Ternyata di Lotta, Pineleng, Sulawesi Utara, tepatnya di samping belakang Amphitheater Emmanuel Youth Centre, yang menjadi venue Indonesian Youth Day 2016, ada sebuah gua yang dibuat oleh tentara Jepang dan kini menjadi Gua Maria Bunda Hati Kudus Yesus Lotta.
John Kardinal Ribat MSC dari Papua New Guina, ketika berkunjung ke Skolastikat MSC Pineleng dalam rangka Pentahbisan Uskup Manado Mgr Rolly Untu MSC, mampir ke gua itu dan berdoa, 9 Juli 2017. Menjawab permintaan Tarekat MSC Manado, kardinal pertama dari Tarekat MSC itu memberkati Gua Maria itu.
Tanggal 11 Juli 2017, PEN@ Katolik datang ke Lotta menemui Pastor Jacobus Ludovikus Wagey Pr, kelahiran 10 Oktober 1935, yang hari itu merayakan HUT Imamat ke-55, untuk mengenal lebih dekat Gua Maria yang kini dijalankannya menggantikan Pastor Jan van Paassen MSC, almarhum.
“Guna menghindari serangan sekutu terhadap Angkatan Laut Jepang di Manado, tahun 1944, pasukan Jepang menyingkir ke Lotta dan membangun Rumah Sakit di sini. Dan, guna menghindari serangan udara, di tahun itu mereka menggali gua ini sepanjang sekitar 20 meter. Namun, gua itu terbiar setelah Jepang kembali,” imam yang akrab dipanggil Pastor Sjaak itu memulai ceritanya.
Saat pembicaraan di depan gua itu, nampak banyak orang, baik anak-anak, kaum muda dan orangtua, keluar masuk gua itu. Gua Maria itu sudah diberkati oleh Uskup Emeritus Josef Suwatan MSC pada Hari Raya Kabar Gembira 25 Maret 1992. Doa pemberkatan dalam gua itu disertai Doa Rosario oleh sekitar 100 umat yang masing-masing memegang lilin bernyala.
Sebelum diresmikan sebagai tempat ziarah, gua itu menjadi tempat pembuangan sampah. Setelah digali lagi saat beberapa proyek pembangunan setrum kateketik membutuhkan batu, tahun 1991 kepada seorang bapa dari Keluarga Lumingkewas-Arianti, yang mencari tempat samadi, ditawarkan gua itu. Dia masuk dengan tikar dan lampu, dan beberapa jam kemudian dia keluar dan mengatakan tempat itu sangat bagus untuk mencari ketenangan. Ia usulkan agar ujung gua berbentuk L itu dijadikan kapel.
Usul diterima dengan syarat dibuat sesederhana mungkin sesuai keadaan alaminya. Oktober 1992, Pastor Hisashi Nakagwa dari Jepang yang melayani umat di Manado sejak 1942 hingga 1945, “terharu” melihat proyek militer Jepang itu kini berubah menjadi tempat berdoa.
Tanggal 13 September 1993, Duta Vatikan Mgr Pietro Sambi masuk ke gua itu dan berdoa. Seorang pemuda Protestan pun pernah masuk dengan gitar dan kitab suci dan bertapa tiga hari di gua itu tanpa makan kecuali minum air yang menetes di situ sejak tahun itu.
Semakin banyak orang berkunjung ke gua itu saat itu. Pastor van Paassen pun meminta tiga mahasiswa dari Papua untuk menggali gua itu menjadi bentuk salib. Dari kebun kelapa di atas bukit di mana gua itu terletak sudah dipasang pipa paralon 14 meter hingga ruangan kapel untuk membantu tersedianya oksigen untuk pernafasan dalam gua. Rumah burung walet pun dibangun di depan gua agar peziarah tidak lagi diganggu walet yang beterbangan dalam gua.
Melihat gua becek karena air menetes terus, maka dibangun bak penampung hingga 6 kubik di ujung kepala salib gua dan saluran ke wisma sehingga tak ada lagi kekurangan air di situ. “Air itu sudah diperiksa di lab dan dinyatakan bersih tidak ada bakteri atau unsur membahayakan,” kata Pastor Sjaak.
Yakin air itu dari Bunda Maria, Pastor Jan langsung meminumnya. “Saya pun ikut yakin. Kalau Bunda Maria boleh minta Bernadeth gali di tempat becek dan terjadi saluran besar air, di sini boleh juga,” tegas Pastor Sjaak seraya mengajak mendengar irama “indah” tetesan air ke dalam bak. “Secara pribadi saya percaya Bunda Maria memberikan air ini untuk kesegaran dan kesehatan kita,” lanjut imam itu.
Gua Maria Bunda Hati Kudus Yesus Lotta yang semakin banyak diminati “ini adalah karya misionaris MSC dan saya hanya meneruskan,” aku imam diosesan itu seraya mengajak PEN@ Katolik berdoa tiga Salam Maria, seraya menegaskan, Maria pasti mendengarkan doa-doa kita.” Sesudah kita berdoa datang empat gadis remaja dan berdoa di sana, dan masih ada lagi. Semua membenarkan yang dikatakan Pastor Sjaak bahwa “semakin banyak orang datang berdoa di sini, dan membawa pulang airnya.”(paul c pati)