UNGARAN, Pena Katolik – Bukit Kendalisodo terletak tidak jauh dari jalan Raya Bawen-Ungaran, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Bukit ini tidak terlalu tinggi, namun dipenuhi pohon-pohon yang memungkinkan munculnya beberapa mata air di beberapa sisi lembahnya. Penduduk sekitar memberdayakan sebagian besar lahan bukit ini dengan menanami beragam tanaman seperti jahe dan kunyit.
Di salah satu lembah bukit ini, kini berada Tempat Doa dan Samadi Bukit Kendalisodo. Siapa sangka, lokasi ini memiliki kisah iman yang istimewa. Pengalaman iman yang menunjukkan semangat anak-anak di Stasi St. Maria Assumta Glodogan, sebuah komunitas umat Katolik yang masuk dalam wilayah pelayanan Paroki St. Stanislaus Girisonta, keuskupan Agung Semarang.
Misteri Malam Ketiga
Pada Bulan Maret tahun 1985 bersamaan dengan Masa Pra Paskah pengurus Mudika (kini orang muda Katolik/OMK) setiap Jumat mengadakan Doa Jalan Salib yang diawali dari Gereja Santa Maria Assumpta, Glodogan, Paroki St. Stanislaus Girisonta. Jalur Jalan Salib ini menuju ke puncak Bukit Kendalisodo, yang terletak tak jauh dari gereja.
Obrolan santai selalu menyertai di akhir rangkaian doa Jalan Salib ini. Di situlah, muncul gagasan mendirikan sebuah Gua Maria di wilayah Stasi Santa Maria Assumpta.
Pada tanggal 15 Juni 1985, sebanyak lima mudika, Nico Jumari, Tugiman, Suhadi, Mukri, dan Ngadi Susilo mengadakan kamping rohani di puncak bukit Kendalisodo. Kamping ini diadakan bertepatan dengan selesainya pendidikan orientasi tahun rohani. Pada saat itulah, Nico diberi tugas untuk mencari lokasi yang cocok untuk Goa Maria.
Nico yang saat ini menjadi imam dan berkarya di Papua menyanggupi. Ia lalu mohon petunjuk Tuhan dengan puasa dan bersemadi tiga hari tiga malam di puncak bukit Kendalisodo. Ia ditemani oleh Ngadi Susilo. Dalam berpuasa, memilih hari dari jumlah 40 menurut perhitungan Jawa, yaitu hari Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat kliwon. Pada malam hari yang ketiga, Nico melihat dua bola api melayang layang yang satu jatuh di lokasi yang sekarang dibangun Tempat Doa dan Semadi Bukit Kendalisodo.
Kemudian peristiwa ini dibicarakan pada rapat panitia, lalu panitia menemui yang empunya tanah yaitu Ibu Sami. Hasil rembug bersama keluarga akhirnya diperbolehkan untuk dibeli oleh Mudika dan negosiasi terjadi, akhirnya disepakati dengan harga Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dengan cara pembayarannya diangsur sebanyak empat kali.
Setelah lunas pembayaran, Mudika mengadakan selamatan (tumpengan) yang dihadiri oleh segenap pengurus Mudika Stasi Glodogan ditambah perwakilan dari Paroki Girisonta. Inilah awal lokasi itu menjadi tempat doa.
Bersamaan itu pula Mudika mengadakan kegiatan penghijauan. Lokasi itu ditanami beragam pohon, Sono kembang, glodogan, mahoni serta cere payung atau pilisium yang sekarang sudah besar dan rimbun.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1995, Mudika ingin membeli separo dari sisa tanahnya tapi ibu Sami menawarkan dengan harga Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Karna keterbatasan anggaran Mudika nego dengan harga Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) namun belum terjadi kesepakatan, kemudian malam harinya Mudika berdoa bersama mohon petunjuk kepada Tuhan agar tanah itu bisa dibeli kembali dengan harga sesuai kemampuan.
Akhirnya mukzizat pun terjadi, pada pagi harinya (esuk umun2) tanah tersebut direlakan dengan harga Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Kemudian Bapak Hr. Ramelan pada saat itu pula mencari donatur ke Semarang untuk membayar tanah tersebut.
Tuhan Akan Menyelesaikan
Semboyan umat yang dicetuskan oleh Hr. Ramelan, “Kita yang memulai, biar Tuhan yang menyelesaikan”. Saat Romo J. Herman Tjahya SJ menjadi Kepala Paroki Girisonta, Mudika membuat salib besar dan diletakkan di ladang tersebut. Ketika Romo V. Sugondo SJ berkarya di Girisonta, ia juga sering mengajak buruh-buruh perusahaan dan komunitas Bapak Suharyadi dari Semarang mengadakan Misa setiap malam Jumat Kliwon di lokasi itu. Aktivitas ini berkurang seiring kondisi Kesehatan Romo Sugondo.
Namun, dengan kehadiran Kepala Paroki baru, Romo A. Pujo Harsana, SJ seolah tersulut api semangat untuk melanjutkan pembangunan. Lalu, diadakan pertemuan panitia pembangunan lokasi doa itu. Romo Pujo mengusulkan pembangunan tempat doa ini, tidak saja sebagai Gua Maria, namun juga tempat doa yang mengakomodasi bentuk devosi-devosi lain dalam Gereja. Maka, rencana pembangunan tempat doa ini kemudian dinamai “Tempat Doa dan Semadi Bukit Kendalisodo (TDS-BK).
Novena pertama diadakan tidak lama setelah pertemuan itu di parkir Makam Giri Tomo, yang tak jauh dari lokasi tempat doa. Saat itu, Romo Pujo menandatangani prasasti novena pertama pada tanggal 2 Oktober 2008. Tiga bulan berikutnya, Romo Pujo pindah tugas ke Paroki St. Antonius Purbayan, Surakarta. Ia digantikan oleh Rama A. Danang Bramasti SJ. Sungguh di luar dugaan, Pujo bersama umat paroki Purbayan mengirimkan dana yang digunakan untuk membeli dua patung Hati Yesus Yang Maha Kudus dan Hati Tersuci Santa Perawan Maria. Patung ini lalu diberkati pada tanggal 11 Juni 2010 oleh Romo Danang.
Pada tahun 2011, tepatnya waktu Rama FX. Widyatmaka,SJ berkarya di Paroki Girisonta semangat pengurus sangat terdorong karena dibantu serta diarahkan dalam penggalangan dana untuk pembangunan sehingga pembangunan TDS-BK mengalami kemajuan pesat.
Di saat selesainya pembangunan itu, TDS-BK kemudian diresmikan oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Johanes Pujasumarta pada tanggal 2 Juni 2013. Sampai sekarang pembangunan terus berjalan.
Kemudian bertepatan dengan penyelenggaraan Obor Salib pada bulan Juli 2018 Widiarsakto menghibahkan tanah, jalan serta makam seluas 4.300 m² kepada Stasi Santa Maria Glodogan. Lahan ini lalu dimanfaatkan untuk perluasan lahan parkir.
Doa dan Devosi
Di TDS-BK ini, setiap orang yang datang dapat berdoa sekaligus bermeditasi. Ketenangan suasana bukit mengingatkan saat Yesus bersama Petrus, Yakobus, dan Yohanes untuk naik ke atas bukit dan berdoa. Gunung dalam iman Kristiani menggambarkan lokasi setiap orang dapat lebih dekat kepada Tuhan.
Suasana semacam inilah yang ingin dibangun di TDS-BK. Saat berada di tempat ini, angin pegunungan yang sejuk akan mengantar setiap peziarah untuk lebih mudah mengarahkan hati untuk berdoa. Kelelahan saat berjalan menaiki puluhan anak tangga dari parkiran ke lokasi doa akan terbayar dengan suasana hening yang mengelilingi.
Oleh masyarakat sekitar, pohon-pohon di Bukit Kendalisodo dirawat dan dijaga. Bahkan pohon roboh/mati pun tidak boleh diambil dan dibiarkan sampai membusuk ditempat dan sebagai habitat atau tempat berlindung bagi satwa liar burung, dan ayam alas.
Sekitar TDS-BK dimanfaatkan untuk budidaya tanaman buah unggulan seperti durian, apokat, dan beberapa komoditas lain dengan harapan hasilnya bisa dijual kepada para peziarah. Sebagian lahan lain bahkan dapat menjadi lokasi outbond dan kegiatan pencita alam lain.
Inti dari setiap lokasi ziarah adalah menjadi lokasi perjumpaan antara manusia dan Tuhan. Intensi inilah yang ingin dibangun dengan keberadaan TDS-BK. Di Bukit Kendalisodo, setiap orang dapat menimba kekayaan spiritual Kristiani. (Antonius E. Sugiyanto)