua yang akan mengucapkan kaul pertama dan lima novis tahun pertama, serta tiga orang postulan.
Bruder Han sendiri bercerita bahwa ia sebenarnya tidak ada harapan untuk pergi ke luar Belanda sebagai misionaris, karena sebagai bruder ia hanya mempunyai ketrampilan sebagai tukang masak. Padahal keinginannya adalah menjadi misionaris di tanah misi.
Salah satu sharing Bruder Han berbunyi, “Misi itu untuk apa, dengan diriku yang hanya menjadi tukang masak dan ahli membuat roti dan kue? Tetapi keragu-raguan saya tersebut dikuatkan dan diyakinkan ketika saya mendapat pesan dari atasanku, Bruder Dalmatius CSD, yang menjadi pemimpin umum saat itu, untuk belajar sebagai perawat kesehatan, maka harapan dan keyakinan (untuk bermisi) bisa muncul lagi. Biarpun dalam kenyataan hidup, saya merasa sulit belajar dan studi, namun dengan semangat besar dan penuh perhatian dan kegembiraan, saya mengikuti kursus itu sampai memperoleh ijazah tahun 1969. Namun di tahun yang sama (1969), saat belum menerima ijazah kelulusan, tangga 6 Januari 1969, saya bersama empat teman, telah menerima ‘cincin pengutusan’ dari Gereja dan diutus ke Indonesia, (Merauke dan Kepi). Selama lima tahun berada di tanah Papua, saya bekerja di rumah sakit, menjalankan patroli di kali Mappi, untuk melayani anak sekolah melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan membuka poliklinik. Dan tahun 1974, saya mendapat ijin cuti ke Belanda. Sesampainya di Belanda, kami mendapat surat dari Uskup Agung Merauke bahwa sebaiknya saya tetap saja di Belanda dan tidak usah kembali lagi ke Merauke!”
Karya-karya Allah melalui Bruder Han harus diceritakan supaya diketahui betapa pada awalnya tidak ada harapan, namun akhirnya penuh dengan karya nyata yang sangat berguna bagi pelayanan sesama.
Bruder Han tidak menjelaskan alasan Uskup Agung Merauke untuk tidak mengizinkannya kembali ke Merauke, karena mungkin beliau juga tidak tahu. Namun atasannya di Belanda tetap mengutusnya ke Indonesia, dan Bruder Han tinggal di Jakarta beberapa bulan sampai akhirnya mendapat tawaran untuk datang ke RS Gunung Maria Tomohon sebagai perawat kesehatan.
Inti dari pengalaman Bruder Han adalah “mulai dari mustahil untuk diutus ke tanah misi dan berakhir dengan keberhasilan karya misi yang luar biasa.” Mustahil, karena ia hanya mempunyai ketrampilan memasak dan membuat kue. Karena kesempatan belajar perawat kesehatan, dia diutus ke Merauke dan ditolak kembali ke sana. Itulah yang menghantar Bruder Han ke Tomohon dan di situlah ternyata Allah menunjukkan karya-karya besar. Salah satunya adalah melanjutkan Tarekat CSD yang akan punah dengan mendirikan Tarekat BTD, yang berdiri sebagai tarekat diosesan Keuskupan Manado.
Bruder Han dari awal sampai akhir tetap miskin. Namun, karya-karyanya begitu kaya dengan ungkapan kasih yang nyata kepada sesama disertai aset-aset warisannya kepada Tarekat Bruder BTD yang tidak sedikit jumlahnya. Di tangan Tuhan, talenta Bruder Han yang kecil dan sederhana, bisa menghasilkan karya-karya nyata yang besar, karena ditekuni dengan kasih, kesabaran, dan kesetiaan.(Sujoko msc)
(Tulisan ini merupakan tulisan ke-15 dari “Jejak Allah dalam Sejarah” karya Pastor Albertus Sujoko MSC)
Mentor masa kecil saya…..terima kasih Bruder!!!